Pandemi COVID-19 sudah memasuki tahun kedua. Beragam perubahan dari segala lini kehidupan membuat sebagian masyarakat geram dan merasa aneh dengan kehidupannya saat ini. Bayangkan saja, fenomena pembelajaran jarak jauh, renggangnya shaf dalam shalat berjamaah, penutupan tempat ibadah dan pusat perbelanjaan hingga beralihnya cara bertransaksi dari offline ke online terjadi sangat cepat selama pandemi COVID-19 berlangsung.
“Pandemi telah mempercepat proses disrupsi sehingga kita dipaksa masuk suatu zaman yang sejatinya sedang kita lalui,” ungkap Ketua Umum Dewan Da’wah Islam Indonesia, Dr Adian Husaini, kepada Majalah Gontor.
Ustadz Adian, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa disrupsi ini sangat terkait erat dengan perkembangan teknologi internet all of thing. Percepatan disrupsi ini telah membuat banyak hal berjalan secara tidak beraturan. Termasuk sisi positif-negatif dari kemunculan era baru tersebut. “Selalu ada tantangan dan peluang. Maka siapa yang tidak bisa memanfaatkan peluang yang tersedia, maka dia akan sangat merugi,” ucapnya.
Wartawan Majalah Gontor, Mohamad Deny Irawan, berkesempatan mewawancarai pria yang juga Direktur Attaqwa College atau Pondok Pesantren Attaqwa Depok tersebut melalui sambungan telepon di sela-sela tugasnya di Makassar, Sulawesi Selatan. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana Anda melihat pandemi COVID-19 yang telah berlangsung selama 2 tahun ini?
Dari sisi pendidikan, pandemi telah mempercepat proses disrupsi. Kita dipaksa untuk masuk suatu zaman yang mestinya akan kita lalu secara bertahap, namun pandemi mempercepat kedatangan era tersebut. Akbatnya, perilaku pembelajaran dengan cepat berubah dan ini harus diantisipasi dengan cepat oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam. Begitu pun dengan bidang-bidang lain seperti ekonomi dan politik yang juga mengalami perubahan serupa yang juga disebabkan pandemi. Bagi saya, virus ini dikirim oleh Allah SWT dan ada pelajaran berharga yang harus kita ambil dari situ.
Mengapa disrupsi?
Disrupsi sudah lama terjadi. Pada tahun 2017, AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) mengeluarkan buku tentang tantangan pembelajaran di era disrupsi dan masa depan perguruan tinggi. Pemerintah sudah meluncurkan program kompetensi 4C, yang harus dikuasai oleh lulusan perguruan tinggi, yaitu Critical thinking, Creativity, Communication and Collaboration. Itu harus disiapkan betul karena zamannya sudah berubah.
Pemerintah sudah merespons disrupsi dengan program kampus merdeka. Mahasiswa kini sudah tidak linier sama sekali. Tiga semester selama kuliah bahkan harus dilakukan secara online.
Disrupsi macam apa yang Anda maksud?
Disrupsi ini muncul karena masuknya internet dengan jargon revolusi industri 4.0 dengan internet all of thing-nya. Sekarang, fenomena disrupsi sudah terjadi di ekonomi. Setiap transkasi berjalan dengan basis online atau digital. Perusahaan-perusahaan jasa transportasi konvensional misalnya kalah oleh pemain kecil yang mengandalkan pendekatan online. Disrupsi, dalam pemahaman saya, berarti gangguan. Era seperti ini membuat hubungan keluarga berjalan tidak normal. Perubahannya pun terjadi secara tidak beraturan. Jadi cepat sekali perubahan. Kita sudah merasakan bahwa perubahan semakin cepat. Maka saat ini bisnis online memiliki peluang besar dalam periode tersebut. Sekolah-sekolah, bahkan, kampus-kampus juga mulai menerapkan sistem ini dalam bingkai kampus merdeka.
Dalam kacamata Anda, apakah sistem pembelajaran jarak jauh merusak?
(Era disrupsi ini sejatinya) bukan merusak tapi mengubah banyak hal dengan sangat cepat. Kini, sebagian besar waktu berada di rumah. Mahasiswa sudah tidak lagi harus lagi berada di kampus. Meskipun, pandemi sudah berakhir, dugaan saya, akan banyak mahasiswa yang tidak lagi perlu pergi ke kampus untuk kuliah. Sekarang sudah banyak kampus online berbiaya murah. Mahasiswanya tidak perlu datang. Tahu-tahu, di ujung, mahasiswa di kampus tersebut hanya tinggal menjalani prosesi wisuda.
Apakah fenomena ini memiliki sisi positif dan negatif?
Sebelumnya, kita tidak membahas hal tersebut berdasarkan sisi positif ataupun negatif, tetapi era disrupsi ini menimbulkan tantangan sekaligus peluang. Tantangannya kan jelas, misalnya ketika anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sementara orangtuanya tidak siap memberikan panduan maka pendidikan anak menjadi kurang optimal.
Artinya, fenomena gonta-ganti kebijakan yang terjadi selama pandemi lumrah?
Salah satu ciri disrupsi itu adalah perubahan yang tidak beraturan. Bisa jadi, bukan soal tepat atau tidak, pemerintah harus siap mengganti kebijakan jika kebijakan itu sudah tidak dapat menjawab tantangan situasi dan kondisi yang terjadi saat ini. Jika memang harus diubah maka tentu saja banyak hal harus diubah dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat saat ini.
Apa saja catatan bentuk disrupsi perubahan yang Anda amati?
Sekali lagi, disrupsi juga menghasilkan banyak peluang. Dengan internet dan era media sosial, setiap orang bisa menjadi wartawan. Setiap orang bisa menjadi penulis. Setiap orang bisa menjadi penulis buku, editor buku, mencetak buku, diterbitkan sendiri dan dijual sendiri. Saya punya rekan wartawan senior yang memanfaatkan peluang tersebut. Bahkan, sampai mengirim buku ke kustomer saja, dia yang harus mengirimkannya ke penyedia jasa pengiriman. Itu ciri dari disrupsi.
Ini peluang. Kalau tidak kita manfaatkan, kita sangat rugi. Semua yang tidak efisien, akan tumbang. Politik juga begitu. Tidak penting lagi untuk mengerahkan ribuan masa. Inilah perubahan, mau tidak mau, suka tidak suka, akan terjadi.
Tapi ada satu yang tidak bisa diganti yaitu peran guru sebagai pendidik. Itu tidak bisa. Karena itu interaksi antara guru dan murid harus tetap ada. Harus tatap muka. Berbeda dengan bidang politik, bidang ekonomi, yang saat ini lebih banyak berbasis digital.
Bagaimana Anda melihat fenomena pesantren dengan model Pembelajaran Jarak Jauh atau Pendidikan Tatap Muka?
Tidak dipungkiri bahwa pesantren juga sangat terpengaruh era disrupsi ini. Tetapi, peluang pesantren lebih enak karena memiliki tradisi mondok atau asrama. Ada tempat tinggalnya dan lain-lain. Sekarang ini agak berat kalau orang harus menyewa hotel, tapi ini di suatu tempat kecil masih bisa.
Bagaimanapun, saya sedang berada di Makassar dan bertemu dengan pengurus Dewan Da’wah dengan diskusi, ngobrol dalam dua hari ini. Rasanya tentu saja sangat berbeda. Tidak bisa dengan zoom yang sangat terbatas. Tetapi teknologi itu bisa dimanfaatkan meski tidak harus bergantung dengan alat-alat tersebut.
Bagaimana dunia dakwah dalam merespons era disrupsi?
Ada plus, ada minus. Era digital ini peluang. Orang bisa menjadi muballigh dengan cara yang sangat cepat. Sekarang, setiap orang bisa meng-upload kegiatannya sendiri secara mandiri. Peluangnya sangat besar. Sekarang tinggal kita bisa memanfaatkan atau tidak. Meski standar atau kriteria-kriteria muballigh yang ideal, bisa jadi, tidak terpenuhi.
Bagaimana Anda merespons banyaknya fatwa MUI selama pandemi COVID-19?
Sekarang saya bukan lagi pengurus MUI tapi sekarang di Dewan Pertimbangan. Terus terang, saya tidak tahu banyak. Saya kira peluangnya sama. Tugas ulama itu memberikan panduan kepada umat sekalipun dalam situasi darurat. Sekarang dengan era internet lebih mudah, jangkauannya lebih luas. Tapi sekarang yang perlu dilakukan kembali kepada efisiensi.
Bagaimana Anda menanggapi orang yang tidak percaya COVID-19?
Harusnya tidak perlu ditanggapi. Kalau soal konspirasi, bisa jadi. Tapi yang pasti, virus korona itu ada. Ilmuwan-ilmuwan Muslim yang jujur di dunia pun mengakui virus ini ada dan virus ini menimbulkan penyakit. Kalau bicara ilmu itu kan bicara yang jumhur atau sumber-sumber yang otoritatif. Para pakar mengatakan virus ini ada dan menimbulkan penyakit. Belum ada satu pihak pun yang bilang bahwa virus ini menyehatkan. Itu tidak ada. Entah bagaimana sakitnya, itu sudah satu paket. Dari prespektif keilmuan, jika kita tidak melihat sendiri, kita harus percaya dengan orang yang memiliki ilmu yang otoritatif. Saya juga tidak sembarangan dalam menggunakan sumber-sumber mengenai COVID-19. Virus ini memang nyata.
Apa yang hilang dari pembelajaran tatap muka?
Kita mengenal dua hal: pendidikan dan pembelajaran. Pendidikan sebenarnya penanaman nilai. Proses penanaman nilai, nilai kejujuran, nilai kerja keras, nilai ketulusan hingga nilai keikhlasan. Proses itu harus ditanamkan karena untuk menanamkan kebaikan perlu contoh dan keteladanan dan bukan sebatas pengetahuan saja. Di sini yang kita terbatas. Tugas kita sebagai pendidik tentu saja semakin berat. Beban untuk mendidik masyarakat melalui pendidikan akhlak semakin berat. Pun dengan pendidikan adab, yang juga berat. Pendidikan itu bisa sukses kalau dicontohkan, dimotivasikan, dibiasakan dan di-uswah-kan. Tentunya, pembelajaran online mengurangi interaksi dan hubungan, terutama guru dan murid.
Apa pesan yang Anda ingin sampaikan selama post-pandemi?
Virus ini tidak datang dengan sendirinya. Tidak pernah ada riwayat kongres virus yang lantas bersepakat dengan manusia. Itu tidak ada. Jadi virus ini dikirim oleh Allah SWT. Allah SWT mengirim ujian dan musibah atau apa pun ini tujuannya supaya umat manusia ini mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Seharusnya, tujuan penyelesaian penanggulangan virus korona ini bukan sekedar sehat dari penyakit tetapi agar manusia ini semakin bertaqwa. Jadi, ujung dari program penanggulangan virus korona itu bukan hanya sehat tapi juga meningkatkan ketaqwaan seseorang. Jadi jangan disekulerkan. Penanggulangan korona, vaksinasi itu tujuannya taqwa dan jangan berhenti di sehat. Sehat fisik, sehat materi tapi kalau dia jahat, dia korupsi, lebih baik dia sakit.[]