Jakarta, Gontornews — Pangeran Katandur, pangeran yang ahli bercocok tanam, memiliki nama asli Syaikh Ahmad Baidlawi. Ia cucu Sunan Kudus yang alim dan mendedikasikan dirinya dengan dakwah lewat pertanian. Tak heran jika ia diberi julukan Pangeran Katandur.
Pangeran Katandur memiliki kedekatan dengan warga Sumenep. Sosok asalnya dari Kudus ini memang dikenal sebagai tokoh berjasa di bidang pertanian. Bahkan dari imbas “nandurnya” atau bertani, muncul ikon sapi dan karapannya.
“Ju Katandur itu seorang ulama yang alim di bidang agama. Namun berdakwah dengan salah satunya ‘nandur’ atau mengajarkan cara bertani,” kata R. Idris, salah satu tokoh Sumenep yang bersusur galur nasab ke Pangeran Katandur.
Berasal dari Kudus, tinggal di tempat tandus, hanya untuk bertani, bagaimana kisahnya. Kedatangan Pangeran Katandur banyak dikabarkan oleh beberapa literatur sejarah di Sumenep. Kendati tidak secara utuh.
Dulu, di kalangan Wali Sanga misalnya, dakwah bisa dari jalur kesenian, seperti Sunan Kalijaga yang menggunakan media wayang. Sunan Bonang dan Sunan Giri yang menciptakan tembang. Begitu juga Sunan Ampel dan lainnya.
“Dari sana kemudian didapat simpati masyarakat yang mulai mendekat. Baru setelah itu dikenalkanlah ilmu agama dan alat-alatnya,” kata R. Nurul Hidayat, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep.
Dakwah Pangeran Katandur tidak hanya mengatasi masalah pembumian Islam, atau kehausan masyarakat akan Islam yang kaffah, namun seiring dengan itu juga menjadi pemecah masalah ketahanan pangan di Sumenep.
Lahan-lahan yang luas nan tandus itu dibajak. Diajarkan ilmu-ilmunya. Digunakanlah sarana sapi, dan lain sebagainya. Hasil bumi di Sumenep makin melimpah.
Sebelum Pangeran Katandur datang ke Sumenep, keadaan pertanian di Sumenep khususnya daerah Parsanga dan Bangkal sangat mengagumkan. Namun karena adanya penyakit pada tumbuhan, banyak petani yang gagal panen. Berkat Pangeran Katandur kondisi mulai membaik, bahkan mencapai hasil yang maksimal. Hal itulah yang membuat banyak masyarakat Sumenep mulai masuk agama Islam.
Sampai sekarang masyarakat yang mengetahui dan mempercayai pangeran Katandur sebelum melakukan budidaya tanaman selalu bertawassul atau mengirimi surah Al-fateha kepada pangeran Katandur atau Syeh Ahmad Baidawi.
Penggunaan tenaga sapi untuk melakukan penyuburan tanah ini dengan cara menggunakan sepasang bambu yang disebut nanggala atau salaga, kemudia sepasang bambu itu ditarik oleh dua ekor sapi. Pangeran Katandur mempopulerkan Karapan Sapi pertama kali di Madura pada abad ke-13 tepatnya pada tahun 1248 di Desa Parsanga, Pulau Sapudi, Sumenep.
Melihat gagasan Pangeran Katandur tersebut, masyarakat secara perlahan mengikuti jejaknya dalam menjalankan kesenian Karapan Sapi. Tanah yang awalnya gersang di Pulau Sapudi berubah menjadi subur sehingga bisa dimanfaatkan untuk menanam padi.
Pada akhirnya Karapan Sapi yang dipelopori Pangeran Katandur bisa eksis hingga sekarang.
Keturunan dari Pangeran Katandur ada yang menjadi pemimpin Kerajaan Sumenep yakni Bendoro Saud, beliau raja yang ke-29 pada masa kepemerintahan tahun 1750 – 1762.
Tak hanya menurunkan umaro, keturunan Katandur dari jalur ulama juga tidak sedikit. Sebut saja Kiai Ali alias Kiai Barangbang, di Kalimo’ok, Kalianget. Tokoh yang dikenal sebagai peletak ilmu Tasauf di Madura Timur ini terhitung sebagai cucu Pangeran Katandur.
Keturunan – keturunannya banyak yang berhasil dalam mengIslamkan penduduk Madura. Salah satu keturuannya yaitu Bendoro Saud yang akhirnya menjadi penguasa Sumenep dari tahun 1750-1762. Pada abad ke 18, proses Islamisasi di Sumenep semakin meluas ketika diperintah oleh putra dari Bendoro Saud, yang bernama Panembahan Sumolo.
Buktinya yaitu adanya keraton Sumenep dan Masjid Jamik. Keraton Sumenep juga berpindah pindah, dari yang semula berada di desa Banasare, kecamatan Rubau, kemudian pada saat pemimpinnya yaitu raja Jokotole (1415-1460) keraton tersebut pindah ke daerah Dungkek.
Sekarang Masjid Agung tersebut berada di tengah kota Sumenep, tepatnya di jalan Trunojoyo No. 06 kelurahan Bangselok. Letak masjid ini tidak terlalu jauh dengan bangunan sejarah lainnya yang ada di kota Sumenep, seperti Keraton Panembahan Sumolo. [Fath]