Yogyakarta, Gontornews — Sekolah Muhammadiyah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional dan juga pendidikan Islam telah mengemban amanah untuk terselenggaranya pendidikan holistik. Artinya seluruh lembaga pendidikan Muhammadiyah membawa misi terselenggarakannya pendidikan holistik, yaitu model pendidikan yang mengembangkan seluruh aspek potensi kemanusiaan peserta didik (kognitif, emosional, sosial, spiritual, kreativitas, dan fisik).
Sehingga diharapkan lahir dari rahim pendidikan Muhammadiyah peserta didik yang holistik, yang tidak hanya cerdas dari sisi kognitif-intelektual, namun dapat mengembangkan potensi kemanusiaan lainnya. Sehingga dapat pula membangun kepribadian anak yang utuh, seimbang, dan kuat.
“Ada beberapa poin penting yang telah disimpulkan dalam penelitian ini,” terang Dr Hendro Widodo SPdI MPd. Pertama, budaya sekolah Muhammadiyah tidak terlepas dari budaya Muhammadiyah itu sendiri. Budaya artefak dalam penelitian ini dilihat dari artefak fisik dan non fisik.
Dilihat dari budaya artefak fisik, artifisial budaya Muhammadiyah terlihat di sekolah Muhammadiyah. Misalnya lambang Muhammadiyah, bendera dan lambang- lambang ortom Muhammadiyah serta foto pendiri Muhammadiyah dan ‘Aisyiah.
Melalui simbol gambar maupun logo ortom Muhammadiyah di Sekolah Muhammadiyah membantu peserta didik dan guru mengetahui serta menghayati nilai-nilai Muhammadiyah serta bentuk internalisasi nilai-nilai Muhammadiyah pada warga sekolah dan sekaligus sebagai syiar persyarikatan.
Nilai strategis ini bukan hanya terletak pada aspek internalisasi pengetahuan, melainkan untuk membangun kesadaran mereka agar dapat menjadi generasi penerus perjuangan Muhammadiyah.
Melalui budaya artefak fisik ini terkandung pesan moral. Tradisi di sekolah Muhammadiyah yang berbeda dengan sekolah lain di luar persyarikatan Muhammadiyah adalah adanya pembacaan janji pelajar Muhammadiyah. Tradisi lainnya adalah setiap rapat sekolah diawali dengan tadarus al-Qur’an dan kultum.
Dalam konteks ini, makna holistik dipahami bahwa didalam artefak fisik terkandung nilai-nilai yang dikembangkan, jadi tidak semata-mata dipahami secara wujud fisiknya saja, sehingga saling keterkaitan dan keterhubungan dalam mendukung pengembangan pendidikan holistik.
Selain artefak fisik, artefak non fisik yang menunjukkan pada lingkungan sosial di sekolah juga dibangun dengan baik dalam mewujudkan pendidikan holistik. Interaksi antar warga sekolah tergolong baik. Suasana kebersamaan sangat erat baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler.
Selain lapisan budaya pada artefak fisik dan nonfisik, dosen tetap Universitas Ahmad Dahlan ini juga menemukan nilai dan keyakinan yang dikembangkan di SD Muhammadiyah meliputi, satu, budaya religius yang dikembangkan di sekolah. Dua, budaya berprestasi akademik dan non akademik melalui kegiatan intra kurikuler maupun ekstra kurikuler. Tiga, budaya disiplin. Empat, budaya kerjasama, kebersamaan, dan gotong royong.
Kedua, pendidikan holistik di SD Muhammadiyah telah mengembangkan enam potensi kemanusiaan, yaitu satu, potensi kognitif-intelektual. Konstruksi teoritik untuk mengembangkan potensi kognitif-intelektual diantaranya melalui, pembelajaran aktif, menggunakan pendekatan student centred, serta pembelajaran menerapkan metode diskusi dan tanya jawab.
Dua, potensi emosional yang difokuskan pada aspek, percaya diri, simpati, empati, mengontrol diri dari perbuatan negatif, dan menghormati orang lain. Tiga, pengembangan aspek potensi sosial difokuskan pada indikator a) kepedulian terhadap masalah sosial dan berjiwa sosial, b) bertanggung jawab, c) mematuhi segala peraturan yang berlaku, dan d) bekerja dalam tim.
Empat, potensi spiritual yang difokuskan pada indikator ketaatan beribadah, berperilaku syukur, dan berdoa sebelum serta sesudah melakukan kegiatan. Lima, pengembangan potensi kreativitas yang tercermin dari kemampuan peserta didik mengekspresikan diri dalam kegiatan produktif. Seperti yang diwujudkan dalam kemampuan peserta didik menulis karya untuk mengisi majalah dinding (mading) sekolah dan lain-lain.
Enam, potensi fisik, meliputi motorik kasar dan motorik halus. Pengembangan motorik kasar contohnya melalui kegiatan pembelajaran dengan mengajak peserta didik senam ringan (ice breaking) dalam pembelajaran. Sedangkan pengembangan potensi motorik halus melalui pengembangan kegiatan intrakurikuler (melalui pelajaran SBK/SBDP) dan kreasi potensi peserta didik.
Ketiga, hasil penelitian ini mengkostruksi pola pengembangan pendidikan holistik berbasis budaya sekolah. Pendidikan di sekolah diarahkan untuk mengembangkan seluruh potensi manusia, yaitu aspek kognitif-intelektual, emosi, sosial, spiritual, kreativitas, dan fisik.
“Keseluruhan potensi tersebut merupakan satu kesatuan, terpadu dan integratif serta seimbang, tidak berdiri sendiri atau parsial,” jelas penulis buku, Manajemen Pendidikan, Sekolah, Madrasah, dan Pesantren, tahun 2020 itu. Sehingga, lanjut Hendro, didalam mengembangkan dimensi tersebut tercipta budaya sekolah yang mendukung terlaksananya pendidikan holistik.
Pengembangan pendidikan holistik didukung oleh budaya artefak baik fisik maupun non fisik serta nilai-nilai dan keyakinan yang telah membudaya di sekolah. Nilai budaya sekolah tersebut adalah budaya religius, budaya berprestasi akademik dan non akademik, budaya kedisiplinan, dan budaya kerjasama, kebersamaan, juga gotong royong. Keempat budaya ini merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi dan saling mendukung.
Seluruh komponen sekolah menjalin kerjasama secara interkoneksi dan menyatukan langkah untuk membangun lingkungan sekolah yang mendukung terwujudnya pendidikan holistik di sekolah.
Semua komponen (kepala sekolah, tim pengawal budaya sekolah, tim pengawal pendidikan holistik, guru, keluarga, dan komite sekolah) harus satu langkah, memfokuskan perhatian, dan memainkan peran0 sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing terhadap berlakunya nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang baik di lingkungan sekolah dalam mendukung keterlaksanaan pendidikan holistik.
Guna mendukung keterlaksanaan pendidikan holistik secara optimal di sekolah maka melalui hasil penelitian ini, peneliti membangun konstruksi teoritik bahwa kepala sekolah sedapat mungkin dapat menjadi sosok yang IKHLAS (Inovatif, Kreatif, Humanis, Luwes, Agamis, dan Sabar). “Karakter demikian itu menjadi faktor penguat keterlaksaan pendidikan holistik di sekolah,” pungkas doktor kelahiran 3 Juni 1980 tersebut. [Edithya Miranti]