Landasan Teologis
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًا ۢ بَصِيْرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS An-Nisa’: 58)
Asbabun Nuzul
Imam Abu Muhammad Al-Baghawi dalam Kitab Tafsir Al-Baghawi mengatakan, surat An-Nisa’ ayat 58 diturunkan menceritakan Utsman bin Thalhah, seorang penjaga Ka’bah dari Bani Abdiddar. Ketika Nabi Muhammad SAW memasuki Mekkah pada hari penaklukan, Utsman menutup pintu Ka’bah dan naik ke atas atap.
Rasulullah SAW meminta kunci Ka’bah, dan diberitahu bahwa kuncinya ada pada Utsman. Ketika sang Nabi meminta kunci tersebut, Utsman menolaknya dan berkata, “Jika aku tahu dia Rasulullah, aku tidak akan menolak kuncinya.”
Ali bin Abi Thalib kemudian mengambil kunci dari tangan Utsman dan membuka pintu Ka’bah. Rasulullah SAW masuk ke dalamnya dan shalat dua rakaat. Ketika keluar, Abbas meminta kunci Ka’bah agar dia dapat menggabungkan tugas sebagai pemberi minum dan penjaga Ka’bah.
Allah SWT kemudian menurunkan surat An-Nisa’ ayat 58, dan Rasulullah SAW diperintahkan untuk mengembalikan kunci kepada Utsman dan meminta maaf. Ali pun melakukannya, tetapi Utsman berkata, “Kau telah memaksa dan menyakitiku, kemudian kau datang dengan kelembutan.“
Ali menjawab, “Allah SWT telah menurunkan ayat Al-Qur’an tentangmu,” dan dia membacakan ayat tersebut kepada Utsman. Utsman kemudian menyatakan syahadatnya dan kunci Ka’bah tetap berada di tangannya. Ketika dia meninggal, dia memberikannya kepada saudaranya, Syaibah.
Kunci dan tugas penjaga Ka’bah tetap berada di tangan keturunan mereka hingga hari kiamat. Lebih lanjut, Imam Al-Baghawi menerangkan bahwa “al-amanah” dalam ayat tersebut mencakup semua bentuk tanggung jawab yang diberikan kepada seseorang.
Dengan demikian, surat An-Nisa’ ayat 58 turut menegaskan bahwa setiap individu wajib menunaikan amanah yang diembannya dengan penuh tanggung jawab.
Interpretasi Para Mufasir
Dalam Kitab Tafsir Aisarut Tafasir disebutkan makna kata:
{أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ } an tu’addul amaanaat: menunaikan amanah adalah menyerahkannya kepada orang yang berhak. Amanah adalah suatu hal yang dipercayakan seseorang, berupa perkataan, pekerjaan ataupun benda.
{الْعَدْلِ } al ‘adl: keadilan adalah lawan dari kezaliman dan melenceng dengan mengurangi atau menambah.
{نِعِمَّا يَعِظُكُمْ } ni’immaa ya’izhukum: memerintahkan untuk menunaikan amanah dan hukum dengan adil.
Ayat di atas memberikan pelajaran tentang wajibnya menyampaikan amanah setelah usai dijaga, dan wajibnya berlaku adil dalam menghukumi serta haramnya kezaliman dan ketidakadilan.
Dalam Tafsir Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an disebutkan, amanat artinya setiap yang dibebankan kepada manusia dan mereka diperintahkan melakukannya. Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya menunaikan amanat secara sempurna: tidak dikurangi dan tidak ditunda-tunda. Termasuk ke dalam amanat yaitu amanat untuk beribadah (seperti shalat, zakat, dan puasa), amanat jabatan, harta dan rahasia serta perkara-perkara yang hanya diketahui oleh Allah.
Ayat ini menunjukkan bahwa amanat tersebut harus diserahkan kepada yang berhak menerimanya atau wakilnya.
Adapun yang dimaksud adil di sini adalah dengan mengikuti syariat Allah melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti dalam masalah ahkam (hukum) maupun hudud, dan hal ini menghendaki agar kita mengetahui kedilan itu agar dapat memutuskan dengannya.
Menurut Imam At-Thabari dalam tafsirnya, ayat ini ditujukan kepada para pemimpin, pemegang kekuasaan untuk menjaga amanat yang telah diberikan kepada dirinya terutama hal yang berkaitan dengan rakyat maupun bawahannya serta berbuat adil dalam memberikan keputusan.
Sementara itu Imam Al-Hasan menyebutkan bahwa amanat yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an antara lain yang menyangkut hak-hak Allah SWT atas hamba-hamba-Nya, seperti shalat, zakat, puasa, kifarat, semua jenis nazar, dan lain sebagainya yang semisal yang dipercayakan kepada seseorang dan tiada seorang hamba pun yang melihatnya.
Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, amanat terbagi lima: 1) Amanat Ilmu; 2) Amanat kehakiman peradilan; 3) Amanat Tuhan kepada hamba-Nya, seperti tubuh dirinya, panca indra, akalnya, agama adalah amanat dari Allah kepada manusia, yang mesti dipelihara dengan sebaik-baiknya; 4) Amanat manusia kepada sesama manusia, baik berupa harta maupun berbentuk rahasia yang dipercayakan kepada kita. Maka satu kewajiban kita untuk menyimpannya dengan sebaik-baiknya; 5) Amanat manusia kepada dirinya sendiri cara memelihara amanat.
Nilai-nilai Pendidikan
Surat An-Nisa’ ayat 58 mengandung sejumlah nilai-nilai pendidikan buat manusia. Pertama, mendidik kita agar senantiasa menyampaikan amanat dan tidak berkhianat. Kedua, senantiasa mengajarkan kita agar bersikap adil dalam mengambil keputusan kepada siapa pun tanpa melihat kerabat atau harta.
Ketiga, mengajarkan kita agar mawas diri dalam kehidupan sehari-hari karena semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.
Keempat, senantiasa mengajarkan akhlak mulia agar kita berbuat kebaikan dan jujur dalam menjalankan ketaatan.
Amanah dan adil merupakan dua pokok dasar prinsip penyelenggaraan sistem kepemerintahan yang diisyaratkan oleh QS An-Nisa’: 58. Amanah yang dibebankan rakyat dari sebuah proses politik tidak hanya sebuah kontrak politik yang berdimensi keduniaan karena dalam pandangan Al-Qur’an, kepemimpinan sebagai ‘perjanjian ilahi’ yang melahirkan tanggung jawab menentang kezaliman dan menegakkan keadilan.
Allah SWT berfirman:
وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًاۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ
(Ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “(Aku mohon juga) dari sebagian keturunanku.” Allah berfirman, “(Doamu Aku kabulkan, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (QS Al-Baqarah: 124)
Amanah menjadi tanggung-jawab dunia akhirat, sehingga kepemimpinan tidak boleh dijalankan sembarangan tanpa prinsip keadilan, transparan dan bisa dipertanggungjawabkan.
Rasulullah SAW bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tiada seorang yang diamanati Allah memimpin rakyat kemudian ketika ia mati, ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti Allah mengharamkan baginya surga.” (HR Bukhari)
Kita seorang pemimpin maka dalam mengambil sebuah keputusan harus mempertimbangkan secara adil dengan melihat kemaslahatan di dalamnya.
Rasulullah SAW bersabda:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ketahuilah setiap kalian merupakan pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga merupakan pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan istri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya. Ketahuilah, setiap kalian bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR Al-Bukhari)
Imam Al-Ghazali berpendapat, maslahat pada dasarnya merujuk pada perwujudan mencapai manfaat dan menolak suatu keburukan sekaligus usaha menjaga maksud syariat seperti, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Izzu al-Din ibn Abdu al-Salâm, seorang tokoh kenamaan abad ke-13 menulis bahwa mewujudkan maslahah (kemaslahatan) dan menolak terjadinya mafsadah (kerusakan) hukumnya wajib. Dalam kitabnya, Qawâ’idu al-Ahkâm fi Mashâlihi al-Anam, beliau menyampaikan: “Kemaslahatan murni itu sangat sulit terwujud. Upaya mencapai kesejahteraan bagi masyarakat seperti di bidang pangan dan papan hanya bisa diraih dengan jerih payah dan perjuangan keras. Karena itulah kemaslahatan yang diraih (nyaris selalu) bercampur dengan sisi mudharat yang mengiringinya.
Menurut al-Khawarizmi dalam kitab Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Hukm min ‘Ilm al-Usul, maslahat merupakan pemeliharaan terhadap tujuan hukum Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan dari makhluk (manusia).
Sedangkan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan, ajaran Islam dibangun di atas maslahat. Ajaran tersebut mengandung maslahat dan menolak mudharat (bahaya).
Maslahat yang dimaksud yaitu manfaat. Maslahat di sini bukanlah kembali pada Allah karena Allah itu ghani (Mahakaya). Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اَنْتُمُ الْفُقَرَاۤءُ اِلَى اللّٰهِۚ وَاللّٰهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ
Wahai manusia, kamulah yang memerlukan Allah. Hanya Allah Yang Mahakaya lagi Maha Terpuji. (QS Fathir: 15)
Para ulama membagi maslahat menjadi tiga macam. Pertama, maslahat mu’tabaroh, yaitu maslahat yang dianggap sebagai maslahat oleh syariat baik ditetapkan oleh dalil Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ maupun qiyas. Contohnya dalam masalah qishash dan jilbab. Kedua, maslahat mulghah, yaitu maslahat yang bertentangan dengan syariat. Contohnya dalam masalah ini, siapa yang bersumpah lalu ia melanggar sumpahnya, maka ia punya kewajiban untuk menunaikan kafarah sumpah.
Ketiga, maslahat mursalah, yaitu maslahat yang tidak memiliki dalil, namun tidak bertentangan (ditiadakan) oleh syariat dan tidak pula dianggap. Mengenai maslahat yang satu ini, para ulama berselisih pendapat apakah bisa dijadikan hujjah (alasan kuat) ataukah tidak. Sebagian ulama ada yang menolaknya sebagai hujjah karena sifatnya dugaan.
Lalu apa dampak negatif mengambil keputusan secara tidak maslahat? Dampak negatif mengambil keputusan secara tidak maslahat di antaranya: ketidakadilan yang menyalahi amanah, munculnya konflik, keterbelakangan ekonomi dan kecemburuan sosial, dan dilanda rasa gelisah.
Allah SWT berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ ٤١قُلْ سِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلُۗ كَانَ اَكْثَرُهُمْ مُّشْرِكِيْنَ ٤٢
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah (Nabi Muhammad), “Bepergianlah di bumi, lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan mereka orang-orang musyrik.” (QS Ar-Rum: 41-42)
Rasulullah SAW bersabda:
اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ) صحيح مسلم
“Takutlah berbuat zalim karena sungguh ia mendatangkan kegelapan-kegelapan di hari Kiamat.” (HR Muslim)
Allah SWT berfirman:
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَۙ ١الَّذِيْنَ اِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَۖ ٢وَاِذَا كَالُوْهُمْ اَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَۗ ٣اَلَا يَظُنُّ اُولٰۤىِٕكَ اَنَّهُمْ مَّبْعُوْثُوْنَۙ ٤لِيَوْمٍ عَظِيْمٍۙ ٥يَّوْمَ يَقُوْمُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعٰلَمِيْنَۗ
- Celakalah orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)!
- Orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi.
- (Sebaliknya,) apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka kurangi.
- Tidakkah mereka mengira (bahwa) sesungguhnya mereka akan dibangkitkan
- pada suatu hari yang besar (Kiamat),
- (yaitu) hari (ketika) manusia bangkit menghadap Tuhan seluruh alam? (QS Al-Muthaffifin: 1-6)
Keselamatan Dunia dan Akhirat
Lalu bagaimana caranya agar kita bisa mengambil keputusan berdasar kemaslahatan serta keselamatan dunia dan akhirat? Berikut beberapa cara di antaranya: Pertama, senantiasa memutuskan karena Allah dan karena cinta kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS Ali Imran: 31)
Kedua, memutuskan sesuatu karena mencari ampunan Allah dan senantiasa bertakwa. Allah SWT berfirman:
وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ
Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. (QS Ali ‘Imran: 133)
Ketiga, memutuskan perkara dengan adil. Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْاۗ اِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Maidah: 8)
Keempat, menghindari kejahatan dalam memutuskan sesuatu. Allah SWT berfirman:
وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۗاِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ
Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia. (QS Fussilat: 34)
Kelima, memutuskan sesuatu tidak dengan hawa nafsu. Allah SWT berfirman:
يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۢ بِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِࣖ
(Allah berfirman,) “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari Perhitungan.” (QS Shad: 26)
Kisah Teladan
Nabi Muhammad SAW merupakan contoh paripurna mengenai sifat adil. Dalam memutuskan persoalan, beliau selalu menelaah dengan sedetail mungkin. Pihak-pihak yang berseberangan akan didengarkan secara saksama. Dengan begitu, keputusan yang diambil dapat menjadi maslahat bagi semua.
Beliau biasa mempraktikkan prinsip keadilan bahkan sebelum menerima risalah kenabian. Lihatlah perannya sebagai penengah dalam peristiwa peletakan kembali Hajar al-Aswad.
Pascaperbaikan Ka’bah, tiap kepala suku sempat bersikeras melaksanakan tugas itu. Nyaris saja perang saudara terjadi di Mekkah. Akan tetapi, sosok berjulukan Al-Amin itu kemudian mengajak seluruh pemimpin kabilah untuk bersama-sama memindahkan batu mulia itu ke tempat semula.
اَللَّهُمَّ اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ
“Ya Allah, tunjukkanlah aku kepada akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjukkan kepadanya kecuali Engkau. Dan palingkanlah dariku kejelekan akhlak, tidak ada yang dapat memalingkannya dariku kecuali Engkau.” (HR Muslim No. 771) []