Buah perjuangan Trimurti Gontor, dalam memajukan pendidikan anak bangsa, kini telah berhasil melahirkan delapan puluhan Guru Besar alumni Gontor dari berbagai bidang pendidikan yang tersebar di berbagai wilayah.
Pondok Modern Darussalam Gontor sesaat lagi akan mencapai usia yang keseratus tahun. Pondok Gontor dapat bertahan hingga nyaris menapaki masa satu abad tersebut, tentunya setelah melewati berbagai aral melintang lewat perjalanan panjang dakwah pendidikannya.
Meskipun Gontor mengambil jalur pendidikan modern, namun semua itu tetap kembali kepada definisi pondok pesantren, dengan sang kiai yang menjadi figurnya dan masjid sebagai central yang menjiwainya. Justru dari situlah, Gontor dianggap sebagai pembaru sistem pendidikan di Indonesia dan telah memberi kontribusi nyata dalam pendidikan dakwah dan pendidikan agama Islam di Indonesia.
Buah perjuangan Trimurti Gontor dalam memajukan pendidikan anak bangsa, kini telah berhasil melahirkan delapan puluhan Guru Besar alumni Gontor dari berbagai bidang pendidikan yang tersebar di mana-mana.
Prof Dr KH Hamid Fahmy Zarkasyi MA MEd MPhil selaku Rektor Universitas Darussalam Gontor menjelaskan bahwa pendidikan di Gontor merupakan pendidikan dengan “super system” yang bersifat “holistic education“. Tujuan pendidikan terpenting di Gontor sendiri, menurut putra KH Imam Zarkasyi (salah satu Trimurti Pendiri Gontor) ini adalah pendidikan al-akhlak al-karimah dan penumbuhan mental attitude yang baik. Sedangkan kepercayaan diri serta kerja keras merupakan ciri khas santri Gontor.
Oleh karenanya, segala bentuk keberhasilan yang diperoleh oleh alumni Gontor saat berjuang di luar pondok, itu juga dikarenakan kesungguhannya dalam mengimplementasikan nilai-nilai Gontor yang baik, yang tentunya bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Kepada Majalah Gontor, Wakil Rektor III Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor Bidang Kerjasama, Penelitian, Pengabdian, dan Alumni, Dr Khoirul Umam MEc, menerangkan bahwa jiwa pejuang yang didapat para santri tidak lain ditularkan dari jiwa pejuang yang diajarkan oleh Trimurti Pendiri Gontor sejak awal merintis pondok ini.
Menariknya, lanjut Dr Umam, Kiai Ahmad Sahal muda, terinspirasi dari Kongres Umat Islam, bercita-cita ingin mendirikan lembaga pendidikan yang menghasilkan orang-orang berkarakter ulama yang intelek. Ia pun lantas mendiskusikannya dengan kedua adiknya. Kiai Zainuddin Fannanie kala itu mengutarakan ide untuk melakukan modernisasi sistem, atau tidak lagi menganut sistem klasik sebagaimana berkembang di zaman itu. Sedangkan Kiai Imam Zarkasyi menyarankan untuk membuat sistem pendidikan yang melahirkan orang baru agar lahir generasi baru.
Pada masa-masa penjajahan yang serba genting, perjuangan pendidikan Trimurti lewat sistem pendidikan Islam yang berbeda kala itu, menuai beberapa kritikan dari masyarakat. Namun demikian, Trimurti tetap bertahan berjuang dan meyakini bahwa untuk melawan penjajahan tidak bisa kecuali umat Islam memahami benar tentang Islam dan tantangan zaman (termasuk perihal kolonialisasi yang membawa ide intelektualitas, sekulerisasi, serta ilmu modern yang dipisahkan dari agama).
“Di awal sudah terlihat harapan Trimurti tinggi sekali,” tambah Direktur Pelaksana Program Kaderisasi Ulama (PKU) ISID Gontor/UNIDA Gontor 2008-sekarang. Tentu Trimurti muda, sambungnya, belum sampai pada maqam ulama intelek, akan tetapi rasa ingin menggapai cita-cita tersebut sudah diwujudkan lewat visi misi mulia yang mengantarkannya.
Hingga akhirnya didirikanlah Tarbiyatul Athfal, lalu berlanjut ke pendirian Kulliyyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah (KMI), sampai kemudian berkembang ke tingkat Perguruan Tinggi. Karena memang untuk melahirkan ulama intelek diperlukan jenjang pendidikan tinggi agar semakin luas ilmu dan wawasannya.
Setelah puluhan tahun berjalan, peran alumni Gontor di kancah pendidikan semakin terlihat. Khususnya mendekati usia satu abad Gontor, banyak dari alumni perguruan tingginya yang berhasil meraih gelar Profesor di berbagai bidang keilmuan.
Ustadz kelahiran Malang, 17 September 1979, itu pun menceritakan catatan emas tiga alumni Institut Pendidikan Darussalam yang menjadi rektor dan berhasil membawa institusi yang dipimpinnya dari institut menjadi universitas. Prof Dr M Amin Abdullah berhasil menjadikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Prof Dr Azhar Arsyad membawa IAIN Makassar menjadi UIN, dan Prof Dr KH Aflatun Muchtar MA juga menjadi rektor di IAIN Raden Fatah yang telah diubahnya menjadi UIN Raden Fatah Palembang. “Ini luar biasanya peranan Gontor pada dunia perguruan tinggi,” tekan suami dari Ustadzah Siti Namira Fitri tersebut.
Peran Kurikulum Pendidikan Gontor
Kurikulum pendidikan Gontor didisain untuk mencetak ulama yang intelek. Sejak awal kurikulum Gontor telah menggabungkan ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama secara harmonis. “Terintegrasi, 100% ilmu agama dan 100% ilmu umum. Tidak ada dikotomi ilmu. Dalam konteks pendidikan tinggi, UNIDA menggunakan istilah pengembangan ilmu saat ini yakni Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer,” lanjut Dr Umam.
Kurikulum pembelajaran fiqih di Gontor sangat menarik. Pengajaran fiqih dibuat tiga jenjang: jenjang taqlid, ittiba’, dan ijtihad. Fiqh kelas 1 dan 2 berisi hukum dan tatacara ibadah, serta mu’amalah. Kelas 3 dan 4 anak didik diajarkan analisa dalil dari hukum-hukum fiqh. Selanjutnya pada kelas 5 dan 6, siswa disiapkan untuk masuk ranah ijtihad (Kitab Bidayatul Mujtahid). Artinya, meski santri masih duduk di bangku setara Madrasah ‘Aliyah, namun kurikulum Gontor sudah mencetak karakter yang harus berpikir ijtihadi sebagaimana tertera dalam Panca Jiwa yang kelima (Berpikiran Bebas).
Kurikulum Gontor telah memberikan kunci untuk membuka ruang yang lebih besar, karenanya diperlukan pemilihan jenjang perguruan tinggi yang tetap ‘lurus’ atau tidak menyeleweng dari ajaran Islam.
Selain itu, keunggulan sistem pendidikan di Gontor sejak dulu telah menggunakan cara pengajaran modern, yang dalam pembelajarannya santri juga diajak untuk berpikir kritis, lewat metode tanya jawab dan tajahul saqratiy. Maka, tidak heran jika alumni Gontor banyak yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan ke tingkat lebih tinggi seperti menjadi profesor, dikarenakan dukungan kurikulum dan sistem pengajaran yang baik selama belajar di Gontor.
Strategi UNIDA Cetak Guru Besar
Sistem pendidikan Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor diarahkan sesuai dengan visi yang tertulis dalam amanah Trimurti di Piagam Wakaf tahun 1958 yang utamanya menjadi universitas bermutu dan berarti dengan tiga ciri utama.
“Bermutu” salah satu ukurannya aitu akreditasi unggul dan akreditasi internasional. “Berarti” ini lebih dalam lagi seperti bagaimana kiprah, peran dosen, mahasiswa, serta alumni, baik di kancah nasional maupun internasional. “Demikian design UNIDA mengarah ke situ, jadi ini utama sekali,” ucap Doktor Ilmu Ekonomi lulusan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2020, tersebut.
Ciri pertama harus berjiwa pesantren dengan sistem perguruan tinggi pesantren. Maka, di UNIDA ada Direktorat Kepesantrenan untuk memaksimalkan potensi mahasiswa di luar kelas. UNIDA pun memiliki dua Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). IPK akademik sebagaimana biasa, dan IPKs indeks prestasi kesantrian yang me-record kegiatan-kegiatan mahasiswa di luar kelas. Sehingga mahasiswa yang berprestasi di UNIDA yaitu yang balance keduanya. “Ini kurikulum yang komprehensif dan tidak ada di tempat lain,” tekannya.
Kedua, mengembangkan ilmu pengetahuan dan keislaman. Sebab itu, dicanangkan Islamisasi ilmu kontemporer. Ketiga, mengembangkan bahasa al-Qur’an. “Ini semua menjadi kekuatan design kurikulum UNIDA untuk siap melahirkan alumni yang mampu menjadi Guru Besar di masa mendatang.”
Selain itu, UNIDA sendiri tentu mendesign dosen agar bisa mencapai gelar profesor. Teknisnya, UNIDA fokus kepada kepangkatan dosen, sehingga mereka dikawal betul terkait pendidikan, pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. “Hal ini betul-betul dikawal dan dievaluasi agar bisa maksimal dan mudah menjadi profesor untuk menguatkan UNIDA,” tutupnya. []