Penerimaan santri baru di Pondok Modern Darussalam Gontor tahun ini mencapai rekor tertinggi. Hingga batas waktu pendaftaran calon santri (pelajar) ditutup, jumlah pendaftar ada 7.605 orang. Angka tersebut merupakan hasil rekapitulasi dari Gontor putra dan Gontor putri di Jawa dan luar Jawa.
Sebanyak 3.714 orang mendaftar di kampus pusat Gontor putra, sedangkan yang mendaftar di Gontor kampus putra luar Jawa sebanyak 586 orang. Adapun yang mendaftar di Pondok Modern Gontor Putri Mantingan ada 2.816 orang, dan pendaftar di Gontor kampus putri luar Jawa 489 orang.
Menurut Sekretaris Jenderal Forum Pesantren Alumni Gontor (FPA) KH Anang Rikza Masyhadi MA, membludaknya animo masyarakat terhadap pesantren tidak hanya dialami oleh Gontor. Tapi juga dialami oleh pesantren-pesantren lain.
“Sudah mulai ada pergeseran paradigma. Dulu para orangtua menjadikan pesantren sebagai pilihan kedua, ketiga dan seterusnya. Tapi sekarang pesantren menjadi pilihan utama karena perkembangan situasi yang semakin hari semakin mengkhawatirkan, pergaulan bebas, narkoba, kenakalan remaja, tawuran, dan lain sebagainya membuat para orangtua merasa aman memasukkan anaknya ke pesantren,” papar Pimpinan Pondok Modern Tazakka, Batang, Jawa Tengah, itu.
Untuk mengetahui lebih lanjut fenomena nyantri yang sedang ngetren ini, Wartawan Majalah Gontor Muhammad Khaerul Muttaqien berhasil mewawancarai Kiai Anang di sela-sela kesibukannya. Berikut petikan wawancaranya:
Fenomena membludaknya pendaftaran santri baru di Gontor maupun di pesantren lain sebenarnya menunjukkan apa? Apa ada kaitannya dengan fenomena hijrah umat Islam Indonesia atau ada faktor lain?
Jika dulu orangtua memondokkan anaknya ke pesantren tujuannya supaya anaknya jadi ulama atau menteri agama atau tafaqquh fid dien, sekarang ini ada pergeseran paradigma. Orangtua menyekolahkan anak-anaknya di pesantren bukan semata-mata karena itu. Tapi agar anaknya selamat dari aneka ragam tantangan masa kini yang sangat mengkhawatirkan. Jadi apapunlah itu, anaknya yang penting bisa aman dan orangtua nyaman di rumah dengan cara menitipkan anaknya di pesantren. Saya kira ini merupakan satu pergeseran yang positif, tinggal bagaimana pesantren menangkap perubahan paradigma dan pergeseran ini di masyarakat.
Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan Gontor dan/atau pesantren lain pada umumnya menerima banyak/sedikit santri?
Bagi pesantren menerima sedikit atau banyak santri itu karena banyak faktor. Pertama, tentu soal kapasitas sarana dan prasarana, kapasitas SDM, kapasitas ruang dan lain sebagainya. Pesantren tidak serta merta menerima semua orang yang mendaftar. Untuk mengatasinya, pesantren biasanya melakukan seleksi penerimaan santri. Seleksi itu sebenarnya bukan untuk memilih siapa yang layak dan tidak layak masuk pesantren, karena anak masuk pesantren itu sebenarnya merupakan sebuah kesyukuran dan amanah, tapi lagi-lagi menerima sedikit atau banyak santri itu tergantung persiapan pesantren itu sendiri. Baik sarana prasarana, SDM dan lain sebagainya. Kedua, bisa jadi juga ada beberapa pesantren yang ingin lebih menekankan kualitas. Bukan sekedar kuantitas tapi juga kualitas. Betul-betul ingin menjaga agar kualitas bisa tetap terjaga dengan baik, dengan cara tidak terlalu banyak menerima santri. Namun di sisi lain pondok-pondok pesantren seperti Gontor, Al-Amin, Darunnajah, Latansa membuat cabang-cabang itu agar semua yang mendaftar dapat diterima semua, hanya diterima pada leveling dan jenjang yang berbeda.
Sejauh yang Ustadz tahu, apakah ini hanya terjadi di Gontor? Bagaimana dengan Tazakka dan pondok-pondok alumni lainnya?
Pondok-pondok pesantren lain baik yang tergabung dalam Forum Pesantren Alumni Gontor yang jumlahnya kurang lebih 1000 pesantren di Tanah Air termasuk Pondok Modern Tazakka juga mengalami kenaikan jumlah santri yang cukup signifikan. Di luar itu pesantren-pesantren salaf, pesantren-pesantren tradisional, juga saya dengar mereka mengalami peningkatan. Itu terjadi karena memang masyarakat saat ini sedang mengalami pergeseran paradigma. Masyarakat sudah mulai menjadikan pesantren sebagai pilihan utama untuk menyekolahkan anaknya.
Apa saja yang bisa ditiru dari Gontor soal promosi dan penerimaan santri baru sehingga bisa sebanyak itu?
Gontor sudah dikenal selama hampir satu abad. Promosi Gontor itu saya kira lebih pada alumninya. Alumninya menjadi orang-orang yang bermanfaat di masyarakat. Memiliki kiprah, peran dan kepemimpinan di masyarakat yang dirasakan masyarakat. Profil-profil alumninya juga orang-orang yang (mutasaamih) moderat, kemudian memiliki mainstream pandangan keislaman, keumatan, kebangsaan yang hanif sebagai perekat umat. Itu semua saya kira adalah merupakan promosi utama Gontor, bukan lewat leaflet bukan lewat koran. Karena Gontor tidak pernah iklan. Jadi bagi pondok-pondok alumni sebetulnya promosi yang paling baik adalah bagaimana menguatkan dan meningkatkan kualitas alumni. Karena alumni itulah yang nanti akan menjadi promosi atau marketing pesantren di luar. Saya kira agak aneh dan lucu kalau pondok pesantren memasang spanduk penerimaan santri, pasang iklan karena pesantren bukan sekolah.
Dalam hal yang lebih mikro, mengapa orangtua perlu memondokkan anaknya ke pesantren?
Orang tua memondokkan anaknya ke pesantren, pertama, agar anaknya bisa memahami ajaran agama dan menjadi pengamal ajaran agama dengan baik. Saya kira ini kesadaran yang baik dan itu sekarang trennya terus naik. Kedua, mulai bergeser dan mulai berkembang bahwa tujuan memondokkan anaknya bukan saja ingin memahami dan mendalami agama, tapi sekarang ini juga ada motif-motif lain yaitu misalnya agar anaknya selamat dari kerusakan, dekadensi moral yang sekarang ini terjadi. Orangtua sekarang ini sudah sulit untuk mengendalikan anaknya di luar, pengaruh tantangan modernisasi globalisasi, situasi yang seperti ini membuat orangtua tidak nyaman ketika anaknya berada di luar rumah dan tidak terkontrol. Orangtua sudah tidak punya lagi kekuasaan dan kemampuan untuk mengendalikan secara penuh, perkembangan pendidikan dan perkembangan mental anaknya. Apalagi yang jarak rumah dan jarak sekolahnya terlalu jauh maka potensi merusak itu juga semakin besar. Di pesantren orangtua merasa nyaman karena anaknya 24 jam dalam pengawasan, dalam satu tata kehidupan yang terpola, disiplin, teratur tertib, kemudian juga ada kepemimpinan yang ditaati, dipatuhi. Ada kharisma ada wibawa, yaitu yang disimbolkan dalam figur kiai seperti publik figur itu juga salah satu hal yang membuat orangtua mengirimkan anaknya ke pesantren. Ada juga motif lain karena kebesaran pesantren, ada juga motif lain bahwa orangtua sekarang melihat bahwa alumni-alumni pesantren menjadi orang-orang hebat dan orang-orang penting dan terpandang di negeri ini. Punya peran besar, punya kiprah besar, punya tanggung jawab besar dan menjadi perekat umat. Mereka mengamati bahwa alumni pesantren bukan sekedar bisa bermain di wilayah pinggiran tapi ternyata alumni pesantren bisa memainkan peranannya di pusat kekuasaan, di pusat ekonomi, di pusat budaya, di pusat peradaban manusia. Jadi inilah di antara motivasi mengapa orangtua memondokkan anaknya di pesantren.
Apa nilai lebih pendidikan pesantren dibandingkan sekolah umum?
Tradisi pesantren itu santri yang mendatangi kiai, santri yang mencari kiai, mencari guru kemudian meminta izin kepada kiai dan guru untuk diterima sebagai santrinya. Ruh atau value ini harus dipertahankan. Karena inilah khas pesantren. Inilah yang membedakan pesantren dengan sekolah biasa.
Apa yang perlu dilakukan orangtua agar anaknya betah tinggal di pesantren?
Supaya anaknya betah ada banyak hal. Pertama, keikhlasan anak itu sendiri dalam menuntut ilmu di pesantren. Keikhlasan orangtuanya, keikhlasan keluarganya, keikhlasan pesantren itu sendiri dalam menerima anak itu. Keikhlasan adalah faktor paling kunci. Kalau orangtuanya tidak ikhlas sepenuhnya, tidak merelakan anaknya mesantren, nanti anaknya ada saja gangguan dan bisa mempengaruhi psikologis anaknya. Kedua, kesabaran. Mondok itu kan berarti memindahkan anak dari satu dunia ke dunia lain yang sangat berbeda tentu saja. Bahkan hampir semua kenikmatan, semua fasilitas yang mungkin dirasakan, yang mungkin dinikmati anak-anak itu tiba-tiba harus ditinggalkan. Anak masuk ke dunia baru yang sama sekali berbeda, dengan suasana yang berbeda, dengan dosis kerapian, kedisiplinan, ketertiban yang berbeda. Ini harus didukung dengan kesabaran yang tinggi. Kalau anaknya, keluarganya bahkan guru-gurunya tidak sabar maka saya kira sulit untuk berhasil. Faktor yang lain adalah hidayah. Ini jangan diabaikan. Orangtua harus terus mendoakan selama anaknya mondok. Termasuk di antaranya guru dan kiai tidak boleh lupa untuk mendoakan santrinya. Kalau perlu didoakan satu persatu. Kan banyak forum di mana guru, kiai bertemu santrinya. Di kelas, di tausyiah umum, saat bersalaman, saat menghadap dan saat bertemu di jalan. Forum-forum itu yang digunakan untuk mendoakan, transfer pengetahuan, wawasan, value, pengalaman. Ini faktor-faktor penunjang.
Adakah kisah-kisah unik dan inspiratif soal perjuangan orangtua dan anak dalam belajar menuntut ilmu di pesantren?
Ada. Sekarang anaknya sudah alumni dan diterima kuliah di Turki. Itu mereka, orangtua dan anaknya tertawa geli mengenang masa lalu anaknya. Kata orangtuanya, pak saya itu berjuang, bersabar dan belajar ikhlas itu sejak hari ketiga anak saya mondok. Karena sejak hari ketiga itu rewel. Rewel ditenangkan. Mau maksa pulang ditenangkan lagi. Bahkan pura-pura sakit supaya bisa pulang, disabarkan lagi, ditenangkan lagi. Sampai akhirnya enam tahun dia menyelesaikan pendidikannya di sini dan sekarang malah dia mendapatkan beasiswa ke Turki. Ada juga yang sekarang di Mesir anaknya. Waktu itu anaknya di pondok, hari ke tujuh bapak ibunya menghadap ke kami, karena ingin anaknya dipindah ke SMA. Tapi kalau tidak diterima di SMA kembali lagi ke pondok. Itu kan artinya pondok dijadikan pilihan kedua, ini belum matang namanya. Setelah kita jelaskan, kita orientasi kembali visi misi dan value pondok akhirnya mantap. Setelah mantap itu justru berbalik arah, keikhlasannya jadi mantap, kesabarannya jadi mantap, ketabahannya jadi mantap, kekuatannya juga jadi mantap, akhirnya anaknya itu berprestasi, baik, lulus, dan sekarang dapat beasiswa ke Mesir. Banyaklah kisah-kisah unik dan memang kita harus sabar, tabah, ikhlas. Ikhlas mendidik dan ikhlas menyerahkan anaknya ke pesantren.[]