Pandemi korona yang terjadi di Indonesia sejak Maret 2020, ternyata berdampak panjang bagi dunia pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pun segera mengambil langkah konkret untuk merumahkan para pelajar di daerah terdampak Coronavirus Disease.
“Kehadiran fisik tidak menjadi ukuran kinerja, yang terpenting adalah pembelajaran tetap berjalan dan terus terjadi. Hanya caranya yang berubah menjadi pembelajaran daring,” tegas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.
Cara belajar dari rumah dengan mengandalkan akses internet tampaknya telah menjadi kendala besar bagi guru dan murid yang berada di daerah tertinggal. Pun permasalahan ekonomi juga bisa menjadi salah satu faktor para siswa dan guru sulit untuk mengakses internet.
Hal ini sebagaimana diterangkan Siti Majidah, dosen Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, kepada Gontornews.com, “Selama mengajar secara online, biasanya mahasiswa yang berada di daerah jauh mengalami kesulitan sinyal. Jadi jaringan internet tidak mendukung.”
Pengajar program studi Perbankan Syariah, mata kuliah Bahasa Arab Perbankan Syariah ini menceritakan, ”Untuk materi bahasa yang saya ampu, kuliah online memiliki tantangan tersendiri.”
Misalnya, harus adanya ability (kemampuan) mahasiswa dalam mempraktikkan percakapan. Maka biasanya digunakan media zoom atau atau google meet.
”Nah ini kadang menemui kendala dengan adanya jaringan yang timbul dan tenggelam dari mahasiswa terutama yang tinggal di daerah yang susah sinyal,” tutur alumnus Gontor Putri tahun 2003 itu.
Berdasarkan hasil evaluasi lewat belajar daring, Majidah menyampaikan bahwa selama ini banyak mahasiswa yang stres. ”Jadi memang kalau e-learning pakai model asinkron yaitu dengan tidak harus online bersamaan waktunya dan bukan bertumpu kepada tugas yang banyak,” pintasnya.
Menurutnya, selama proses pembelajaran daring, keberhasilan pembelajaran tergantung materi dan metode serta sarana media yang digunakan. Dalam beberapa materi mahasiswa sangat antusias bahkan bisa sangat menarik diskusi yang berjalan, dibandingkan ketika kelas offline.
Masih dalam kondisi yang sama, Siti Mubarokah, pendiri Yayasan Kelompok Bermain/Taman Kanak-Kanak Atthohirin, Sidoarjo, juga menyampaikan, “Pembelajaran daring tentu kurang maksimal.”
Biasanya di sekolah guru KB/TK bisa membantu menstimulasi dan menuntaskan enam aspek perkembangan anak didik mulai dari nilai agama moral, fisik motorik, bahasa, kognitif, sosial emosional, dan seni, baik melalui kegiatan pembiasaan maupun penyajian materi.
”Tetapi di masa wabah COVID-19 ini, terpaksa kami hanya bisa mengarahkan para orangtua untuk membantu penuntasan satu hingga dua aspek perkembangan saja,” ungkap Mubarokah kepada Gontornews.com.
Selain itu ada juga kendala keterbatasan media komunikasi dan jaringan internet. Dikarenakan dari pihak sekolah memahami adanya berbagai macam latar belakang pendidikan, keadaan ekonomi, serta banyaknya jumlah anggota keluarga yang masih menempuh pendidikan, mulai dari tingkat PAUD sampai SMA.
Orangtua pun harus bergantian dalam memanfaatkan media komunikasi, baik via gawai maupun komputer. Serta tidak semua guru dan wali murid berlangganan internet berbayar dan hanya menggunakan paket data saja. Beberapa hal itu lagi-lagi menjadi kendala tersendiri bagi semua pihak yang terlibat dalam online class ini.
Melihat munculnya beberapa kendala pembelajaran daring, guru asal Sidoarjo itu pun menyarankan agar pemerintah khususnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan terus mengevaluasi tayangan edukasi anak PAUD melalui TVRI.
Sejauh ini tayangan edukasi tersebut sudah bagus, tetapi hal itu bukanlah solusi yang tepat. ”Sekali lagi hanya bisa menstimulasi anak untuk aspek bahasa, seni, dan kognitifnya saja,” ungkap guru berkacamata tersebut.
Alasannya karena pembelajaran dilakukan hanya melalui melihat, menyanyi, dan menceritakan kembali. “Seharusnya pembelajaran anak usia dini dengan benda kongkret dan real yang bisa dipegang dan dimainkan,” usulnya.
Di masa pandemi COVID-19, ia juga merasa prihatin dengan anak-anak yang semula sudah dijauhkan dengan gawai dan televisi, sekarang ini malah berbalik harus menonton TV dan gawai.
Mubarokah pun menyarankan agar tetap ada tatap muka dengan sebagian kecil personil. Maksimal dalam satu kelompok ada tiga-lima anak. Syaratnya tetap menggunakan APD (Alat Pelindung Diri), akan tetapi dibuat jadwal bergilir dan sebagian besar tetap belajar daring.
Karena anak-anak selama belajar di rumah dengan orangtuanya banyak yang tertekan dan menangis. “Orangtua banyak yang kurang telaten dan sabar, sebagaimana guru-guru mereka di sekolah,” tutup pengurus KB/TK Atthohirin sejak 2012 hingga 2020, dari yang awalnya hanya berjumlah empat siswa hingga sekarang berjumlah 132 siswa itu.
Siti Majidah Lc MA, dosen dan narasumber Kajian Lentera Rohani Redjobuntung FM, mengusulkan, ”Pemerintah harus bisa menjamin ketersediaan sistem pendukung insfrakstruktur untuk kelancaran aktivitas digital dan supply hardware yang diperlukan.”
Pemerintah pun bisa melibatkan para ahli untuk mendedikasikan ilmu dan keahliannya untuk menghasilkan software dan aplikasi demi memperlancar kegiatan pendidikan lewat jasa teknologi digital. Karena pada kenyataannya, di lapangan belum semua wilayah terjangkau dengan jaringan yang memadai.
Selain itu para tenaga didik dapat meningkatkan kecakapan dan keterampilan digital untuk memperlancar kegiatan pembelajaran online. Seperti bagaimana menyiapkan konten atau bahan ajar, mengendalikan proses belajar dan evaluasi pembelajaran dengan tetap menerapkan dan mentransformasikan nilai-nilai dalam pembelajaran.
”Ini dikarenakan belum semua guru terampil menggunakan teknik mengajar jarak jauh,” pungkas alumnus Al-Azhar University, Kairo, Mesir itu. [Edithya Miranti]