Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Qurban tinggal menghitung hari. Di jalanan dan sudut-sudut kota di Indonesia pada umumnya muncul kandang-kandang sapi, domba dan kambing. Kandang-kandang dadakan itu hadir demi mempermudah umat Islam memperoleh hewan yang akan disembelih sebagai qurban untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Inilah teladan dari Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang kemudian disyariatkan oleh Allah untuk umat Islam.
Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى الْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِنْ شَآءَ اللَّهُ مِنَ الصَّٰبِرِينَ
Artinya: “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersama-samanya, (Ibrahim) berkata: ‘Wahai anakku! sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab: “Wahai ayahku! kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; in syaa Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.“ (QS. As-Saffat: 102)
Dalam Tafsir al-Jalalain, Imam Al-Jalalain memadahkan bahwa Nabi Ismail AS baru berusia antara 7-13 tahun namun sudah memiliki kematangan jiwa yang tinggi atas ketaatannya kepada Allah dan baktinya kepada orangtua. Menurut Al-Farra’, usia Ismail ketika itu 13 tahun. Nabi Ibrahim AS dengan hati yang sedih memberitahukan kepada Nabi Ismail AS tentang perintah Allah SWT yang disampaikan kepadanya melalui mimpi.
Al-Fakhr Ar-Rāzī dalam tafsirnya Mafātiĥ al-Ghayb menuturkan bahwa “Mimpi seorang nabi digolongkan sebagai salah satu jenis wahyu”. Mimpi ini bukan datang dari setan namun dari Allah SWT.
Sedangkan menurut Tantawi Jauhari dalam Tafsir al-Wasit, musyawarah yang dilakukan Nabi Ibrahim AS bertujuan supaya Nabi Ismail AS dapat lebih menerima dan sabar atas penyembelihan dirinya sehingga akan menambah ketenangan diri Nabi Ibrahim AS sebagai sang ayah. Selain itu, dengan usaha ini dapat terlihat kemantapan iman Nabi Ismail AS pada perintah Allah, apakah ia taat atau durhaka sebagaimana Kan’an, putra Nabi Nuh AS.
Menurut Syekh Jalaluddin Al-Mahalli bahwa kambing yang digunakan sebagai ganti dari penyembelihan tersebut merupakan sembelihan yang agung (dzibhul adzim), karena sebenarnya, kambing itu merupakan kurban Habil yang diangkat ke langit, saat Allah memerintahkannya untuk melaksanakan kurban, lalu digembalakan di surga untuk waktu yang sangat lama.
Imam Makarim Syirazi dalam tafsirnya al-Amtsal fi Tafsir Kitabillahi al-Munazzal berpendapat bahwa: “Ujian penyembelihan Ismail ini bertujuan untuk mengosongkan hati (qalb) Nabi Ibrahim AS dari cinta selain Allah SWT.
Nilai dan falsafah yang tersirat dalam perintah penyembelihan (adz-dzabh) ini merupakan isyarat akan upaya tawajjuh kepada Allah SWT; mengosongkan hati dari segala selain Allah SWT. Hal senada diungkapkan oleh Ibn ‘Ajibah dalam Bahr al-Madid fi Tafsir al-Qur’an al-Majid, maksud lain dari perintah menyembelih dalam mimpi Nabi Ibrahim AS adalah manifestasi dari ketundukan kepada-Nya, bukan penyembelihan Nabi Ismail AS itu sendiri.
Lebih lanjut, dalam Tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa alangkah indahnya akhlak Nabi Ismail AS terhadap Allah, alangkah indahnya keimanannya, alangkah indahnya ketaatannya, dan alangkah agungnya penyerahan dirinya.
Mengaitkan kesabarannya dengan kehendak Allah, sambil menyebutkan terlebih dahulu kehendak-Nya. Hal ini menandakan betapa mulianya akhlak Nabi Ismail AS kepada Allah SWT. Tidak syak lagi bahwa sang ayah telah menanamkan dan mengajarkan tentang keesaan Allah dan sifat-sifat-Nya yang indah serta bagaimana seharusnya bersikap kepada-Nya. Sikap dan ucapan Nabi Ibrahim AS pada ayat ini merupakan bentuk pendidikan Nabi Ibrahim AS kepada Nabi Ismail AS. Allah SWT berfirman: وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَٱتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَٱتَّخَذَ ٱللَّهُ إِبْرَٰهِيمَ خَلِيلً
Artinya: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan(-Nya).” (QS. An-Nisa’: 125)
Ayat di atas sarat dengan nilai-nilai pendidikannya. Di antaranya: mendidik kita agar menjadi orang yang senantiasa bersabar dan taat pada perintah Allah, mendidik kita agar senantiasa menyadari bahwa apa yang kita miliki itu milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, mendidik kita menjadi hamba Allah yang lurus untuk mengikuti syariat Allah, dan mendidik kita menjadi hamba yang mengutamakan cinta kepada-Nya.
Makna sabar, dalam pengertian umum adalah menahan diri dan mencegah. Ibnu Qayyim al-Jauziah menandaskan bahwa sabar artinya menahan diri dari rasa gelisah, amarah serta cemas, menahan tubuh dari kekacauan. Sedangkan sabar dalam arti syariat Islam adalah menahan diri (tekun, telaten, rajin) dalam melaksanakan apa saja yang dikehendaki oleh Allah atau menahan diri (bertahan) untuk tidak melakukan apa saja yang dilarang oleh Allah SWT.
Imam al-Ghazali menyebutkan beberapa macam kesabaran sebagai berikut:
وَالصَّبْرُ عَلَى أَوْجُهٍ: صَبْرٌ عَلَى طَاعَةِ اللهِ، وَصَبْرٌ عَلَى مَحَارِمِهِ، وَصَبْرٌ عَلَى اْلمُصِيْبَةِ
Artinya: “Sabar itu terdiri dari beberapa bagian, yaitu: (1) sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, (2) sabar dalam menjauhi larangan-larangan Allah, (3) sabar dalam menerima musibah.” (Al-Ghazali, Mukâsyafatul Qulûb, Beirut: Dâr al-Qalam, hlm. 16). Nabi Ismail AS mampu melewati ujian karena ia mampu berserah diri (taslīm). Kepasrahan diri semacam inilah yang mengantarkan Nabi Ismail AS pada maqam ‘kesabaran/ash-shābirīn’ sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Anbiyā: 85.
Allah SWT berfirman: وَإِسْمَٰعِيلَ وَإِدْرِيسَ وَذَا ٱلْكِفْلِ ۖ كُلٌّ مِّنَ ٱلصَّٰبِرِينَ
Artinya: Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli. Mereka semua termasuk orang-orang yang sabar.
Sikap Nabi Ismail AS ini sangat dipuji oleh Allah dalam firman-Nya: وَاذْكُرْ فِى الْكِتَٰبِ إِسْمَٰعِيلَ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَّبِيًّا
Artinya: “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’’an. Sesungguhnya ia orang yang benar janjinya, dan dia seorang rasul dan nabi. (QS. Maryam: 54).
Rahasia Ketaatan Nabi Ismail
Rahasia ketaatan Nabi Ismail kepada Allah dan orangtuanya terletak pada ayahnya, Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim AS merupakan sosok seorang ayah yang sangat sayang pada anaknya, sebagaimana yang diterangkan oleh Omar Hashem bahwa Nama Ibrahim mempunyai arti sebagai “ayah yang penyayang”. Hal ini sejalan dengan QS. At-Taubah ayat 114:
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ اِبْرٰهِيْمَ لِاَبِيْهِ اِلَّا عَنْ مَّوْعِدَةٍ وَّعَدَهَآ اِيَّاهُۚ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهٗٓ اَنَّهٗ عَدُوٌّ لِّلّٰهِ تَبَرَّاَ مِنْهُۗ اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ لَاَوَّاهٌ حَلِيْمٌ
Artinya: “Adapun permohonan ampunan Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya. Maka ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sungguh, Ibrahim itu seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-Taubah: 114)
Ibadah qurban dimaknai sebagai sebuah bentuk kepasrahan seorang hamba kepada Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Perintah untuk berqurban ini telah digariskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Kautsar ayat 1-2, yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.”
Awal Mula Ibadah Qurban
Peristiwa asal mula seruan Allah bagi seluruh umat Muslim untuk melaksanakan ibadah qurban yaitu ketika Allah menguji ketaatan Nabi Ibrahim AS yang harus mempertaruhkan rasa cinta dan sayangnya kepada sang anak (Nabi Ismail AS).
Allah SWT berfirman:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ
Artinya: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya.” (QS. Al-Kahfi: 28).
Dengan ketaatan kepada Allah SWT yang luar biasa sebagaimana ditunjukkan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS, maka Allah berfirman kepada Nabi Ibrahim sebagaimana termaktub dalam Surat As-Shaffat ayat 104-105.
وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu; sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”.
Ketika Nabi Ibrahim AS menerima perintah untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail AS, beliau sama sekali tidak menentangnya. Justru Nabi Ismail menunjukkan sifat mulia, ridha terhadap kehendak Allah SWT. Allah mengisahkan hal ini dalam firman-Nya:
يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, in syaa Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffât: 102).
Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ
Artinya: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).” (Ash-Shaffat: 103).
As-Saddi dan para mufasir yang lain menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim AS sempat menggorokkan pedangnya, tetapi tidak dapat memotong sesuatu pun, bahkan dihalang-halangi antara pedang dan leher Nabi Ismail AS oleh lempengan tembaga.
Atas izin Allah, pedang menjawab, “Hai Ibrahim! Kau menghendaki untuk menyembelih, sedangkan Allah penguasa semesta alam berfirman, ‘jangan disembelih’. Jika begitu, kenapa aku harus menentang perintah Allah?”.
Allah SWT berfirman:
إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ
Artinya: “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (bagimu). Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shâffât: 106).
Pada saat itu semesta alam beserta seluruh isinya ber-takbir (Allâhu Akbar) mengagungkan kebesaran Allah SWT atas kesabaran kedua umat-Nya dalam menjalankan perintahnya. Melihat hal itu, malaikat Jibril terkagum-kagum lantas mengagungkan asma Allah, “Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar”. Nabi Ibrahim AS menyahut, “Lâ Ilâha Illallâhu wallâhu Akbar”. Ismail mengikutinya, “Allâhu Akbar wa lillâhil hamd”. Bacaan-bacaan tersebut kemudian dibaca oleh umat Islam pada setiap Hari Raya Qurban (Idul Adha).
Puncak Keimanan
Inilah puncak keimanan Nabi Ibrahim yang telah terbukti dalam bentuk penyerahan diri secara menyeluruh serta kepatuhannya terhadap (perintah dan larangan) Allah Tuhan Semesta Alam.
Allah SWT berfirman:
إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ.
Artinya: Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Baqarah: 131)
Atas kepatuhannya itu Allah SWT memberi gelar “Halim” kepada Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS.
Gelar halim, yang berarti pengasih, pemurah, baik, tenang, dan lembut itu hanya diberikan kepada dua manusia saja, yang tak lain yaitu Nabi Ismail dan ayahnya, Nabi Ibrahim karena buah keimanan, kesabaran, kecintaannya karena Allah dan taat patuh pada perintah-nya.
Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ini mempunyai dua dimensi: Dimensi vertikal hablum minallah, dan dimensi horizontal kemasyarakatan hablum minannas. Dua dimensi inilah yang telah mengantarkannya kepada ketakwaan yang bermuara pada ridha Allah SWT.
Allah mengingatkan kita dalam Surat Al Hajj ayat 37:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Hajj: 37).
Kisah Nabi Ismail ini menjadi teladan atau ibrah bagi umat manusia, yaitu: Pertama, keimanan kepada Allah SWT dengan menunjukkan dedikasi yang tinggi dengan keimanan serta kesiapan emosional sehingga dapat menyelesaikan cobaan dan lulus dari bahaya kematian. Kedua, teladan kesabaran. Ketiga, teladan kepatuhan terhadap orangtua.
Selain itu, kisah Nabi Ismail mendatangkan tiga pesan kepada kita. Pertama, peristiwa ibadah qurban sebagai bentuk dari penyerahan diri secara totalitas kepada Allah SWT. Kedua, pengorbanan harta benda, tenaga, pikiran, waktu, bahkan nyawa sekalipun. Pengorbanan ini merupakan manifestasi dari kesadaran kita sebagai makhluk sosial yang mempunyai rasa dan karsa. Ketiga, tidak ada kebahagiaan tanpa perjuangan dan pengorbanan. []