Bulan Suci Ramadhan kembali hadir dan menyapa kaum Muslimin di seluruh dunia. Kebahagiaan membuncah menyambut tamu agung ini, sebab kebahagiaan akan datangnya bulan suci Ramadhan adalah tanda keimanan seorang Muslim. Ramadhan memiliki kemuliaan dan keistimewaan dibandingkan dengan bulan-bulan lain.
Secara individual, pelaksanaan puasa Ramadhan memiliki dampak meningkatnya kualitas ketakwaan bagi yang menjalankan puasa. Sebagaimana disepakati oleh jumhur ulama bahwa hakekat ketakwaan adalah derajat mulia bagi seorang Muslim karena mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan mampu menjauhi seluruh larangan Allah.
Ketakwaan adalah bekal terbaik bagi seorang Muslim karena bisa mendatatangkan ridha dan surganya Allah. Dalam Qur’an, surga disebut dengan istilah Darul Muttaqien yakni tempat atau kampung bagi orang-orang bertakwa. Dan Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa (QS An Nahl: 30).
Inti Ramadhan adalah ketakwaan. Sebab ujung dari pelaksanaan puasa pada bulan suci Ramadhan adalah diraihnya status sebagai manusia yang bertaqwa (QS Al Baqarah: 183). Siapapun kaum Muslimin yang mampu menyelesaikan ibadah bulan suci ini akan berpeluang mendapatkan derajat paling mulia di sisi Allah ini. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al Hujuraat: 13).
Karena itu menjadi penting memahami arti takwa yang sesungguhnya serta menerapkan nilai-nilai ketakwaan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab derajat takwa akan bisa terlihat dari perubahan sikap yang lebih baik seusai melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh. Meski ada perbedaan perilaku orang-orang bertakwa sesuai dengan status di dunia, namun muaranya adalah sama yakni melaksanakan seluruh hukum-hukum Allah dan menjauhi seluruh larangan Allah.
Ketakwaan seorang individu adalah ketika mampu menjadikan hukum-hukum Allah sebagai timbangan sikap dan perilakunya. Timbangan hukum dalam Islam ada lima yakni wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Kehati-hatian dalam berperilaku agar selalu dalam ketundukan kepada hukum Allah dan terhindar dari jerat kemaksiatan dan pelanggaran hukum syariah dalam itulah yang disebut sebagai takwa.
Hal ini sejalan dengan pengertian takwa menurut Abu Hurairah yang dijelaskan oleh Ibn Abi Dunya dalam kitab at takwa dengan memberikan ilustrasi seseorang yang berhati-hati saat mendapati jalan yang dilewatinya banyak duri agar terhindar dari tajamnya tusukan duri di kaki. Kehati-hatian dalam menjalani kehidupan agar tetap dalam koridor hukum Allah dan tidak terjerembab dalam kubangan dosa inilah yang dimaksud takwa menurut Abu Hurairah.
Perkataan Abu Hurairah sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Al Bukhari, at Tirmidzi, Ibn Majah, al Hakim dan al Baihaqi, bahwa tidaklah dikatakan sebagai orang mukmin yang mencapai derajat takwa hingga ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna karena khawatir terjerumus kepada hal-hal yang haram.
Dalam al Qur’an istilah takwa juga terdapat pada QS Al Baqarah ayat 2, “Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. Imam as Syuyuti dalam kitab tafsirnya, Ad Duur al Mantsur fi at Tafsir bi al Ma’tsur, mengumpulkan pendapat salafush shalih diantaranya adalah Ibn Mas’ud yang mengartikan muttaqien sebagai orang-orang mukmin.
Ibn Abbas mendefinisikan muttaqien sebagai orang-orang yang khawatir terhadap hukuman Allah karena meninggalkan petunjuk (al Qur’an) yang diketahuinya seraya berharap rahmatNya dengan membenarkan apa saja yang datang dari Allah. Mu’adz bin Jabal mengatakan bahwa muttaqien adalah orang-orang yang takut akan syirik dan penyembahan kepada berhala serta mengikhlaskan diri beribadah hanya kepada Allah.
Ibn Mubarak, sebagaimana dinukil oleh Ibn bin Abi Dunya, menyatakan bahwa Nabi Dawud as pernah mengatakan kepada Nabi Sulaiman as, putranya, “ Anakku, engkau akan menemukan ketakwaan pada seseorang dengan tiga hal : baiknya ketawakalannya kepada Allah atas apa saja yang menimpa dirinya, bagusnya keridhoannya atas apa saja yang Allah berikan kepadanya dan indahnya kezuhudan atas apa saja yang hilang dari dirinya.
Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan bahwa taqwa kepada Allah bukanlah ditandai oleh seringnya puasa di siang hari dan seringnya melakukan shalat malam atau kedua-duanya. Akan tetapi, takwa kepada Allah itu adalah meninggalkan apa saja yang Allah haramkan dan melaksanakan apa saja yang Allah wajibkan.
Wajar jika Rasulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Ahmad dan ad Darimi bahwa banyak orang berpuasa hanya mendapatkan rasa haus dan lapar dikarenakan perbuatannya saat puasa justru banyak yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah.
Maka hakikat takwa adalah ketundukan kepada Allah secara totalitas. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS Al baqarah: 208)
Karena itu menjadikan al Qur’an sebagai petunjuk atas seluruh perilaku dalam kehidupan di dunia adalah refleksi ketakwaan hakiki bagi seorang muslim. Banyak aspek perilaku dalam kehidupan di dunia, misalnya perilaku ekonomi, politik, budaya, pendidikan, keluarga, kepemimpinan, baik individu maupun dalam konteks politik dan ketatanegaraan.
Ramadhan disebut juga sebagai syahrul Qur’an yang artinya adalah bulan dimana Al Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia yang ingin selamat dunia akherat. Maka, Ramadhan mesti diisi dengan memperbanyak membaca, memahami, mengajarkan dan mendakwahkan Al Qur’an.
Al Qur’an adalah kitab suci yang berisi hukum-hukum kehidupan yang jika dijalankan akan mampu mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di dunia dan akherat. Hukum-hukum muamalah seperti ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya tercantum dengan jelas dan sempurna, sebab Al Qur’an adalah penyempurna bagi kitab-kitab sebelumnya.
Karena itu bulan suci Ramadhan ini hendaknya menjadikan ketakwaan bukan hanya melekat kepada ketakwaan individu, melainkan juga ketakwaan sosial. Artinya Ramadhan idealnya mampu mengantarkan setiap individu rakyat menjadi orang-orang yang tunduk patuh kepada syariah Allah. Namun tidak hanya sampai disitu, Ramdhan ini idealnya juga bisa mengantarkan kepada ketakwaan soaial, dimana negeri ini tunduk dan patuh kepada syariah Allah dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ramadhan hendaknya dijadikan sebagai muhasabah bangsa sudah sejauh mana negara ini tunduk terhadap hukum dan aturan Allah, atau justru malah semakin jauh dari syariat Allah dalam menata sistem ekonomi, politik, budaya, pendidikan, sosial, serta hubungan luar negeri. Sebab totalitas (kaffah) ketundukan adalah tanda ketaqwaan, sementara keimanan dan ketakwaan akan mendatangkan keberkahan dari Allah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Puncak ketaatan seorang yang berpuasa juga ditandai oleh bagaimana mereka mengisi waktu sepanjang Ramadhan untuk melakukan berbagai aktivitas ibadah individual maupun sosial. Banyak bentuk ibadah yang bisa dilakukan selama Ramadhan, misalnya tilawatul qur’an, qiyamul lail, berzikir, mencari ilmu, membaca buku, bersedekah, membayar zakat, berdakwah, dan membantu sesama muslim yang membutuhkan.
Dalam zaman Rasulullah, Ramadhan bukan hanya bulan untuk melakukan ibadah individual, melainkan justru banyak peristiwa-peristiwa jihad dan perjuangan terjadi di bulan suci ini. Pada bulan Ramadhan tahun ke 2 Hijriyah, Rasulullah memimpin perang Badar al Kubro antara pasukan Islam yang berjumlah 313 prajurit melawan kafir Quraisy yang berjumlah 1000 prajurit.
Pada bulan Ramadhan juga terjadi peristiwa besar berupa penaklukan kota Mekkah atau futhu Mekkah, tepatnya terjadi pada tanggal 10 Ramadhan tahun 8 H yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. Penaklukan kota Thoif juga terjadi di bulan suci Ramadhan dibawah panji Islam yang dibawa oleh Rasulullah.
Bahkan di bulan suci Ramadhan tanggal 15 1294 H juga terjadi perang Yalhiz, antara pasukan Khalifah Utsmani yang berjumlah 34.000 pasukan kaum muslimin melawan tentara kaisar Rusia berjumlah 740.000 dengan kemanangan di tangan kaum Muslimin.
Penting juga menjadikan Ramadhan sebagai kesempatan emas untuk kaum Muslimin bermuhasabah memikirkan kondisi kaum Muslimin di negeri ini dan di belahan penjuru dunia. Mengapa kaum Muslimin di seluruh dunia masih dalam kondisi terpinggirkan, terzolimi dan terjerat kemiskinan. Ramadhan dalah moment yang tepat untuk mencari akar masalah dan mencari solusi fundamental oleh seluruh kaum Muslimin di dunia.
Di Indonesia sendiri, kaum muslimin semakin tersandera sistem demokrasi sekular yang selalu menghalangi penerapan Islam secara kaffah sebagai bentuk ketakwaan sosial kepada Allah. Sebab demokrasi adalah sistem kufur yang datang dari Barat, maka dia tidak akan pernah rela jika negeri ini menerapakan Islam kaffah dalam sistem negara dan perundang-undangan. Hasilnya negeri ini semakin jauh dari keberkahan Allah. Berbagai bencana alam dan sosial belum juga usai menyapa negeri ini.
Saatnya menjadikan Ramadhan sebagai momentum muhasabah keumatan untuk kembali menjadikan kaum muslimin sebagai umat terbaik dengan kemuliaan Islam yang memberikan rahmat bagi alam semesta. Jadikan Ramadhan sebagai bulan perjuangan menegakkan Islam kaffah di negeri ini, sebagaimana Rasulullah melakukan jihad dan perjuangan melawan kaum kafir pada bulan Ramadhan. Bahkan jihad melawan penjajah yang kemudian mengantarkan kemerdekaan negeri ini terjadi di bulan Ramadhan. Indonesia merdeka pada tanggal 9 Ramadhan 1334 H.
Mari tingkatkan persatuan umat, hindari perpecahan karena duniawi, umat Islam jangan pernah mau dipecah-belah oleh demokrasi, umat Islam harus menolak berbagai bentuk neokolonialisme asing dan aseng. Saatnya umat Islam sadar akan pentingnya penerapan Islam kaffah agar negeri ini mendapatkan keberkahan dari Allah. Inilah momentum terbaik bagi umat untuk berjihad dan berjuang, mumpung kita masih diberikan kesempatan hidup di Bulan Ramadhan tahun ini.
*[AhmadSastra,KotaHujan,01 Ramadhan 1440 H: 06.30 WIB]*