Astana, Gontornews — Keputusan parlemen Kazakhstan untuk mengabadikan nama Presiden Nursultan Nazarbayev sebagai nama ibukota Kazakhstan menuai protes dari masyarakat Kazakhstan, Kamis (21/3). Hal ini mengejutkan karena Kazakhstan dikenal sebagai negara dengan tingkat demonstrasi minimal sejak merdeka dari Uni Soviet pada 1991 silam.
Sebelumnya, parlemen Kazakhstan memberikan apresiasi atas kepemimpinan Nursultan Nazarbayev yang berlangsung hampir 30 tahun. Nursultan Nazarbayev memutuskan untuk mundur dari kursi Presiden Kazakhstan, Selasa (19/3). Sebagai pengganti, Ketua Majelis Parlemen Kazakhstan, Kassym-Jomart Tokayev, didapuk menjadi Presiden Kazakhstan hingga April 2020 mendatang.
Di saat Tokayev mengajukan penggunaan nama Nur Sultan sebagai ibukota Kazakhstan yang baru, parlemen segera memberikan suara untuk mendukung kebijakan pertama Tokayev sebagai Presiden Kazakhstan.
Akibat protes tersebut, pihak kepolisian Kazakhstan menangkap 20 orang warga sebagai bentuk ekspresi menolak kebijakan tersebut. Di dunia maya, mereka meraih lebih dari sekitar 30.000 tanda tangan yang mendukung penolakan pergantian nama ibukota yang baru.
Sebagaimana dilansir Reuters, nama ibukota Kazakhstan kerap berganti-ganti. Nama ibukota βAstanaβ misalnya, dikenal dengan nama Akmolinsk pada tahun 1961 sebelum berubah menjadi Tselinograd. Setelah itu, nama itu berganti menjadi Akmola sesaat setelah Kazakhstan memperoleh kemerdekaan dari Uni Soviet pada tahun 1991.
Setelah memindahkan ibukota Kazakhstan dari Almaty ke Akmola, Nazarbayev lantas kembali mengubah nama Akmola menjadi Astana hingga saat ini dan berpotensi berubah menjadi Nur Sultan andai disetujui oleh mayoritas suara parlemen. [Mohamad Deny Irawan]