Queensland, Gontornews — Satgas Terumbu Karang Nasional Australia (ANCBT) merilis peta komprehensif terumbu karang terbesar di dunia yang kini 93 persen dalam kondisi memprihatinkan. Sebagian besar karang dalam kategori rusak parah.
Terumbu karang terbesar di dunia atau yang lebih dikenal dengan The Great Barrier Reef (TGBR) merupakan sistem terumbu karang terbesar di dunia. TGBR terdiri dari 2.900 terumbu individual yang diikuti dengan 900 pulau terhampar seluas lebih 2.600 km2 yang terletak di Laut Coral, Queensland Australia.
Bentangan karang tersebut bisa dinikmati dari atas bumi selayaknya struktur tunggal terbesar di bumi yang terbuat dari organisme hidup. Struktur koral di TGBR terbuat dari miliaran organisme kecil yang dikenal dengan polyps karang.
Karena keunikan ini, TGBR dinobatkan sebagai salah satu warisan dunia dan oleh pemerintah setempat dijadikan sebagai ikon kota Queensland.
Lebih dari 400 jenis karang, 1.500 jenis ikan serta 400 jenis moluska ada di sana. Bahkan ada sebuah penelitian yang mengatakan bahwa dugong (sapi laut) serta penyu hijau besar hidup di TGBR itu.
Sebagaimana dilansir national geographic, dua alasan yang mengakibatkan kondisi abnormal di TGRB adalah menghangatnya suhu air laut akibat El-Nino dan perubahan iklim.
Meningkatnya suhu air laut mengakibatkan alga yang tumbuh di karang dan menjadi rantai makanan penting, menjadi beracun. Oleh karenanya, karang membuang alga tesebut. Akibatnya, karang menjadi berwarna putih dan membuat ikan-ikan dan organisme di sekelilingnya berpotensi kelaparan.
“Hal ini sangat menyedihkan,†ungkap Mark Eakin dari National Oceanic and Atmospheric Administration’s Coral Reef Watch Program
Eakin mengatakan, wilayah utara Australia, yang cenderung bebas dari eksploitasi manusia, sangat merasakan dampak dari memutihnya karang di TGRB. Meski sejumlah peneliti belum memastikan kematian karang, tapi, menurut perkiraan awal, setengah dari jumlah karang yang ada dalam kondisi sekarat.
Dalam siaran persnya, Andrew Baird, dari Centre of Excellence for Coral Reef Studies, mengungkapkan di beberapa daerah potensi kerusakan karang bisa mencapai 90 persen.
“Ketika proses pemutihan berlangsung dan mempengaruhi hampir semua spesies karang, butuh puluhan tahun atau bahkan lebih lama untuk melihat karang kembali tumbuh,†kata Baird.
Sejak 2014, pemutihan karang terus melintasi Samudarea Pasifik dan menyerang sejumlah wilayah, mulai dari Samoa Amerika, Kiribati, sampai Polinesia Prancis.
Menurut Eakin, faktor perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan suhu dasar laut sebagai penyebab utama pemutihan karang. Bahkan, kenaikan suhu akibat El-Nino masuk kategori lebih berbahaya ketimbang sebelumnya.
Ia mengatakan, fenomena pemutihan karang sudah berlangsung sejak pertengahan abad ke-21.
“Jika pertumbuhan karang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk pulih atau setidaknya di bawah kondisi terbaik dan pemutihan terus berlangsung, maka hal itu tidak dapat memberikan waktu pada karang untuk pulih,†jelasnya.
Atas fenomena ini, ia mengajak semua pihak agar mempertimbangkan dampak dari penggunaan emisi karbon yang terus berlanjut. Emisi karbon, papar Eakin, akan mengakibatkan suhu terus meningkat.
Sesuai dengan kesepakatan yang dibuat di Paris, PBB mendorong kepada negara-negara untuk ikut serta mengurangi pemanasan global mejadi 1,5 derajat atau ambang batas suhu yang bisa menyelamatkan karang di dunia dan masa depan.
“Kami benar-benar perlu membatasi pemanasan 1,5 derajat atau kurang. Terumbu karang tidak berada pada lintasan yang kita lalui saat ini,†pungkas Eakin. [Mohamad Deny Irawan/Rusdiono Mukri]