Sayyidina Ali Zainal Abidin, memiliki kebiasaan ‘unik’. Yaitu sedekah di malam hari. Tak seorang pun mengetahui. Dikisahkan dari Muhammad bin Ishaq, bahwa dulu seluruh penduduk kota Madinah dari kalangan fakir miskin tiap hari tercukupi makannya karena tiap malam ada yang mengirim gandum.
Namun, mereka tidak mengetahui dari mana dan siapa yang mengirim gandum di depan rumah mereka masing-masing. Sudah beberapa waktu lamanya tetap tidak ada yang tahu. Penduduk Madinah pun juga akhirnya tidak mencari tahu asal-muasal gandum di rumah mereka, tapi yakin ada seseorang yang mengirimnya.
Akhirnya, suatu hari sayyid Ali Zainal Abidin meninggal dunia. Sejak itu, tidak ada lagi yang mengirim makanan pada malam hari. Pada saat jenazah Ali Zainal Abidin dimandikan, orang-orang bertanya mengenai luka memar di punggung beliau. Seorang budaknya membuka rahasia. “Dia tiap malam memikul gandum di punggungnya untuk dibagikan kepada penduduk Madinah”, kata budaknya. Sejak beliau wafat, tidak ada lagi yang menanggung makan penduduk Madinah (Zein bin Sumaith,al-Fawaid al-Mukhtarah, hal. 168).
Kisah di atas menunjukkan, cara bersedekah yang benar dan tepat. Yaitu, tidak dipamer-pamerkan, dan langsung dibagikan kepada fakir-miskin, bukan mengundangnya. Inilah sedekah yang berpahala besar.
Besar-kecilnya sedekah sebetulnya bukan diukur dari jumlah harta yang dikeluarkan. Akan tetapi diukur dari kualitas sedekah kita. Sebaliknya, jika sedekah itu tidak berkualitas atau bahkan rusak, maka tidak ada faidah sama sekali.
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 164).
Ayat di atas menjelaskan, pahala puasa itu dikarenakan dua hal; Pertama, menyebut-nyebut sedekah (al-mann). Kedua, menyakiti perasaan penerima sedekah. Al-Mann adalah seseorang mengungkit-ungkit jasanya dalam bersedekah yang telah dilakukan kepada orang lain atau kepada penerima sedekah. Sedangkan menyakiti dalam sedekah adalah memberi sedekah sampil mengumpat, menghina atau berkata buruk lainnya kepada penerima sedekah.
Selain itu jangan mengharap-harap besar pada doa orang yang kita beri sedekah. Para ulama-ulama terdahulu memberi teladan, bahwa jika si faqir mendoakan sesuatu setelah diberi sedekah, maka sang pemberi membalas doa yang sama dengan doa si faqir. Hal ini supaya pahala sedekah tidak berkurang.
Diriwayatkan, sayyidah Aisyah ra punya kebiasaan setelah memberi sedekah, ia menyuruh budaknya untuk menguntit orang yang diberi sedekah sampai di rumah. Jika di rumah si faqir kemudian membacakan doa untuk sayyidah Aisyah, maka beliau membalas doa untuk si faqir. Jika si faqir tidak mendoakan apapun, maka sayyidah Aisyah diam. Sayyidah Aisyah khawatir apabila si faqir mendoakan sesuatu yang berlebihan sehingga pahala sedekahnya terbayar dengan doa itu. padahal yang diharapkan adalah pahala di akhirat. Bukan mengharap-harap doa (Fathul Allam 3, hal. 362).
Inilah akhlak orang-orang terdahulu, sedekahnya tidak diniatkan apapun, serta tidak mengharap sesuatu di dunia. Niatnya hanya satu, ingin ridha dan pahala Allah Swt.
Dalam membayarkan sedekah dan zakat, diutamakan kepada saudara atau kerabat yang tidak mampu. Nabi Saw bersabda: “Bersedakah kepada orang miskin adalah sedekah (saja), sedangkan jika kepada kerabat maka ada dua (kebaikan), sedekah dan silaturrahim.” (HR. Ahmad).
Setelah kepada kerabat, yang bagus juga kepada tetangga. Nabi telah bersabda memberikan wasiat kepada Abu Dzar ra, “Jika engkau memasak sop maka perbanyaklah kuahnya, lalu bagilah sebagiannya kepada tetanggamu.” (HR. Muslim)
Sedekah yang afdhol juga adalah sedekah yang di antarkan sendiri. Seperti yang dicontohkan dalam kisah sayyid Ali bin Zainal Abidin di atas. Karena, sedekah dan zakat itu merupakan hak fakir miskin bukan hak kita. Mengundang fakir miskin dalam sedekah boleh, akan tetapi yang afdhol menghantarkan hak mereka ke tangan-tangan mereka.
Bersedekah dalam kondisi sehat dan kuat lebih utama daripada berwasiat ketika sudah menjelang ajal, atau ketika sudah sakit parah dan tipis harapan kesembuhannya. Rasulullah Saw: “Sedekah yang paling utama adalah engkau bershadaqah ketika dalam keadaan sehat dan bugar, ketika engkau menginginkan kekayaan melimpah dan takut fakir. Maka jangan kau tunda sehingga ketika ruh sampai tenggorokan baru kau katakan, “Untuk fulan sekian, untuk fulan sekian.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jadi, sedekah itu ada adab dan aturannya. Banyak pahala yang gugur disebabkan tidak memperhatikan adab dan aturan bersedekah.