Banyak orang berpikir bahwa literasi itu cuma soal baca-tulis. Padahal, literasi sebenarnya lebih luas dari itu. Literasi juga bicara tentang kualitas pendidikan yang tersedia, kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan budaya yang mengedepankan pendidikan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), literasi itu mencakup beberapa hal: kemampuan baca-tulis, keterampilan di bidang tertentu, kemampuan mengolah informasi dan pengetahuan untuk kebutuhan sehari-hari, serta penggunaan huruf untuk menggambarkan suara atau kata.
Kalau dilihat dari sudut pandang UNESCO, literasi itu jauh lebih penting. Mereka bilang bahwa literasi adalah keterampilan dasar yang bisa memberdayakan individu dan masyarakat. Dengan memiliki literasi yang baik, kita bisa lebih mudah mengakses informasi, dapat peluang kerja yang lebih banyak, dan mendukung keberagaman sosial.
Berdasarkan data Institut Statistik UNESCO (UIS) tahun 2021, tingkat literasi global di kalangan orang dewasa berusia 15 tahun ke atas mencapai 86,3 persen. Namun, terdapat disparitas yang mencolok antara negara-negara di seluruh dunia. Ada negara yang berhasil mencapai tingkat 100 persen, tapi ada pula yang jauh lebih rendah turun hingga 30 persen.
Menurut data UIS tahun 2021, Afrika Sub-Sahara tercatat sebagai wilayah dengan tingkat literasi terendah secara global, dengan angka literasi di bawah 50 persen. Di sisi lain, negara-negara di Asia Timur dan Amerika Latin menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam upaya meningkatkan tingkat literasi masyarakat mereka.
Berdasarkan data UIS tahun 2021, negara-negara di Eropa Utara, seperti Finlandia dan Norwegia, muncul sebagai pemimpin dalam hal tingkat literasi dengan angka sempurna mencapai 100 persen. Sedangkan Indonesia menempati urutan ke 100 dari 208 negara, dengan tingkat literasi mencapai 95,44 persen. Meski angka ini tergolong baik, tapi Indonesia masih berada di belakang beberapa negara Asia Tenggara, seperti Filipina yang berada di urutan ke-88 dengan 96,62 persen, Brunei Darussalam yang berada di posisi ke-86 dengan 96,66 persen, serta Singapura di posisi ke-84 dengan 96,77 persen.
Berdasarkan laporan dari UIS tahun 2021, sejumlah faktor berperan dalam menentukan tingkat literasi suatu negara, di antaranya akses terhadap pendidikan, kualitas pendidikan yang tersedia, kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan budaya yang mengedepankan pendidikan. Secara umum, negara dengan angka literasi tinggi memiliki infrastruktur pendidikan yang baik dan kebijakan peningkatan literasi di kalangan masyarakat.
Sebaliknya, negara-negara dengan tingkat melek huruf rendah seringkali menghadapi berbagai tantangan, seperti kemiskinan, keterbatasan akses pendidikan berkualitas, dan ketimpangan gender.
Isu mengenai minat baca dan kebiasaan menulis di Indonesia masih tergolong rendah. Berdasarkan data dari UNESCO, indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya mencapai 0,001 persen. Ini berarti dari seribu orang, hanya satu yang memiliki kebiasaan membaca yang tinggi. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo RI) pernah membagikan hasil riset yang berjudul World’s Most Literate Nations Ranked yang diadakan oleh Central Connecticut State University (Maret 2016).
Riset tersebut menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat baca. Ini tepat di bawah Thailand yang berada di peringkat 59 dan di atas Botswana di peringkat 61. Meski demikian, jika dilihat dari aspek infrastruktur yang mendukung aktivitas membaca, Indonesia justru menempati peringkat yang lebih baik dibandingkan sejumlah negara di Eropa.
Selain itu, berdasarkan laporan Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 bahwa Indonesia berhasil meningkat lima posisi dibandingkan tahun 2018 dalam hal literasi membaca. Namun, skor yang diperoleh tetap menunjukkan penurunan, dan Indonesia tetap berada di jajaran 11 negara terendah dari 81 negara yang diteliti.
Menurut Prof Mochamad Nursalim, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya (UNESA), rendahnya minat baca masyarakat Indonesia adalah fenomena umum, termasuk di kalangan mahasiswa. Ada anggapan bahwa membaca identik dengan buku fisik, padahal kini dapat dilakukan melalui buku elektronik atau digital. “Buku masih sangat relevan dan menjadi sumber belajar yang utama. Isi muatannya lebih tepercaya dibanding beberapa sumber lain karena melewati beberapa tahap seleksi, validasi, editing, serta menyajikan data dan informasi secara mendalam dan komprehensif,” ujarnya.
Dalam upaya meningkatkan minat baca, Nursalim menekankan pentingnya kesadaran akan keberagaman sumber bacaan dan pengetahuan yang tersedia saat ini. Buku tidak lagi terbatas pada format cetak, melainkan juga hadir dalam bentuk elektronik (e-book) serta berbagai jurnal penelitian yang dapat diakses melalui platform-platform tepercaya.
Menurut data UIS tahun 2021, ada sepuluh negara dengan tingkat literasi terendah di dunia: Nigeria 30 persen, Guinea 30,47 persen, Sudan Selatan 31,98 persen, Mali 33,07 persen, Republik Afrika Tengah 36,75 persen, Burkina Faso 37,75 persen, Somalia 37,8 persen, Afghanistan 38,17 persen, Benin 38,45 persen, dan Chad 40,02 persen.
Bagaimana menghadapi tantangan literasi yang rendah? Analisis menunjukkan bahwa sepuluh negara dengan tingkat literasi terendah secara signifikan berada di Benua Afrika. Ini menggarisbawahi bahwa aspek ekonomi dan akses pendidikan memainkan peranan penting dalam menentukan tingkat literasi suatu negara.
Berdasarkan informasi UNESCO, ada 30 negara yang berkomitmen meningkatkan literasi di kalangan masyarakat muda dan dewasa, tergabung dalam Global Alliance for Literacy atau GAL. GAL bertujuan untuk membangun gerakan kolektif guna merumuskan kebijakan dan meningkatkan investasi keuangan agar literasi dapat diakses semua orang. Sejak peluncuran pada tahun 2016, GAL beroperasi dalam kerangka pembelajaran seumur hidup, berupaya memperkuat inisiatif literasi di seluruh dunia, dan menghadapi beragam tantangan dalam promosi literasi secara global, terutama bagi mereka yang berada dalam situasi yang kurang menguntungkan.
Inisiatif ini juga memiliki kerangka strategis yang selaras dengan rencana UNESCO untuk Literasi Remaja dan Dewasa (2020-2025) yang mencakup lima fokus utama untuk meningkatkan literasi dan numerasi negara anggotanya, yaitu Kebijakan dan Perencanaan, Kesetaraan dan Inklusi, Inovasi, Data dan Pemantauan, serta Kemitraan dan Kerjasama.
Area fokus ini menyasar kaum muda dan orang dewasa dari latar belakang yang paling kurang beruntung untuk mendukung pengembangan keterampilan membaca dan berhitung mereka. Dengan program ini diharapkan mampu meningkatkan potensi kemajuan dalam kehidupan pribadi, komunitas, dan pekerjaan mereka. []