Tak sekadar demam, batuk pilek, dan gangguan pernafasan, situasi COVID-19 yang menakutkan jutaan orang di dunia ternyata berdampak pada kesehatan mental. Mereka yang ‘jenuh’ menghadapi situasi ini merasakan kecemasan berlebihan, bahkan sampai berhalusinasi. Kok bisa?
Pandemi COVID-19 menjadi ujian banyak orang. Mereka yang biasanya mendapatkan omzet besar, kini pendapatannya berkurang, bahkan habis. Pengusaha sarang burung walet bernama Sulton (bukan nama asli) misalkan. Biasanya dia mendapatkan Rp 9 miliar setiap tiga bulan, atau Rp 3 miliar setiap bulan dari hasil panen sarang walet. Kini pendapatan itu sirna akibat pandemi global.
“Kondisi ini membuatnya gila. Teman saya itu sampai berbicara dengan tembok,” kata teman Sulton bernama Ahmad.
Tekanan psikis juga dialami ibu rumah tangga seperti Anna. Sejak pandemi, wanita ini mendadak menjadi guru anak-anaknya di rumah. Dia menemani mereka mengerjakan pekerjaan rumah yang ditugaskan guru sekolah.
Ibu rumah tangga yang tidak punya latar belakang profesi guru plus gagap teknologi itu, mendadak menjadi pemarah. Dia berkali-kali menjelaskan pelajaran kepada sang anak, tapi tak juga dimengerti. Tak hanya itu, dia juga dibebani kuota internet dan pulsa telepon yang membengkak untuk memfasilitasi anak belajar daring setiap hari. “Situasi ini benar-benar membuat saya stres,” katanya.
Puncak kegelisahan orangtua tentu saja saat melihat sang anak semakin ‘rajin’ menggunakan gadget. Alih-alih menggunakan gadget untuk keperluan belajar, si anak justru mengakses permainan tanpa henti, hingga daya baterai gadget habis.
Berbeda lagi kisah Ahmad, teman Sulton. Dia menjalani saja takdir Allah berupa kedatangan pandemi COVID-19 yang merusak ekonominya. Pendapatannya menurun tajam, tapi dia tetap bersyukur, dan menjalaninya.
Ia dan keluarganya termasuk golongan yang taat beragama. “Saya pasrahkan saja semuanya kepada Allah. Insya Allah ada jalan,” kata Ahmad kepada Majalah Gontor.
Pada Agustus 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan laporan yang menyebut angka pengangguran meningkat drastis saat pandemi. Mayoritas yang berstatus pengangguran yaitu kelompok anak muda berusia antara 20 hingga 29 tahun (milenial).
“Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Agustus 2021 sebesar 6,49 persen, turun 0,58 persen poin dibandingkan dengan Agustus 2020,” ungkap laporan BPS bertajuk Berita Resmi Statistik No.84/11/Th.XXIV, 05 November 2021.
BPS menjelaskan, bahwa pandemi COVID-19 mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Lembaga statistik nasional tersebut menjelaskan bahwa COVID-19 membuat sebagian penduduk kehilangan atau berhenti bekerja dan menjadi pengangguran atau Bukan Angkatan Kerja (BAK).
Laporan itu juga menjelaskan, situasi tersebut membuat sebagian penduduk menjadi tidak bekerja sementara atau mengalami pengurangan jam kerja.
Kepala BPS, Margo Yuwono, sebagaimana dilansir Kata Data, berujar setidaknya ada dua tantangan utama dalam ketenagakerjaan akibat hantaman pandemi. Pertama, banyak tenaga kerja yang beralih ke sektor usaha yang memiliki produktivitas rendah, seperti pertanian. Kedua, banyak tenaga kerja yang beralih ke sektor informal selama pandemi.
Gangguan mental
Situasi tidak menentu di atas meniscayakan banyak orang mengalami disrupsi. Mereka yang menyesuaikan diri dengan situasi itu akan terus bertahan. Sedangkan mereka yang tidak kuat mengalami gangguan mental.
Sebuah kajian Universitas Gadjah Mada (UGM) tentang kesehatan mental membuktikan hal tersebut. Gangguan kesehatan mental yang kerap terjadi di masa pandemi COVID-19 meliputi cemas berlebihan (anxiety), stres, gangguan stres pascatrauma, depresi hingga xenophobia (ketakutan terhadap orang dari negara lain yang mereka nilai dapat membahayakan keselamatan).
Secara spesifik, UGM menyoroti dampak psikologis pascapandemi pada komunitas perempuan, anak, remaja, dan lanjut usia. Kelompok-kelompok tersebut merespons pandemi dengan rasa cemas berlebihan dan menganggap pandemi mengancam mereka.
“Rasa cemas ini seperti cemas tertular SARS-CoV-2, cemas akan pekerjaan yang terbengkalai di kantor atau cemas akan keselamatan keluarga,” tulis Kajian Departemen Advokasi dan Kajian Strategis BEM KK FKG UGM 2020 berjudul ‘Pandemi dan Mental Health: Meringkas Isu Kesehatan Mental selama Satu Tahun di Era Pandemi’.
“Setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam menunjukkan gejala reaksi cemasnya. (Terkadang) gangguan itu menimbulkan gejala psikis seperti demam, sakit tenggorokan, pusing, meski orang tersebut sebetulnya tidak terinfeksi COVID-19. Gejala ini disebut dengan psikosomatik,” ungkap kajian tersebut.
Masa pandemi COVID-19 juga menyebabkan begitu banyak stressor atau stimulus yang menyebabkan stres muncul. Stressor menyebabkan seseorang menjadi waspada berlebihan. Jika stressor dinilai membahayakan, akan muncul mekanisme pertahanan.
Secara global, badan kesehatan dunia, World Health Organization (WHO), telah mengingatkan banyak negara akan dampak buruk COVID-19 bagi kesehatan mental. “Semua orang dapat terpengaruh dengan satu atau lain cara,” ungkap WHO saat mengawali pertemuan menteri kesehatan dari puluhan negara dunia di Athena, Yunani, 22 Juli 2021 lalu.
WHO menjelaskan bahwa kecemasan seputar penularan virus dan dampak psikologis isolasi [mencegah penyebaran kontaminasi virus] telah berkontribusi pada krisis kesehatan mental. Efek tersebut belum termasuk tekanan mental yang disebabkan oleh pengangguran, kekhawatiran soal keuangan serta rasa keterasingan sosial.
“Dampak kesehatan mental dari pandemi berjangka panjang dan memiliki jangkauan luas,” tambah pernyataan WHO yang dilansir Reuters.
Direktur WHO untuk Eropa, Hans Kluge, mengatakan kesehatan mental harus dipahami sebagai bagian dari hak asasi manusia yang mendasar. Dia menjelaskan, pandemi telah mengguncang dunia. Jutaan nyawa hilang secara global, mata pencaharian hancur, keluarga dan komunitas terpisah, bisnis bangkrut dan orang kehilangan peluang.
Karenanya, WHO menyerukan penguatan layanan kesehatan mental secara umum dan peningkatan akses perawatan melalui teknologi. Tidak hanya itu, WHO juga mendesak layanan dukungan psikologis yang lebih baik di sekolah, universitas, tempat kerja dan orang-orang yang berada di garis depan dalam peperangan melawan COVID-19.
Dalam pertemuan tersebut, para menteri juga berkesempatan mendengar pernyataan seorang wanita Yunani berusia 36 tahun yang menerima perawatan akibat gangguan kejiwaan sejak 2022. Wanita bernama Katerina itu mengaku mampu mengatasi permasalahan kesehatan mental sejak pandemi melanda.
“Tapi, tekanan isolasi sosial menyebabkan meningkatnya rasa cemas,” tutup Katerina.
Kasus Sulton, Anna, dan Ahmad, memiliki kesamaan dengan Katerina. Mereka semua merasa bahwa pandemi COVID-19 telah menciptakan ‘iklim buruk’ bagi kehidupan normal masyarakat dunia. Meski demikian, Ahmad menyikapi hal tersebut dengan tepat karena meski pandemi merebak di seluruh dunia, masih ada tempat bersujud kepada Allah SWT seraya mengadu seluruh keluhan dan permasalahan di dunia termasuk situasi pandemi.[]