Sejarah mencatat, salah satu sistem pendidikan khas yang dimiliki masyarakat Indonesia adalah pesantren. Sejauh ini, sekitar 27 ribu pesantren terdaftar di Kementerian Agama. Di luar itu, masih banyak lagi pesantren yang belum tercatat.
Hanya sebagian kecil pesantren tumbuh baik dan mandiri. Sebagian besar kondisinya masih memprihatinkan.
Tanpa dukungan payung regulasi yang kokoh, setingkat Undang- undang, kondisi pesantren akan semakin terpinggirkan. Pasalnya, sampai saat ini regulasi tentang pesantren hanya setingkat PMA.
Jika aturan tentang pesantren dan pengakuan terhadap pesantren tidak diatur dalam regulasi setingkat UU, perwujudan kesetaraan pendidikan terhadap pesantren tidak dapat dilaksanakan secara maksimal baik aspek regulasi, program kegiatan maupun anggaran.
Dalam konteks ini, Forum Komunikasi Pesantren Muadalah dan perwakilan pemerintah, dalam hal ini jajaran Direktorat Pendidikan dan Pondok Pesantren, sangat mengapresiasi semua pihak yang telah menginisiasi serta mengusahakan lahirnya Rancangan Undang-Undang Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren (RUU LPKP).
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Ahmad Zayadi menjelaskan, pesantren selain sebagai lembaga pendidikan juga merupakan lembaga keagamaan dan sosial kemasyarakatan.
Meski begitu, masih ada pemahaman jika pesantren hanya pendidikan murni dan disetarakan dengan sekolah formal lainnya dan tidak dipahami sebagai lembaga keagamaan bahkan sosial kemasyarakatan.
Dengan adanya regulasi selevel Undang-Undang keberlangsungan pendidikan keagamaan dan pesantren bisa terjamin. Dengan regulasi setingkat undang-undang mengenai pesantren ini, program dan anggaran juga akan memiliki keperpihakan secara nyata kepada lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren, semisal Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Program Indonesia Pintar (PIP) untuk pesantren.
“Kepentingan kita adalah jaminan pelaksanaan pendidikan, agar tidak ada diskriminasi terhadap pesantren,” ujarnya saat ditemui Majalah Gontor.
Bertempat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (18/4) Forum Komunikasi Pesantren Muadalah (FKPM) menyampaikan aspirasi tentang Rancangan Undang Undang (RUU) Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren (LPKP) kepada DPR.
Berdasarkan pantauan Majalah Gontor, dalam rapat antara pimpinan pesantren dan DPR tersebut, Forum Komunikasi Pesantren Muadalah yang diketuai oleh Prof Amal Fathullah Zarkasyi juga memberikan aspirasi dan membacakan draft usulan perbaikan sekaligus menyerahkan draf usulan perbaikan RUU LPKP itu kepada DPR.
Para pimpinan dan utusan pesantren yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pesantren Muadalah (FKPM) ini pada intinya menginginkan agar pesantren memiliki regulasi setingkat undang-undang.
Ketua Forum Komunikasi Pesantren Muadalah Prof KH Amal Fathullah Zarkasyi menjelaskan pesantren berhak atas regulasi setingkat Undang-undang, karena dalam faktanya pesantren- pesantren telah mendapatkan pengakuan dari perguruan tinggi luar negeri seperti Mesir, Sudan, Yaman, Maroko dan perguruan tinggi lain luar negeri sebelum mendapatkan pengakuan dari pemerintah Indonesia.
Dari sisi kurikulum pendidikan di pesantren berlaku 24 jam. Lain halnya dengan kurikulum di satuan pendidikan formal lainnya yang tidak berlaku 24 jam dan atau lebih singkat.
“UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 secara tegas mengamanatkan kesetaraan pendidikan atau melarang adanya diskriminasi dalam pendidikan. Namun hingga saat ini masih terjadi diskriminasi atau ketidaksetaraan regulasi dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 terkait Pesantren,” jelasnya.
Dalam undang-undang tersebut satuan pendidikan formal seperti madrasah diatur secara detail. Sedangkan menyangkut pesantren hanya disebutkan sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam dan tidak diatur secara detail. Kemudian baru pada tahun 2007 muncul penjelasan tentang regulasi pesantren melalui PP No.55 dan baru pada tahun 2014 lahir PMA tentang pendidikan Mu’adalah.
Di antara fakta ketidaksetaraan terkait anggaran yaitu dalam porsi anggaran. Secara nasional persentase jumlah lembaga pendidikan agama dan nonagama yang dikelola swasta 85%. Sedangkan pemerintah hanya mengelola 15% sisanya.
Namun anggaran untuk yang 15% tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan yang untuk 85%.
Sebelumnya memang sudah ada Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 13 dan nomor 18 tahun 2014 tentang penyelenggaraan satuan pendidikan mu’adalah yang di antaranya mengakui eksistensi pesantren.
“Alhamdulillah, dengan berbagai proses, semua anggota bersepakat agar pondok pesantren di-muadalah-kan oleh pemerintah,” jelasnya.
Namun dalam PMA ini pesantren hanya diakui sebagai sub pendidikan Indonesia.
Dia pun menghargai upaya PPP dan PKB yang mempelopori RUU Rancangan Undang Undang (RUU) Lembaga Pendidikan Keagamaan. “Tapi kita menginginkan kebijakan ini menjadi ketentuan hukum yang lebih kuat setingkat undang-undang,” jelasnya.
Menurutnya, jika RUU LPKP ini berhasil menjadi Undang-undang, maka pesantren akan masuk dalam sistem pendidikan nasional. Dengan adanya regulasi setingkat Undang-Undang pula dimungkinan pesantren akan terproteksi dari sistem pemerintahan yang selalu berubah.
Namun sebaliknya jika aspirasi dari kalangan pesantren salafiyah dan ‘ashriyah ini hanya terakomodir dalam PMA nomor 13 dan nomor 18 tahun 2014 tentang penyelenggaraan satuan pendidikan mu’adalah, ini belumlah cukup untuk menguatkan keberadaan pesantren, karena PMA ini sangat terikat dengan jabatan Menteri, yang dimungkinkan ada perubahan peraturan setelah pergantian menteri.
Meskipun ada hal-hal yang perlu diperbaiki, RUU LPKP ini secara umum telah mengakomodir aspirasi pesantren.
Putra salah satu pendiri Gontor itu juga bersyukur atas perjuangan kalangan pesantren yang berusaha menyampaikan aspirasi kepada DPR. “Kami memandang anggota-anggota fraksi inisiator RUU LPKP yaitu PPP dan PKB dapat memahami aspirasi yang dikehendaki oleh komunitas pesantren dalam drafting RUU LPKP,” jelasnya.
Namun saat drafting RUU LPKP masuk ke Baleg DPR terkesan perspektif yang muncul adalah pesantren diposisikan hanya sebagai satuan pendidikan murni. Padahal faktanya pesantren juga sebagai lembaga keagamaan, sosial kemasyarakatan. Karenanya tidak dapat dilaksanakan perlakuan umum terhadap pesantren.
“Sebaliknya dibutuhkan perlakuan khusus terhadap pesantren,”ungkapnya.
Di antara semangat dalam drafting RUU LPKP adalah memosisikan pesantren setara dengan berbagai entitas satuan pendidikan lainnya. Penyetaraan tersebut juga didasari oleh fakta bahwa para lulusan pesantren mampu bersaing dengan lulusan satuan pendidikan formal lainnya di berbagai perguruan tinggi. Bahkan banyak di antara lulusan pesantren lebih unggul.
Karena urgensi pesantren layak dipertimbangkan agar penamaan RUU ini bukan RUU LPKP melainkan RUU Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan (RUU PLPK) dan selanjutnya sangat perlu dilengkapi dengan PMA No 18 Tahun 2014 tentang Pesantren Muadalah.
Selain itu pihak DPR perlu mengetahui adanya fakta entitas pendidikan di beberapa pesantren yang khusus mengaji tanpa layanan pendidikan formal atau mengaji dan mengikuti pendidikan formal tetapi pesantrennya belum Mu’adalah. Sebagai upaya mewujudkan kesetaraan pendidikan sepenuhnya maka perlu dipikirkan agar dalam RUU LPKP ini atau dalam ketentuan lebih lanjut juga membahas regulasi bagi mereka selain mekanisme program paket A, B, C.
Terkait anggaran yang juga merupakan hak pesantren, Pimpinan Pondok Modern Tazakka KH Anang Rikza Masyhadi mengungkapkan, soal anggaran untuk pesantren hanyalah bagian kecil dari hak pesantren, sedangkan hal yang paling penting bagi pesantren adalah pesantren ada dalam regulasi.
Salah satu anggota FKPM ini juga mempertanyakan peran pemerintah terhadap pesantren.
Menurutnya, pesantren sudah selayaknya mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah dan pesantren sangat butuh payung perlindungan yang jelas dari pemerintah untuk memperkuat eksistensi dan kualitas pesantren.
“Pesantren sudah ada sejak sebelum republik ini ada, tapi kenapa pesantren tidak ada dalam regulasi setingkat Undang-Undang. Seharusnya negara malu dan sudah saatnya pesantren ada dalam Undang-Undang,” ungkapnya kepada Majalah Gontor.
Berkenaan dengan RUU LPKP, Wakil Ketua Fraksi PPP DPR Iskandar Saikhu menjelaskan, RUU tersebut merupakan usulan yang telah diusulkan pihaknya sejak 2009 silam. Adapun alasan mengusulkan hal ini, karena dana untuk pesantren jauh lebih kecil dibandingkan untuk pendidikan umum yang mencapai Rp 400 triliun lebih.
“Sementara anggaran untuk pesantren yang di bawah Kementerian Agama jauh lebih kecil,” katanya dalam audiensi antara F-PPP dengan Forum Komunikasi Pesantren Muadalah (FKPM) di ruang rapat fraksi PPP Gedung DPR/MPR RI Senayan, Jakarta, Rabu (18/4).
Dalam prosesnya, RUU LPKP ini merupakan gabungan dari usulan RUU tentang Pondok Pesantren, RUU Pendidikan madrasah diniyah dan RUU tentang perguruan tinggi pendidikan keagamaan.
“Kemudian dalam rapat panja disepakati bahwa ketiga RUU tersebut dilebur menjadi satu RUU berjudul RUU Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren,” jelasnya.
Lanjut Iskandar menjelaskan, saat ini Rancangan Undang-Undang Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren (RUU LPKP) telah menyelesaikan tahap pertama di Badan Legislasi DPR-RI.
UU ini diharapkan mampu memberikan payung hukum terhadap penyelenggaraan pesantren secara proporsional dan tanpa diskriminasi. []