Gerakan ekonomi Islam di Indonesia sejak tiga puluh tahun lalu, belum menemukan hasil yang signifikan, jika dilihat dari rasio jumlah Muslim Indonesia dengan lembaga keuangan syariah. Umat Islam masih belum memiliki pengetahuan dan kesadaran pentingnya ekonomi syariah, peran dan kontribusi umat Islam masih kecil dalam gerakan ekonomi Indonesia. Gerakan ekonomi Islam di Indonesia dimulai dengan pendirian lembaga keuangan syariah yang memiliki tujuan utama berdakwah. Dakwah yang dimaksud ini, menurut M. Dawam Raharjo, sebagai upaya alternatif penegakan syariah Islam di Indonesia. Setelah sebelumnya melalui pendekatan gerakan dakwah politik mengalami berbagai kegagalan. Dakwah menurut Masykuri Abdillah diorientasikan untuk mendorong umat memahami Islam secara kaffah. Sebab ajaran Islam itu sangat komprehensif menyangkut seluruh sendi kehidupan manusia; sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan lain-lain. Azyumardi Azra menyebut gerakan ekonomi Islam ini sebagai bagian dari dakwah kultural.
Gerakan ekonomi Islam ini menggerakkan dan memperkuat tiga sektor, yakni sektor riil (bisnis dan perdagangan), zakat, infak dan shadaqah (ZIS), dan sektor moneter (Lembaga Keuangan Syariah). Menurut Yusuf Qaradhawi, Islam ajaran yang kaffah karena berfungsi sebagai agama dan dunia, ibadah dan muamalah, aqidah dan syariah, kebudayaan dan peradaban, agama dan negara. Oleh sebab itu menurutnya Islam bukan hanya sekedar agama, terlebih lagi hanya sekedar identitas, akan tetapi Islam tampil dan berperan sebagai jalan hidup, way of life. Pilar atau subsistem yang pertama dari dakwah gerakan ekonomi Islam ini ialah sektor riil (usaha, perdagangan, atau bisnis), pilar pertama sangat penting, sebab sektor ini dapat menggerakkan sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat.
Dalam sejarah, Rasulullah merupakan pebisnis, sehingga Rasulullah sangat mendorong penganutnya untuk berbisnis. Banyak ayat dan hadis yang mendorong kaum Muslimin untuk melakukan kegiatan bisnis atau usaha dan sektor riil lainnya. Subsistem yang kedua dari pilar ekonomi syariah ialah sektor zakat dan sektor voluntary lainnya, seperti infaq atau shadaqah dan wakaf. Zakat merupakan ibadah maaliyyah ijtima’iyyah yang dapat meningkatkan kesejahteraan. Sehingga terbukti secara empirik dalam sejarah pada masa Nabi dan sahabat serta pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis zakat memberikan manfaat yang besar dalam membangun umat. Pada masa sekarang di beberapa negara zakat telah dijadikan sebagai salah satu instrumen keuangan negara untuk menyejahterakan rakyat. Gerakan dakwah melalui optimalisasi penghimpunan dan pendayagunaan zakat di Indonesia, sangat potensial. Sebab Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi zakat terbesar dibandingkan dengan negara-negara berpenduduk Muslim lainnya.
Berdasarkan laporan sebuah riset yang dilakukan oleh IRTI-IDB (Islamic Research and Training Institute Islamic Development Bank), Habib Ahmed menyimpulkan bahwa potensi zakat sama dengan 2 persen dari GDP (Gross Domestic Product). Kalau GDP Indonesia tahun 2018 diasumsikan sebesar Rp 5.000 triliun, maka potensi zakat di Indonesia sebesar Rp 100 triliun. Jumlah ini sangat besar, akan tetapi potensi tersebut belum digali dan belum dikelola secara baik oleh lembaga-lembaga zakat di Indonesia, sehingga manfaat zakat tersebut belum memberikan kontribusi berarti terhadap kesejahteraan masyarakat. Pada tahun 2015 menurut data Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dana zakat baru terkumpul 1,5 triliun dan target tahun 2015 sebesar Rp 5 triliun.
Data terbaru dari laporan riset BAZNAS dan IPB tahun 2016, potensi zakat tahun 2018 sebesar Rp 500 triliun. Angka tersebut dilihat berdasarkan produk domestik bruto (PDB), ketika PDB naik, maka potensi zakat ikut naik. Subsistem yang ketiga dari pilar ekonomi Islam atau ekonomi syariah ialah sektor moneter yaitu Lembaga Keuangan Syariah (LKS), baik perbankan syariah maupun nonperbankan. Perbankan syariah sendiri merupakan satu kelembagaan di dalam sistem ekonomi syariah yang peranan dan keberadaannya merupakan bagian integral dari sistem ekonomi syariah. Gerakan dakwah ekonomi Islam melalui pengembangan perbankan syariah dalam kurun waktu kurang lebih dua puluh tahun terakhir telah menunjukkan kemajuan yang signifikan.
Secara kuantitas perjalanan selama kurang lebih dua puluh tahun tersebut, sejak dioperasikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1 Mei 1992 sampai tahun 2018 telah tercatat 14 Bank Umum Syariah (BUS), 24 Unit Usaha Syariah (UUS), 155 BPR Syariah dengan jumlah kantor kas 2.526. Dan sampai triwulan I tahun 2015 ini tercatat dana pihak ketiga sebesar Rp 75,085 miliar, pembiayaan Rp 71,449 miliar dan jumlah rekening Rp 1,14 triliun. Total aset perbankan syariah berdasarkan data dari Bank Indonesia per bulan Desember tahun 2015, jumlah aset perbankan syariah (Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah) tercatat sebesar Rp 97,5 triliun, sedangkan jumlah aset Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) tercatat sebesar Rp 2,7 triliun. Jadi total aset keseluruhan sebesar Rp 100,2 triliun. Data ini menunjukkan telah terjadi kenaikan aset sekitar 31,9 persen dibandingkan aset tahun 2014 lalu. Adapun jumlah sumber daya manusia pada bank syariah pada tahun 2015 berjumlah 51.864 orang.
Perkembangan lembaga keuangan syariah tersebut didukung oleh beberapa faktor. Di antaranya faktor internal yaitu perbaikan manajemen, sosialisasi dan pelayanan yang baik. Dan secara eksternal perkembangan perbankan syariah juga didukung oleh faktor politik dengan adanya regulasi dengan lahirnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 yang mengakui keberadaan bank syariah dan bank konvensional serta memperkenankan bank konvensional membuka kantor cabang syariah.
Dan yang terbaru adanya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, dan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) tentang kegiatan ekonomi syariah yang telah mencapai sekitar 80 buah fatwa. Salah satu masalah yang dihadapi perbankan syariah saat ini adalah persoalan sumber daya manusia (SDM).
Jumlah SDM perbankan syariah sejak tahun 2011 sampai 2015 mengalami peningkatan. SDM perbankan syariah pada tahun 2015 berjumlah 61.429. Dari jumlah tersebut, menurut Euis Amalia, hanya 10 persen SDM perbankan syariah yang memiliki latar belakang ekonomi syariah, dan 90 persen berlatar belakang pendidikan ekonomi konvensional atau lulusan perguruan tinggi umum.
Pertumbuhan perbankan syariah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor pendukung, di antaranya adalah faktor internal dari bank syariah itu sendiri melakukan perbaikan manajemen, sosialisasi dan pelayanan yang baik. Dan secara eksternal perkembangan perbankan syariah juga dukung politik dengan adanya regulasi dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang mengakomodasi perbankan dengan prinsif bagi hasil baik bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat Sayriah (BPRS). Dan adanya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1986 Tentang perubahan undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 yang mengakui keberadaan bank syariah dan bank konvensional serta memperkenankan bank konvensional membuka kantor cabang syariah.
Faktor penghambat perkembangan industri perbankan syariah lainnya berasal dari internal perbankan syariah itu sendiri, yaitu menyangkut masalah sumber daya manusia. Perkembangan industri perbankan syariah yang signifikan beberapa tahun terakhir ini, ternyata tidak dibarengi dengan menyiapkan sumber daya manusia baik secara kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas industri perbankan syariah mengalami kekurangan sumber daya manusia yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan. Dan secara kualitas menyiapkan sumber daya manusia yang profesional memang bukanlah persoalan yang mudah. Jumlah penduduk Muslim berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 2019, jumlah penduduk Indonesia tahun 2020 diproyeksikan mencapai 270 juta jiwa. Dari jumlah tersebut penduduk Muslim berjumlah 229,62 juta jiwa. Dari jumlah tersebut sebanyak 66,07 juta jiwa usia 0-14 tahun dan usia 15-64 tahun berjumlah 185,34 juta jiwa. Tahun 2020 diperkirakan usia produktif 15-64 tahun 68,75 persen. Ini adalah kelompok potensial. Anak-anak muda (kaum milenial) ini memiliki peran dan kontribusi yang determinan. []