Jerussalem, Gontornews–Grand Mufti Jerusalem Mohammad Hussein menolak pengesahan RUU pembatasan suara adzan oleh Israel. Hussein menyebut, kebijakan baru tersebut adalah bagian dari “perang” Israel terhadap Masjidil Aqsa dan upaya Israel untuk mengendalikan situs suci Islam.
“Hukum ini hanya dapat digambarkan sebagai rasis, otoriter dan pelanggaran terhadap kebebasan beribadah. Ini merupakan rantai panjang serangan Israel terhadap tempat-tempat keagamaan Palestina,” kata Hussein.
Hal yang sama juga disampaikan Mantan mufti agung Jerussalem Ekrima Sabri yang menolak pengesahan RUU pembatasan suara adzan oleh Israel. Menurutnya, RUU tersebut salah satu hukum yang paling rasis dan diskriminatif yang pernah diusulkan.
“Palestina di Jerusalem dan Muslim di seluruh negeri akan menentang RUU pembatasan suara adzan. Panggilan untuk berdoa adalah salah satu bagian dari agama Islam selama lebih dari 1.400 tahun, “kata Sabri, dilansir laman alaraby (16/11).
Sebelumnya, Perdana Menteri Israel Binyamin Netanyahu mendukung RUU yang kontroversial tersebut. Padahal UU tersebut bisa menimbulkan ketegangan baru antara Israel dan pejabat Palestina dan pemimpin agama.
RUU itu diusulkan oleh anggota Partai Rumah Yahudi sayap kanan, dan diadopsi oleh sebuah komite menteri pada hari Ahad. Disebutkan alasannya, Adzan yang disebut keluar dari masjid lima kali sehari melalui pengeras suara bisa mengganggu warga Israel di pemukiman baru.
Walikota Jerusalem Israel Nir Barkat bahkan mengklaim suara adzan telah menyebabkan mereka tertekan. Bulan ini, ekstrimis sayap kanan Israel juga melakukan protes suara adzan tersebut.
Tapi kelompok yang memprotes suara adzan masih tak bulat suara. Anggota partai United Torah Judaism-Ortodoks Yaakov Litzman, justru khawatir undang-undang tersebut akan menyasar ritual Yahudi yang selama ribuan tahun, menggunakan berbagai alat, termasuk shofars (tanduk domba jantan) dan terompet untuk liburan Yahudi.
“Karena teknologi yang dikembangkan, pengeras suara telah digunakan untuk mengumumkan awal hari Sabat, pada tingkat volume yang diizinkan, dan sesuai dengan setiap hukum,” tambahnya, mengacu pada hari Yahudi istirahat mingguan. [Ahmad muhajir]