Depok, Gontornews — Sudah maklum diketahui bahwa banyak di antara kita yang berlomba-lomba dalam usaha mengimplementasikan Hadits Rasulullah SAW. Sebagaimana Rasulullah SAW telah bersabda, “Sampaikanlah dariku walau satu ayat.”
Salah satu caranya yakni dengan menyebarkan isi pesan berantai tentang nasehat agama, khususnya yang bersumber dari Hadits Rasulullah SAW. Apalagi, pada zaman modern yang serba canggih ini, banyak sekali tersebar isi pesan tersebut melalui media sosial atau video seperti Youtube, Whatsapp, Facebook, Instagram, Twitter, dan aplikasi medsos lainnya.
Fakta ini tentu saja bagus dan baik, apabila isi pesan yang disampaikan secara meluas tersebut adalah akurat dan jelas sumber hukumnya, baik dari al-Quran maupun Hadits.
“Masalahnya, dalam hal ini kebanyakan orang awam yang menerima dan membaca pesan yang seolah bersumber dari Hadits itu sangat mudah percaya dan terpedaya,” terang Dr Nur Baety Sofyan Lc MA. Bahkan, lanjutnya, mereka kerap dengan cepat menyebarkannya ke medsos, karena ingin segera mendapat pahala kebaikan, tanpa memeriksanya terlebih dulu akan kebenaran Hadits tersebut.
Namun sangat disayangkan, pada kenyataannya, setelah diperiksa dan dikaji secara teliti, pesan yang tersebar luas itu tidak memiliki sumber yang shahih, terutama pesan yang didalamnya mengandungi isi Hadits.
Bahkan, ada yang terang-terangan menyampaikannya dengan mengatasnamakan Rasulullah SAW. “Sedangkan sebetulnya beliau tidak pernah mengatakan atau melakukannya,” tegas dosen yang juga mengampu mata kuliah `Ulumul Hadits, Ulumul Quran, Hadits Ahkam Mu`amalah, dan lainnya di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh.
Para pelaku penyebar berita palsu/hoak kepada khalayak ramai seperti di atas, tentu memiliki konsekuensi hukumnya sendiri. Tentu saja orang yang membuat serta menyebarluaskan pesan palsu tersebut juga akan memiliki saham dosa atau keburukan atas apa yang telah mereka like, share, and comment itu.
Ada begitu banyak Hadits yang tersebar luas yang tidak memiliki sandaran kuat, baik dari al-Quran maupun Hadits Sahih. Sebagai contoh Hadits tentang Rasulullah SAW mengunyah makanan sebanyak 40 kali atau 44 kali. Syaikh Al-Muhaddits Ali Bin Hasan Al-Halabi menyatakan bahwa itu tidak shahih dan Syeikh Abu Ihsan Aiysh Ihsan Al-Utaibi berpendapat bahwa itu adalah suatu perkara yang bohong yang mengatasnamakan Rasulullah SAW.
Para imam ataupun ulama Hadits juga tidak pernah menemukan Hadits atau perkara mengenai hal itu, yang shahih dan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. Pesan tersebut adalah palsu. Karena setiap perkara yang disandarkan kepada Rasulullah SAW wajib memiliki hujjah dan dalil yang shahih, baik itu dari al-Quran maupun Hadits.
Dan juga merupakan salah satu cara penyebaran Hadits palsu masa kini atau dengan kata lain, Dr Nur baety menyebutnya “Hadits Palsu Modern” karena isi pesan yang disebarkan bukanlah Hadits, melainkan palsu, dan metode penyebarannya secara modern atau mutakhir.
Hadits palsu dalam bahasa Arab disebut dengan Hadits Maudhu`. Asal kata maudhu` secara bahasa adalah ismun maf`ul dari kata “وضع يضع” yang memiliki beberapa arti, diantaranya ada yang berarti meletakkan, meninggalkan, atau mengada-adakan.
Maudhu’ secara istilah, menurut ulama Hadits adalah Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dengan cara dibuat-buat dan berdusta, yang mana beliau tidak pernah mengatakannya, mengerjakannya, atau memutuskannya.
Para ulama sepakat bahwa membuat Hadits Maudhu` adalah diharamkan dan merupakan suatu perkara maksiat yang termasuk dalam dosa besar. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka dia menempati tempat duduknya dari neraka”.
Berikut ini ciri-ciri Hadits Maudhu` yang terdapat di sanad antara lain, perawi mengakui kebohongannya sendiri, adanya dalil yang menunjukkan kebohongan perawi, serta tidak adanya perawi yang tsiqqah meriwayatkan Hadits tersebut.
Sedangkan ciri-ciri Hadits Maudhu` yang terdapat di matan, di antaranya yakni susunan lafadz dalam periwayatannya buruk. Sehingga siapa pun orang yang memiliki pengetahuan bahasa akan mengetahui dan menyadari bahwa ini bukanlah dari kefasihan Rasulullah SAW.
Kemudian juga kerusakan pada maknanya, seperti Hadits-Hadits yang bertentangan dengan akhlak, akal sehat, dan lain sebagainya. Terakhir yaitu bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an, as-Sunnah, atau ijma.
“Disamping itu, para ulama juga telah melakukan berbagai usaha dalam mengatasi dan menangkal penyebaran hadits-hadits palsu tersebut di alam maya modern sekarang ini,” tambah putri dari pasangan H Sofyan Ali dan Hj Nur Aeda Wati itu.
Beberapa tipsnya yaitu, Pertama, mengharuskan adanya sanad dalam periwayatan Hadits. Kedua, meningkatkan aktifitas keilmuan dalam mempelajari Hadits. Ketiga, memeriksa dan menyelidiki kebohongan yang terdapat pada Hadits. Keempat, menjelaskan keadaan para perawi. Kelima, membuat dan menetapkan kaidah untuk mengetahui Hadits Maudhu` tersebut.
Penyebaran Hadits palsu yang terus merebak hingga saat ini, tentunya menjadi kewajiban kita bersama untuk dapat berhati-hati dalam mempercayai setiap berita khususnya yang bersinggungan dengan sabda Rasulullah SAW.
Sudah sewajibnya kita meneliti terlebih dahulu pesan yang berisi Hadits Rasulullah SAW, sebelum menyebarkan ke berbagai sarana medsos. “Atau kita pun bisa bertanya terlebih dulu kepada alim ulama yang mengetahui tentang keabsahan pesan tersebut,” tutup doktor penulis disertasi yang berjudul, “As-Syuruh Al-Mukammilah Li Kitab Al-Mu`Lim Bi Fawaidi Muslim Li Imam Al-Maziry: Dirasah Haditsiyyah” tersebut. [Edithya Miranti]