Jakarta, Gontornews — Di kaki Gunung Tokala, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah, tinggal suku yang terisolir dari dunia luar. Adalah suku Tau Ta’a Wana sebuah suku dengan sejarah yang sangat tua di dunia. Suku ini dipercaya sudah ada di Sulawesi sejak 8.000 tahun silam.
Banyak sebutan yang menggambarkan orang Taa ini. Kerap disebut Tau Taa Wana, yang bermakna: orang yang tinggal di hutan. Mereka hidup nomaden dan beragama animisme. Meski begitu tidak lantas membuat semangat dakwah da’i Dewan Dakwah surut begitu saja.
Mereka hadir membina akidah akhlak Suku Ta’a. Salah satunya adalah Ustadz Sigit Sugiatno yang hadir membina akidah dan akhlak Suku Ta’a itu. Perlahan caranya membuat orang suku Tau Taa Wana itu tertarik belajar Islam.
Bermula pada tahun 2002, pria kelahiran Gilimanuk 5 Juli 1976 ini melakukan expedisi dakwah ke Wata, sebuah wilayah pedalaman kecamatan Bungku Utara. Karena lain hal dan sebagainya, ekspansi dakwahnya pindah ke pedalaman Kecamatan Mamosalato yang dulu masih satu induk kecamatan sebelum pemekaran.
Ya. Di Ngoyo inilah Ustadz Sigit melakukan ekspedisi dakwah berikutnya.
Awalnya di sekitar kaki dan lembah serta puncak gunung Ngoyo ini tinggal sebuah komunitas suku Tau Taa Wana yang beranak pinak hidup secara berkelompok, berkebun dan berpindah-pindah.
Ngoyo merupakan nama gunung di pedalaman Kabupaten Morowali Utara yang terletak di antara Desa Uwepakatu dan Desa Manyo’e Kecamatan Mamosalato. “Kami di sini memulainya sejak tahun 2004,” katanya kepada Gontornews.
Secara kultur, budaya, mereka hidup memprihatinkan, jauh dari sandang-pangan, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan tidak beragama. Dengan pendekatan, dan akhlak Islam yang dilakukannya, satu tahun enam bulan berikutnya, mereka menerima kehadirannya, dan sepakat ingin hidup berkampung dan bermasyarakat dan berwarga negara.
“Kami tidak pernah menawarkan agama kepada mereka. Tapi dengan pembinaan akhlak Islami, suku Tau Taa Wana berangsur menuju Islam. Alhamdulillah walaupun prosesnya panjang, tahun 2015 Dusun Ngoyo telah memiliki lembaga pendidikan SDIT Al-Muhajirin Ngoyo. Sekarang muridnya sudah sampai kelas lima,” jelasnya kepada Gontornews.
Setelah keberhasilannya membawa Dusun Ngoyo menjadi perkampungan Islam, Sigit berharap Lambentana menjadi kampung Islam kedua di pedalaman Kabupaten Morowali, setelah Dusun Ngoyo.
Singkat cerita penggerak dakwah di pedalaman Morowali, Sulawesi Tengah beserta rombongannya melakukan ekspedisi dakwah menembus pedalaman Lambentana di belakang Gunung Tokala, tepatnya di Dusun Delapan, Desa Palangpraya, Kec Bungku Utara pada 18-19/1/2020 untuk menemui para muallaf baru yang telah bersyahadat di Masjid Al-Furqon pada 8 Januari 2020 lalu.
Baginya, persaksian dua kalimat syahadat yang berlangsung khidmat 8 Januari 2020 lalu di Masjid Al-Furqon, Desa Tanasumpu, Kecamatan Mamosalato, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah itu tidak bisa dilepas begitu saja. “Kami tidak berhenti sampai mengikrarkan mereka jadi Muslim. Tapi, ada tangung jawab yang lebih besar untuk melakukan pembinaan kepada mereka,” ungkapnya.
Ustadz Sigit berharap masuknya pembinaan Islam di pedalaman Lambentana bisa mendorong Suku Ta’a yang tinggal di sana menjadi lebih maju, berkampung, dan beragama, tidak hidup nomaden dan tidak menggantungkan kepercayaan pada roh nenek moyang. “Semoga Allah memberikan kejayaan Islam di pelosok ini, untuk mengajak sanak keluarga mualaf ke agama Islam yang haq, lurus, dan diridhai-Nya,” tandasnya.
Perkembangan selanjutnya sekitar 300 orang dari suku Tau Taa Wana lainnya berikrar mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Jami’ Al Furqon Desa Tanasumpu, Kecamatan Mamosalato, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah pada Jumat, 14 Februar 2020. Sebagian mereka berasal dari kawasan pedalaman Lambentana, terpencil di belakang Gunung Tokala, seperti Desa Palangpraya, Kec Bungku Utara. Lainnya dari Desa Manyoe dan Padangkalang di lereng Gunung Tokala.
Jumat pagi Ketua DDII Morut itu mengajak mereka ke sungai terdekat untuk dibimbingnya berwudhu. Setelah itu mereka diberikan busana dan dipandu bersyahadat. Baginya syahadat massal ini bukan kali pertama. Seebelumnya ada 14 orang Ta’a dari Lambentana yang juga mengucapkan dua kalimat syahadat pada 07/01/2020. “Mereka memeluk Islam setelah mendengar pengalaman dua orang Ta’a dari Desa Bungku Utara yang jadi muallaf pada 22 Desember 2019 lalu,” ungkap Ustadz Sigit.
Sedangkan dua orang Ta’a dari Desa Bungku Utara yang menjadi muallaf pada 22 Desember 2019 lalu itu tertarik masuk Islam setelah menghadiri acara Syahadat dan Sunatan Massal di Dusun Ngoyo binaan Dewan Dakwah, di Desa Manyoe, Kecamatan Mamosalato. Dari situ dua orang ini mengajak warga Lambentana lainnya untuk memeluk agama Islam.
Setelah itu, kata Ustadz Sigit, tahap selanjutnya adalah bagaimana Dewan Dakwah dan ormas-ormas lainnya memfasilitasi mereka untuk mengurus administrasi kependudukan. Sehingga, mereka memiliki Kartu Keluarga dan KTP sebagai penduduk Muslim.
“Tidak berhenti di sini. Kami juga akan terus mendampingi warga Lambentana sebagai Desa Binaan kedua setelah Ngoyo agar para muallaf ini tidak selamanya jadi muallaf,’’ujar Ustadz Sigit. [Muhammad Khaerul Muttaqien]