Puasa merupakan syariat paling lama yang sudah ada sejak zaman nabi-nabi terdahulu. Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat KH Cholil Nafis menjelaskan, puasa merupakan syariat paling lama. Selama kehidupan ini dimulai selama itu pula puasa disyariatkan.
Syariat puasa sudah dimulai sejak Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Daud, dan Nabi Ibrahim. Hanya saja caranya berbeda. Misalnya zaman Nabi Daud puasa satu hari satu hari tidak. Zaman Nabi Ibrahim puasa ayyamul bidh setiap bulan hijriyah. Nabi Muhammad SAW kemudian melanjutkan syariat puasa dengan cara berpuasa selama 1 bulan penuh (Ramadhan), dan puasa sunnah Senin Kamis, puasa ‘Asyura, puasa ayyamul bidh, puasa tarwiyah, puasa Arafah, dan seterusnya.
Tentang syariat puasa Ramadhan dan bagaimana umat-umat terdahulu berpuasa, Anggota Dewan Pakar IKADI Pusat, Dr. Syamsudin Arif memaparkan, dalam Islam puasa di bulan Ramadhan mulai disyariatkan sejak tahun ke-2 Hijriah. Sebelum itu, menurut ahli tarikh, Rasulullah dan para Sahabatnya berpuasa di hari Asyura pada 10 Muharram. Jauh sebelum itu pula syariat puasa sudah ada sejak zaman nabi-nabi terdahulu.
Menurut Imam as-Suyuthi dan Ibn ‘Asakir, orang pertama yang diperintahkan berpuasa yaitu Nabi Adam AS. Sementara menurut Ibnu Jarir Al-Thabari, syariat puasa pertama diterima oleh Nabi Nuh AS setelah sang nabi dan kaumnya diselamatkan oleh Allah SWT dari banjir bandang. “Namun tidak diketahui secara pasti bagaimana para nabi terdahulu berpuasa,”ungkap Syamsudin Arif kepada Majalah Gontor.
Ada yang menyatakan Nabi Adam dan Nabi Nuh berpuasa tiga hari berturut-turut menjelang purnama setiap bulan, yakni puasa dalam rangka tobat dari segala dosa yang pernah dilakukan di masa lalu dan puasa untuk mensyukuri keselamatan dari malapetaka. Ada yang menyatakan puasa Nabi Ibrahim 30 hari/sebulan. Namun ada juga yang bilang Nabi Ibrahim berpuasa tiga hari setiap bulan. “Boleh jadi tiga hari itu sama dengan 30 hari karena satu amal kebaikan dikalikan sepuluh nilainya: al-hasanah bi-’asyrati amtsālihā,” imbuh Ustadz Syamsudin.
Nabi Musa AS kemudian mewarisi tradisi berpuasa. Sebagian ahli tafsir menerangkan ayat 142 surat al-Baqarah bahwa Nabi Musa berpuasa selama 40 hari, yakni 30 hari + 10 hari: wā’adnā Mūsā tsalātsina laylatan wa atmamnāha bi’asyrin. Nabi Daud AS kemudian melanjutkan syariat puasa dengan cara berpuasa sepanjang tahun berselang-seling hari sehingga jumlahnya sekitar 182 hari dalam setahun. Sedangkan Nabi Isa diceritakan berpuasa selama 40 hari di padang pasir untuk melawan segala godaan setan.
Ustadz Syamsudin menambahkan, umat-umat terdahulu seperti orang Yahudi dan orang Kristen juga melakukan puasa dengan berbagai macam cara, alasan dan tujuan. Puasa orang Yahudi di Yom Kippur pada tanggal 10 bulan kesembilan berdasarkan kitab Imamat (Leviticus) 23:27. Mereka berpuasa sehari semalam sekitar 24-25 jam dari matahari terbenam sampai awal malam esok harinya, dengan menahan diri dari makan, minum dan seks.
Adapun orang Kristen berpuasa bisa sampai 40 hari sebelum Paskah dengan cara dan waktu yang berbeda-beda menurut aliran masing- masing. Penganut Kristen Orthodox misalnya, berpuasa setiap hari Rabu dan Jumat. Memang ada kesamaan dan perbedaan syariat puasa pada zaman Nabi Muhammad dan nabi-nabi sebelumnya. Kesamaannya yaitu sama-sama menahan diri dari makan minum dan hubungan seksual. Bedanya waktu dan cara serta aturannya. Durasi puasa orang Yahudi bisa sampai 25 jam atau sehari semalam. Saat puasa, mereka mesti berpakaian putih, tidak boleh mandi atau ganti baju, dilarang sikat gigi dan pakai wangi-wangian dan yang paling penting yaitu perbedaan tujuan atau motivasi.
Orang Yahudi berpuasa untuk memperingati hari-hari bersejarah seperti peristiwa jatuhnya benteng kota Yerusalem pada tanggal 17 Tammuz, bulan keempat dalam kalender mereka atau puasa untuk memperingati penghancuran kuil mereka pada tanggal 9 Av, bulan kelima dalam kalender Yahudi.
Lain pula cara puasa orang Nasrani. Puasa orang Kristen Katholik ada yang mulainya tengah malam hingga tengah hari, tidak makan daging, susu, keju dan telur pada hari Rabu (Ash Wednesday) untuk memperingati pengkhianatan Yudas dan Jumat (Good Friday) untuk mengenang penyaliban Yesus, menurut mereka.
Sedangkan berpuasa dalam Islam untuk meningkatkan ketakwaan dan durasinya hanya dari terbit fajar hingga terbenam matahari serta malamnya dibolehkan makan minum dan berhubungan seks bagi suami istri: uhilla lakum laylatas shiyām ar-rafatsu ilā nisā’ikum (QS al-Baqarah 187).
Adapun asal usul diwajibkannya berpuasa Ramadhan, oleh sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim dijelaskan, syariat puasa turun bertahap, sesuai hadis riwayat Imam Ahmad dari Mu’adz bin Jabal: uhīlas shiyām tsalātsata ahwāl. Mula-mula diperintahkan itu dengan pilihan (takhyīr), antara berpuasa ataupun membayar ‘tebusan’ (fidyah) memberi makan fakir miskin (QS al-Baqarah 184): wa ‘alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tho’amu miskin. “Ini ditegaskan dalam hadits sahih riwayat Imam al-Bukhari dari Salamah bin Akwa’,” beber Ustadz Syamsudin yang juga dosen Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor.
Berikutnya diwajibkan dengan ketentuan jika saat berbuka orang yang berpuasa itu ketiduran maka ia tidak boleh makan minum hingga malam hari esoknya. Ini diterangkan dalam hadis sahih juga dari al-Bara’ bin ‘Azib riwayat Imam al-Bukhari. Terakhir adalah ketentuan puasa seperti yang berlaku sampai sekarang, berdasarkan ayat sesudahnya (QS al-Baqarah 185): fa-man syahida minkumus syahra fal-yashumhu. Menurut Ustadz Syamsudin, puasa merupakan ibadah multifungsi dan multidimensi.
Pertama, boleh dinamakan fungsi konfirmatif. Berpuasa merupakan bukti keislaman dan keimanan seseorang. Artinya, jangan mengaku orang Islam dan beriman kalau tidak puasa pada bulan suci Ramadhan tanpa alasan yang dibenarkan.
Kedua, fungsi purifikatif. Orang yang berpuasa sesungguhnya menyucikan dirinya. Karena puasa adalah instrumen pembersih kotoran-kotoran jiwa seperti halnya shalat. Itulah sebabnya mengapa dalam suatu riwayat disebutkan bahwa mereka yang berhasil menamatkan puasa sebulan Ramadhan disertai iman dan pengharapan bakal dihapus dosa-dosanya sehingga kembali suci fitri bagaikan bayi baru dilahirkan dari rahim ibunya.
Ketiga, fungsi iluminatif atau pencerahan. Para awliya’ dan orang-orang shalih sangat gemar berpuasa. Kata Syekh Abdul Wahhab as-Sya‘rani, mereka justru mendapat pencerahan batin (ghayat an–nuraniyyah) dan peneguhan rohani serta berbagai hal positif tatkala berpuasa (Tanbih al-Mughtarrin, cetakan Damaskus hlm 55).
Keempat, puasa bersifat transformatif. Puasa yang benar dapat mengubah orang yang fasik dan munafik menjadi orang bertakwa. La‘allakum tattaqūn, firman Allah dalam kitab suci Alquran (QS al-Baqarah 183). “Itulah beberapa hikmah disyariatkan puasa,” pungkasnya kepada Majalah Gontor.
Hal senada dijelaskan oleh pakar Ulumul Quran Dr KH Ahsin Sakho Muhammad MA. Puasa, khususnya di bulan Ramadhan, merupakan salah satu kewajiban umat Muslim yang beriman. Perintah puasa Ramadhan ini antara lain termuat dalam surat al-Baqarah ayat 183. Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Menurutnya, salah satu instrumen untuk memperoleh ketaqwaan yaitu dengan cara berpuasa. Dalam QS al-Baqarah ayat 183 disebutkan la’allakum tattaqun, agar kalian memperoleh ketaqwaan dari Allah SWT. Dalam hadis Nabi juga disebutkan ash shaumu junnatun. Junnah itu tameng/perisai. Puasa merupakan ikhtiar membuat perisai-perisai di hatinya agar terhindar dari godaan setan. Semakin kita berpuasa dengan imanan wah tisaban maka semakin tebal pula perisai di hatinya sehingga tidak mudah terpengaruh godaan setan. Sebaliknya, kam min shoimin laisa lahu min shiyamihi illal ju’u wal athosyh. Begitu banyak orang yang berpuasa, tapi tidak mendapatkan pahala dan qurbah (kedekatan kepada Allah SWT), kecuali hanya menahan haus dan dahaga. Karena tidak menghayati falsafah puasa, tidak mengerti maksud dari syariat puasa.
“Allah mensyariatkan puasa karena dalam syariat puasa ada banyak sekali faedah dan manfaatnya. Antara lain puasa bermanfaat untuk kesehatan jiwa, kesehatan raga, mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan memupuk empati kita.”
Puasa melatih diri pada waktu sendiri, dan bersama orang lain merasakan kehadiran Allah sehingga ketika siang hari perut kelaparan ia tidak akan makan makanan walaupun milik sendiri. “Itu dilatih selama 30 hari terus menerus agar terjadi interaksi yang intens antara kita dengan Allah SWT. Apabila puasanya ikhlash lillahi ta’ala, imanan wahtisaban maka diharapkan orang itu mempunyai karakteristik sebagai orang yang muhtasin, orang yang muhsin,” paparnya.[]