Dalam ekonomi digital batas kemajuan manusia bersumber daya iptek hanyalah ruang imajinasi yang dimilikinya. Jika ruang imajinasi sempit sebesar batok kelapa, maka dunia menjadi seperti katak dibawah tempurung.
Jika ruang imajinasi kita hanya seluas kolam maka ruang kemungkinan yang terbentuk seperti ruang yang dimiliki ikan koi yang berenang dalam kolam sebesar akuarium. Ruang imajinasi dan daya kreativitas sebagai sumber mata air inovasi akan menjadi fondasi keberhasilan perusahaan di era digital.
Batas ruang gerak kemungkinan baru, jalan baru, produk layanan baru, produk baru dan ekosistem baru dimasa kini seolah tak terbatas.
Dalam era ekonomi digital ini ruang imajinasi kita perlu di tumbuh kembangkan agar kita mampu membuka belenggu potensi Pelanggan setia kita untuk berekplorasi menemukan “nilai tambah” individu ketika erinteraksi dengan produk barang dan Jasa Yang kita produksi.
Karena nya visi dan misi tiap perusahaan kini adalah membuka belenggu Yang membatasi ruang gerak konsumen untuk menciptakan nilai tambah . Kita perlu mengembangkan potensi pelanggan setia kita agar ketika ia menikmati produk yg diciptakan perusahaan kita seolah muncul sayap yang membuat pelanggan mampu terbang tinggi ke destinasi yang ia inginkan.
Customer now in the driving seat.
“In the emerging digital economy, the only limits, are the limits of imagination. We are entering an era where you create value by enabling customers to uncover and realize new possibilities of what might be.
An era where you create value by enabling customers to explore, define and choose what makes best sense for them. An era where you create value by giving wings to customers’ imaginations”
Cetak biru atau blue print perusahaan kini sangat tergantung pada Human Capital. Tangibel Asset atau modal kasat mata berupa tanah, bangunan dan aset bergerak lainnya memiliki laju pertumbuhan deret hitung, sementara intagible asset, modal yang tak kasat mata berbasis penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki laju pertumbuhan eksponensial.
Fokus pada peningkatan kapasitas penguasaan ilmu pengetahuan dan teknolgi dari SDM menjadi kata kunci.
******
Tahun 1991 seorang ekonom Elliot mengembangkan teori Human Capital untuk menonjolkan aspek kualitas SDM bukan quantity atau jumlah tenaga kerja Yang tersedia. Dia mencoba mendeskripsikan dilemma Yang dihadapi decision makers.
Investasi pada SDM tidak sama seperti investasi berwujud Gedung pabrik ataupun alat peralatan utama seperti permesinan. Yg jauh lebih mudah diukur rate of return on asset nya. Lama masa pakainya atau umur ekonomisnya.
Tenaga kerja karyawan dan staff ataupun manager mudah datang dan pergi. Salah kelola bisa seperti burung dalam sangkar terbuka pintu terbang kemana ia suka.
Mereka meski sudah di investasi dengan uang Yang cukup besar pun kadangkala bisa merajuk, cekcok dengan sesama , bertengkar dengan pimpinan mogok ataupun ngambek baik untuk laksanakan hak hak nya atau untuk hal hal sepele yang sumber nya tak diketahui.
Karenanya management Human Capital tidak mudah. More art than science.
Menempatkan Human Capital sebagai asset juga memiliki problem tersendiri dalam akuntansi. Nilai nya tidak dapat diukur dan dikuantifikasi seperti tanah bangunan ataupun mesin.
Semua expert atau tenaga kerja terdidik biasanya mengatakan mereka memiliki derajat kebebasan Yang tinggi. Bisa mengerjakan apa saja Yang ia mau. Suka suka sendiri.
Kata disiplin dan loyalti membuat kecerdasan dan intelektualitas tak jadi ukuran jenjang jabatan. Tak mudah menciptakan sistem berbasis Value of possition, Job Value dan job title seseorang.
Begitu juga habitat ataupun millieu dan ruang tempat bekerja para Manusia bersumber daya iptek tak juga mudah didefinisikan.
Dulu NASA pusat ruang angkasa Amerika memiliki motto “my laboratorium is my world”. Seolah dunia terbatas pada ruang laboratoriumnya para ahli nya saja.
Kini ia mengganti mindset dengan mengatakan “the world is my laboratorium”. Dunia adalah laboratorium kami.
Ruang imajinasi yang diciptakan sebagai ekosistem inovasi diperluas dengan mambangun jaringan kerja sama dengan para expert diseluruh dunia. Networking dan Collaboration menjadi kata kunci untuk menciptakan segala jenis kemungkinan baru, jalan baru penguasaan teknologi, dan cara baru dalam “proses discovery”.
Dengan kata lain musuh masa depan adalah keengganan untuk bekerja bersama. Kengganan untuk merengkuh pendapat berbeda dari orang lain. Isolasi dan “inward looking” jadi benteng yang mengkerdilkan daya inovasi.
Dalam persfektip seperti ini kata “peningkatan kapabilitas dan kapasitas” inovasi tidak lagi dapat dipersempit menjadi aturan aturan tentang absensi, pengisian formulir ataupun bentuk bentuk pengaturan untuk membatasi ruang gerak kebebasan berinteraksi. Tiap organisasi harus di transformasi menjadi “ruang discovery”, perusahaan di ubah menjadi laboratorium hidup untuk membuat eksperimentasi dari manusia bersumber daya iptek yang dimiliki.
Daya inovasi tiap meja dan ruang yang ada di satu kantor harus dibangkitkan. Manusia bersumber daya iptek perlu didaya gunakan dengan optimal. Kita tidak dapat lagi membangun “cubical space” ruang kerja seperti cell dalam kantor yang ada. Tak mungkin lagi manusia bersumber daya iptek tertidur sambil berfikir menatap layar komputer nya dalam ruang kubikal yang diperuntukkan sebagai ruang kerja nya.
Open Space, Ruang terbuka hijau, sumber jaringan internet tanpa batas menjadi medium kerja sama yang perlu dikembangkan sebagai “ruang kerja” untuk memperluas daya imajinasi. Tak mungkin lagi kini para expert dibelenggu di kursinya tidak dapat mengunjungi ruang seminar, workshop ataupun konferensi internasional. SPJ , alokasi biaya perjalanan tidak lagi dimanage menjadi kendala.
Pertanyaan penting yang perlu diajukan dalam tatakelola manusia bersumber daya iptek yang dimiliki adalah bagaimana dapat mengembangkan ekosistem yang membedakan antara kapabilitas, kompetensi dan “mata rantai bussiness pprocess” dalam menciptakan “Value”.
Mengelola Human Capital tak mungkin sama seperti mengelola asset “tangible” lainnya seperti mengelola rumah, bangunan ataupun asset bergerak lainnya.Human Capital adalah “intagible asset”. Nilai nya tak terbatas. The skys is the limit. Batas nya sangat tergantung pada kapasitas GigaByte ataupun Pentabyte dari ruang imajinasi dalam jaringan neuron yang tersembunyi dalam kepala masing masing expert yang dimiliki.
Human Capital Management di era Digital memerlukan perhatian sungguh sungguh. Sebab daya saing kini menjadi ruang dari “talent war”, “business war”, “innovation war” . Kata kuncinya adalah Human Capital. Manusia bersumber daya iptek yang memiliki ruang imajinasi seluas samudera India atau Samudera Pacific.
Mohon Maaf jika keliru. Salam