Landasan Teologis
وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
”Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS Al-Qalam: 4)
Asbabun Nuzul
Ditinjau dari segi sebab turunnya (Asbabun Nuzul), diriwayatkan dari Abu Nu’aim di dalam Kitab Asbabun Nuzul karya Imam al-Wahidi dan Kitab Dala’il Al Nubuwwah karya Abu Nu’aim al-Asbahani, dengan sanad yang bersumber dari ‘Aisyah RA bahwa tak ada seorang pun yang memiliki akhlak lebih mulia daripada akhlak Rasulullah SAW. Tatkala seseorang, baik sahabat, keluarga, maupun penguhi rumahnya, memanggil beliau, Rasulullah SAW selalu menjawab: “Labbaik (saya memenuhi panggilanmu)”.
Ayat ini turun sebagai penegasan bahwa Rasulullah SAW memiliki akhlak yang sangat terpuji.
Interpretasi Para Mufasir
Dalam Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah disebutkan, ayat ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki sifat-sifat yang paling baik dan paling mulia. Pada diri beliau terkumpul akhlak-akhlak terpuji dan sifat-sifat yang terbaik yang ada pada manusia.
Sedangkan dalam An-Nafahat Al-Makkiyah disebutkan, Allah menjelaskan bahwa Nabi memiliki akhlak yang luhur. Ini persaksian dan pujian dari Allah bagi Rasul. Telah ditanya Ummul Mukminin Aisyah tentang akhlak Rasul, maka beliau berkata: Akhlak Rasul Al-Qur’an.
Menurut Imam Al-Mawardi, ayat itu diartikan sebagai keharusan untuk berbuat baik (berakhlak) terhadap semuanya, seperti dicontohkan Rasulullah SAW. Entah itu sesama umat Islam, orang lain, bahkan binatang serta tumbuhan sekalipun.
Tidak hanya itu, untuk memperkuat kendali perilaku dan moral seorang Muslim, Nabi menasihati agar menjauhi sikap saling dengki, munafik, amarah, suka mencela, dan segala keburukan lainya, yang tentu berimbas pada diri sendiri dan orang lain.
Allah SWT berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
“Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.” (QS Al-Ahzab: 21)
Nilai-Nilai Pedagogis
QS Al-Qalam: 4 mengandung sejumlah nilai-nilai pedagogis atau pendidikan bagi manusia. Pertama, Pendidikan Berbasis Akhlak. Ayat ini menekankan bahwa standar utama dalam pendidikan yaitu akhlak. Tujuan akhir pendidikan bukan hanya penguasaan ilmu, tetapi pembentukan karakter mulia (akhlaq al-karimah). Implikasi pedagogis: Kurikulum dan proses pembelajaran harus mengintegrasikan pendidikan karakter dan keteladanan akhlak.
Kedua,Nabi Muhammad SAW sebagai Model Insan Kamil. Nabi Muhammad SAW digambarkan sebagai manusia dengan akhlak agung. Beliau menjadi figur ideal dari insan kamil (manusia paripurna). Pendidikan harus mengarahkan peserta didik untuk meneladani sifat-sifat Nabi: jujur, amanah, tabligh dan fathanah. Implikasi pedagogis: Guru bukan sekadar pengajar, tetapi juga teladan dalam perilaku dan spiritualitas.
Ketiga,Kesempurnaan Insan Kamil sebagai Tujuan Holistik. Insan kamil adalah manusia yang sempurna secara ruhani, akhlak, intelektual, dan sosial. Pendidikan ideal tidak hanya membentuk kecerdasan kognitif, tetapi juga emosional (EQ) dan spiritual (SQ). Implikasi pedagogis: Metode pembelajaran harus menyentuh aspek hati, bukan hanya otak. Pendekatan spiritual perlu diintegrasikan.
Keempat,Pendidikan sebagai Proses Pembentukan Jati Diri. Ayat ini menegaskan pentingnya pembentukan jati diri yang kokoh melalui nilai-nilai moral dan spiritual. Pendidikan yang berhasil yaitu yang mampu menanamkan nilai luhur sehingga membentuk pribadi yang stabil dan konsisten. Implikasi pedagogis: Evaluasi pendidikan tidak cukup hanya dengan angka, tapi juga dengan perubahan sikap dan kepribadian.
Kelima,Transformasi Sosial Melalui Pendidikan Akhlak. Individu dengan akhlak agung akan berkontribusi pada peradaban yang mulia. Pendidikan yang menekankan akhlak akan melahirkan agen perubahan sosial yang adil dan berperikemanusiaan. Implikasi pedagogis: Proses pendidikan harus diarahkan untuk membentuk insan-insan yang siap memimpin dan memperbaiki masyarakat.
Kajian Teoretis
Insan Kamil. Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu terdiri dari dua kata: insan dan kamil. Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Secara terminologi, insan kamil berarti manusia yang sempurna.
Adapun Ibnu Arabi memaknai insan kamil sebagai manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya karena ia merupakan manifestasi dari kesempurnaan, dari citra Tuhan yang pada dirinya tecermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh. Sedangkan dari segi pengetahuan karena ia telah sampai pada tingkat kesadaran tertinggi yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan.
Insan kamil, yang berarti manusia sempurna, merupakan konsep dalam Islam yang menggambarkan manusia yang mencapai tingkat tertinggi dalam kehidupan spiritual, intelektual, dan moral. Untuk mencapai derajat insan kamil, pendidikan harus diarahkan pada pembentukan moral yang utuh, yang mencakup tiga aspek utama: moral knowing, moral feeling, dan moral action.
Moral knowing mencakup pemahaman tentang nilai-nilai kebaikan, seperti kejujuran, keadilan, dan kasih sayang. Sedangkan moral feeling merujuk pada kepekaan emosional terhadap nilai-nilai tersebut, seperti rasa empati terhadap penderitaan orang lain dan rasa bersalah ketika melakukan kesalahan. Sementara itu, moral action adalah perwujudan nyata dari nilai-nilai moral dalam perilaku sehari-hari, seperti berkata benar, membantu sesama, dan bersikap adil, dll.
Ketiga aspek ini harus dibina secara seimbang agar pendidikan benar-benar mampu melahirkan pribadi yang utuh dan paripurna sesuai dengan tujuan pembentukan insan kamil dalam Islam.
Manusia memiliki potensi dalam mencapai insan kamil, baik secara fisik maupun spiritual karena manusia diciptakan dalam sebaik-baik bentuk.
Allah SWT berfirman:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ
“Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS At-Tin: 4)
Konsep insan kamil sangat kuat dalam Al-Qur’an, manusia yang sempurna yaitu manusia yang mencapai puncak kesempurnaan iman, ilmu, amal, dan akhlak, serta menjadi wakil Allah di bumi dan teladan bagi makhluk lain.
Allah SWT berfirman:
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ …..
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi’.” (QS Al-Baqarah: 30)
Dalam dunia tasawuf ada tiga tahapan bagi seseorang sebagai proses untuk menjadi insan kamil atau manusia yang sempurna. Pertama, Takhalli yaitu proses penjernihan hati dari segala penyakit hati. Dalam tahapan ini seseorang dituntut dengan sepenuh hati untuk dapat menyadari dirinya sendiri (muhasabah) dan kembali ke jalan Illahi.
Kedua, Tahalli yaitu proses pengisian hati dengan meningkatkan dzikrullah maupun dengan meningkatkan kualitas ibadah. Tahapan tahalli juga sebagai proses menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini milik Allah SWT.
Ketiga, Tajalli yaitu tahapan tersingkapnya hijab (tabir penghalang) yang membatasi hati seseorang dengan Tuhannya. Dengan terbukanya hati, maka nur Allah SWT berupa hidayah, taufik, karamah dan lain sebagainya masuk sampai ke hati nurani. Dalam tahapan ini seseorang lebih mengedepankan nilai hakikat sehingga mengetahui siapa yang diimani, kepada siapa beribadah dan mengabdi, yaitu Allah SWT yang Mahaagung dan Mahatinggi dengan kesempurnaan sifat-sifat-Nya.
Tujuan Akhir Pendidikan
Menjadi insan kamil bukanlah tujuan yang dapat dicapai dalam semalam, tetapi merupakan perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen dan ketekunan.
Dengan memahami ajaran Islam secara mendalam, melakukan amal perbuatan yang baik, dan mengikuti teladan para tokoh spiritual, setiap individu dapat menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan berarti sebagai insan kamil dalam pandangan Islam dan merupakan tujuan akhir dari pendidikan Islam. Karena pendidikan dalam Islam bukan sekadar proses mentransfer pengetahuan atau keterampilan teknis, melainkan sebuah proses pembentukan manusia seutuhnya.
Tujuan akhirnya mencetak individu yang paripurna dalam aspek spiritual, intelektual, moral, dan sosial yang menjadi insan kamil. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.” (HR Al-Baihaqi)
Akhlak dipandang sebagai dasar dan fondasi menuju perbaikan. Perubahan akan terjadi jika ada perubahan akhlak.
Begitulah, Allah mengutus Rasulullah SAW dilengkapi dengan perilaku (akhlak) yang mulia dan menjadi teladan terbaik bagi umatnya untuk menjadi manusia sempurna.
Cara Menggapai Insan Kamil
Lalu bagaimana cara menjadi insan kamil? Pertama, tarbiyah ruhiyah (pendidikan spiritual). Tujuan pendidikan ruhiyah menurut ‘Abd al-Halm Mahmud yaitu untuk mengajarkan ruh bagaimana menjaga, memperbaiki dan mengembangkan relasinya dengan Allah SWT dengan beribadah, tunduk, dan patuh kepada-Nya. Jadi, tujuan pendidikan ruhani, diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik yang ideal dan berakhlak mulia (insan kamil).
Allah SWT berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat: 56)
Kedua, tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa). Dengan menyucikan jiwa, hati akan terasa tenteram, nyaman, aman dan bersih sehingga Allah mengajarkan banyak hal yang belum diketahui. Allah SWT berfirman:
كَمَآ اَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلًا مِّنْكُمْ يَتْلُوْا عَلَيْكُمْ اٰيٰتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَۗ
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Nabi Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (Sunnah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah: 151)
Ketiga, ta’lim (pengajaran ilmu). Ta’lim merupakan proses pembelajaran yang dilakukan sejak manusia lahir dengan mengembangkan segala potensinya, baik potensi pendengaran, penglihatan maupun hati sehingga membentuk manusia yang sempurna.
Allah SWT berfirman:
وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar kamu bersyukur.” (QS An-Nahl: 78)
Keempat, tahdzib al-akhlaq (pembinaan akhlak). Rasulullah SAW bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ.
“Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya yaitu yang akhlaknya paling baik di antara mereka, dan yang paling baik di antara kalian yaitu yang paling baik kepada istri-istrinya.” (HR At-Tirmidzi No. 1162)
Kelima, berbuat ihsan. Ihsan kepada Allah adalah menyembah (beribadah) dengan sebaik-baiknya dan menghindari segala larangan-Nya. Ihsan tidak dapat dipisahkan dari iman dan Islam. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak boleh ditinggalkan agar keislaman seseorang sempurna. Perilaku ihsan perlu tertanam di dalam hati dan diimplementasikan dengan perbuatan terpuji dalam kehidupan.
Rasulullah SAW bersabda:
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim)
Kisah Teladan
Jejak hidup Rasulullah SAW dalam sirah nabawiyah mengulas lebih dalam sosok baginda yang sahaja, hebat, sempurna, maupun keseharian beliau yang memang jauh dari kemewahan, namun menempati posisi mewah di hadapan Rabb-nya.
Selama hayatnya, segenap kehidupan beliau menjadi tumpuan perhatian masyarakat. Karena segala sifat terpuji yang terhimpun dalam dirinya merupakan lautan budi pekerti yang tak pernah kering. Itulah cerminan abadi yang patut diteladani umat Islam untuk meraih insan kamil.
Untuk dapat meraih derajat insan kamil, biasanya seseorang lebih senang dengan menempuh cara hidup sebagai seorang sufi. Kehidupan para sufi pun lebih menonjolkan segi ruhani dan spiritual.
Hasan Al-Basri, seorang sufi yang menuangkan prinsip khauf (takut) dan raja’ (pengharapan), juga Rabiah Al-Adawiyah, sufi wanita yang mencetuskan konsep mahabbah (cinta) pada Allah, dalam upaya mencapai derajat insan kamil dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan, bukan yang lain.
Namun hakikatnya, semua manusia mampu berusaha untuk tidak menempatkan dunia sebagai tujuan, namun sebagai pemenuhan totalitas amalan ukhrawi yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Menyisihkan kepentingan dunia bukan berarti mengabaikan apalagi ‘meninggalkan’ kewajiban duniawi. Namun lebih dari itu, meneladani potret insan kamil ialah dengan menyeimbangkan kehidupan dunia, tempat kita beramal shalih sebagai bekal akhirat.
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةًۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami berpaling setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami dan anugerahkanlah kepada kami rahmat dari hadirat-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.” (QS Ali Imran: 8) []