Penyampaian materi sosialisasi empat pilar MPR-RI kepada alumni pesantren bukan hal yang aneh bagi Pondok Modern Darussalam Gontor. Saat mondok di Gontor, saya mempelajari materi civics (ilmu kewarganegaraan) yang diajar langsung oleh Ustadz Mukhtar, adik ipar KH Hasan Abdullah Sahal.
Kalaupun tadi disampaikan oleh Bapak Wakil Gubernur DKI Jakarta, A Riza Patria, hubungan MPR dengan Gontor erat, itu karena ketua MPR pada periode pertama Orde Baru merupakan alumni Gontor, KH Idham Chalid. Sekarang, pimpinan MPR juga selalu ada alumni Gontor. Ada saya, ada juga Ustadz Lukman Hakim Saifuddin. Ada juga Yudi Latief yang pernah memimpin BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila). Itu artinya Gontor atau pesantren secara umum menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari “ber-Indonesia”.
Jika di pesantren kita masih belajar ‘Al-Hubbu a’la syai’in far’un ‘an tasawwurihi’, maka tasawwur kita sejak di Gontor telah dibenarkan, karena kita belajar tentang masalah civics. Bahkan, lagu hymne ‘Oh Pondokku’ yang ada di Gontor, mengajarkan kita untuk mencintai tiga ibu: Ibuku pondok, ibuku Indonesia, dan ibuku ibu kandung.
Berdasarkan tasawwur semacam ini dan apa yang kita lakukan di Gontor, sesungguhnya walaupun hari ini kami dari MPR bekerjasama dengan IKPM Gontor dan Ponpes Darunnajah dalam menyelenggarakan sosialisasi empat pilar, babnya bukan mengajarkan alumni mahfudzat, bukan juga mengajar itik untuk berenang, ikan untuk berenang, atau burung untuk terbang, tetapi hanya fa dzakkir fainnadzikro tanfa’ul mu’minin.
‘Dzikro’ (pengingat) ini penting karena banyak sekali yang sering kali dilupakan. Saya sering menyampaikan Jas Merah: ‘JA-ngan S-ekali-kali ME-lupakan seja-RAH’. Akan tetapi Jas Merah sering diartikan sebagai peringatan untuk tidak melupakan sejarah saja. Sementara sejarah pesantren dilupakan, sejarah para ulama dilupakan, sejarah para umara untuk Indonesia dilupakan.
Maka dari itu, saya sampaikan, “Jas merah, yes!” “Jas Hijau, yes!”. Jas Hijau merupakan singkatan dari JA, jangan. S, sekali-kali, Hi, hilangkan. Ja, Jasa. U, ulama, umara dan umat. Hari ini misalnya, penyelenggaraan sosialisasi 4 pilar MPR-RI di Pondok Pesantren Darunnajah merupakan bagian dari pengembangan yang oleh KH Mahrus Amin (Pendiri Ponpes Darunnajah) disebut sebagai “santri bela negara”.
Hari bela negara saat ini seringkali hanya diperingati sebagai bela negara tanpa mengaitkannya dengan sejarah. Padahal, hari bela negara sangat erat kaitannya dengan peran santri dalam membela negara Republik Indonesia serta berhasil menyelamatkan Indonesia dari klaim Belanda bahwa Indonesia sudah habis terutama setelah mereka menahan Bung Karno, Bung Hatta dan Sutan Syahrir pada saat Clash Militer Kesatu dan Kedua. Saat itu, Belanda propaganda di tingkat internasional bahwa Indonesia sudah habis dan telah kembali menjadi jajahan Belanda.
Tetapi, saat itu, muncullah seorang santri, Mr Sjafruddin Prawiranegara, pemimpin Partai Masyumi sekaligus Menteri Kemakmuran. Saat itu, beliau sedang di Bukittinggi dan kemudian mendapatkan telegram –ada dua riwayat– dari Abdurrahman Baswedan, kakek Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yang memintanya untuk menyelamatkan Indonesia. Riwayat lain mengatakan, beliau memang memiliki firasat untuk menyelamatkan Indonesia. Beliau mengumandangkan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) melalui radio hingga tersiar ke India, New York, dan dunia internasional yang mengatakan, klaim Belanda bahwa Indonesia sudah habis, tidak ada dan tidak benar.
Pada 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat keputusan menjadikan tanggal 19 Desember sebagai hari bela negara. Sejatinya, hari bela negara itu merupakan apresiasi negara atas jasa santri, Mr Sjafruddin Prawiranegara, menyelamatkan Indonesia. []
Tulisan ini disarikan dari pidato “Sosialisasi 4 Pilar MPR RI” di Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta Selatan, Ahad, 13 Desember 2020.