Kebahagiaan hakiki atau kebahagiaan yang sesungguhnya ialah kebahagiaan di saat seseorang mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada Tuhan yang menciptakannya, Allah ‘Azza wa Jalla dengan tujuan menggapai ridha-Nya.
Demikian konsep kebahagiaan yang dibawakan oleh Ibnu Maskawaih dalam karyanya yang berjudul “Tahdzib al-Akhlaq” atau Penyucian Akhlak. Dalam buku tersebut, Ibnu Maskawaih memaparkan bahwa kebahagiaan itu terdiri dari kebahagiaan jasmani dan kebahagiaan rohani. Manusia memiliki kedua sisi tersebut.
Konsep kebahagian Ibnu Maskawaih hakikatnya telah meliputi konsep kebahagian yang dibawakan para filosof-filosof, baik Barat maupun Islam. Misalnya saja, filosof Barat, Aristoteles. Konsep kebahagiaan menurutnya adalah kebahagiaan rohani dan kebahagiaan adalah kebaikan tertinggi yang dimiliki manusia.
Kemudian konsep kebahagiaan filosof atau ulama Muslim seperti Imam Al Ghazali dalam kitabnya “Kimiya al-Sa’adah” mengatakan bahwa dalam Ilmu Kimia untuk mengubah suatu substansi yang rendah menuju substansi yang mulia (emas) maka dibutuhkan proses tertentu, atau bahkan membutuhkan tempat khusus seperti laboratorium khusus. Demikian juga dengan jiwa manusia yang ingin menuju pada derajat atau kebahagiaan tertinggi maka memerlukan suatu sikap berupa zuhud, mujahadah dan riyadhah.
Imam Al Ghazali melalui karyanya tersebut menjelaskan adanya proporsionalitas keseimbangan kebahagiaan yang tidak hanya rohani saja, tapi juga kebahagiaan jasmani. Itulah disiplin ilmu yang ditemukan dan dikembangkan Al Ghazali mengenai konsep kebahagiaan.
Ibnu Maskawaih yang merupakan mantan birokrat yang berada dalam lingkaran kekuasaan penguasa selama lebih dari dua puluh tahun itu menjelaskan tentang konsep kebahagiaan yaitu kebahagiaan pada tingkat tertinggi adalah kebahagiaan pada saat manusia dapat menunaikan kewajibannya terhadap Tuhannya, Zat yang menciptakannya.
Kebahagiaan disebut juga sebagai Sa’addah, sa’addah di dunia dan sa’addah di akhirat, keduanya menjadi cita-cita seluruh umat Islam di muka bumi. Bahkan ulama klasik menjadikan dua kebahagiaan dunia dan akhirat sebagia cita-cita hidup bernegara.
Maka negara menurut Islam bukan hanya mengenai kesejahteraan yang bersifat lahiriah atau materiil saja tapi juga yang bersifat bathiniyah atau imateriil.
Selain itu, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, setidaknya ada beberapa kriteria yang dimintakan dan dimohonkan manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’alla, sebagaimana dalam doa keselamatan yang berbunyi “Allahumma inna nas-aluka salamatan fiddin wa afiyatan fil-jasadi wa jiyadatan fil-ilmi wa barakatan firrizqi, wa taubatan qablal-maut, wa rahmatan indal-maut, wa maghfiratan ba’dal-maut. Hawwin alaina fi sakaratil-maut, wannajata minannaari, wal-afwa indal-hisab.”
Empat kriteria yang dimohonkan selama di dunia yaitu keselamatan dalam beragama, kesehatan badan atau jasmani, bertambahnya pengetahuan dan keberkah rezeki. Sedangkan untuk bisa mendapatkan kebahagiaan akhirat empat kriteria juga yang dimintakan dalam doa tersebut yaitu mendapatkan tobat sebelum mati, mendapat rahmat ketika mati, mendapat ampunan sesudah mati serta diringankan dalam sakaratul-maut.
Terakhir meminta agar diselamatkan dari siksaan neraka, dan mendapatkan ampunan pada hari hisab (perhitungan). Maka demikian, kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat akan diperoleh. Termasuk juga dalam doa yang ada dalam Al Qur’an: “Rabbanaa, aatinaa fid dunyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah, wa qinaa ‘adzaaban naar.” Wa Allahu a’lam bish shawab.[]