Seorang dai hakiki tentu harus siap berjuang kapan pun dan di mana pun.Tanpa melihat seberapa jauh dan sulitnya medan dakwah yang akan dijalani, seorang dai harus siap berkorban dan ikhlas berdakwah.
Seorang dai memang harus siap untuk mengorbankan waktu, harta, dan raganya demi menjalankan tugas mensyiarkan agama Allah SWT. Terlebih bagi mereka yang berjuang dengan berdakwah di pelosok daerah di Tanah Air.
Banyaknya ragam suku, ras, dan budaya, tentu menambah sejumlah tantangan tersendiri bagi mereka.
Tsani Lizziah, mantan finalis dai muda di ANTV, kepada Majalah Gontor menceritakan sepenggal pengalaman dakwahnya di pelosok Jampang, Sukabumi, Jawa Barat. Tsani yang ditugaskan untuk berceramah di sana, harus melewati bermacam kendala karena
medan area yang sulit.
Berdakwah di pelosok memang tidak mudah. Apalagi masih banyak warga setempat yang mempercayai hal-hal mistis. Sehingga memperbaiki aqidah mereka merupakan hal utama dalam berdakwah.
“Desa ini juga masih sangat mistis. Masih banyak santet,” papar Tsani.
Makanya ketika Tsani membahas soal syirik, setelah selesai acara tokoh ulama setempat langsung bertanya tentang kabarnya. Karena pernah ada seorang ustadz yang membahas hal serupa tiba-tiba tidak keluar lagi suaranya, padahal ustadz itu terus berbicara. “Alhamdulillah saya tidak kenapa-kenapa,”ulas alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor Putri tahun 2009 itu.
Kisah Tsani di atas adalah secuil kisah perjalanan seorang daiah muda di pelosok daerah. Sebab masih banyak beragam kisah inspiratif lain dari para dai senior yang telah lama mendedikasikan dirinya untuk terjun berdakwah di pedalaman. Berikut kisahnya:
Menyebar Sinar Islam di Desa Kie, NTT
Ustadz Bey, begitu sapaannya, sejak tahun 1997 telah berdakwah di kampung halamannya sendiri. Selain di Cigeulis, ia juga pernah berdakwah di Malingping, Panimbang, dan sekitarnya.
Pria kelahiran Desa Cigeulis, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, Banten, 4 Mei 1972 ini, pernah diterjunkan oleh Dewan Dakwah sebagai dai di pelosok Desa Kie, Kec. Oilasi Kupang, Kab. Timor Tengah Selatan, NTT (Nusa Tenggara Timur).
Sempat shock Bey Hanafi di awal hidup bersama warga desa. Karena di tengah masyarakat yang sangat terbelakang dan miskin, mereka ternyata belum bisa sekadar memasak air dengan benar dan juga jarang mandi. Sehingga beragam keterampilan hidup dan cara bersuci menjadi pelajaran dasar dalam memulai dakwahnya.
Ustadz Bey juga didukung Dewan Dakwah untuk menggelar sunatan massal karena banyak warga yang belum disunat.
“Bukannya dipanggil ustadz, di sana saya dipanggil “Bapak Pendeta
Islam”,” kenang Bey sambil tersenyum.
Alhamdulillah, setelah berdakwah sekian lama, Bey akhirnya memiliki seorang kader dakwah. Dialah yang kelak meneruskan langkah Bey selanjutnya.
Menggerus Penyimpangan Akidah di Boalemo, Gorontalo
Ustadz Jaka Firmansyah adalah seorang dai muda penerus perjuangan dakwah almarhum Ustadz Mawardi di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Hal tersebut dilakukan setelah Dewan Dakwah menugaskannya untuk meneruskan misi dakwah di sana.
Dai asal Tangerang, Banten, itu lantas mengungkapkan, “Salah satu tantangan terberat di awal masa dakwahnya adalah persepsi masyarakat akan sosok almarhum Ustadz Mawardi.” Sebab almarhum adalah seorang dai hebat yang memiliki segudang pengalaman dalam berdakwah.
Selain melanjutkan apa yang sudah dilakukan almarhum, Ustadz Jaka juga mencoba membuat kegiatan lain, seperti di bidang pemberdayaan masyarakat yakni dengan memfasilitasi berdirinya dua kelompok tani.
Tepat di Kecamatan Wonosari, Boalemo, Gorontalo, inilah Ustadz Jaka mulai menunaikan tugas dakwahnya. Daerah ini merupakan daerah transmigran, sehingga banyak bercampur aneka budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Daerah itu juga daerah tertinggal dengan pembangunan infrastruktur yang minim. Di Desa Dimito misalnya, dari 8 dusun yang ada, baru 4 dusun yang sudah mendapat pasokan listrik. Itu pun masih sering padam mendadak. Sehingga kegiatan belajar mengaji menjadi tidak maksimal.
Mirisnya lagi, budaya mabuk-mabukan sudah menjadi kebiasaan masyarakat pedalaman Gorontalo. Tidak hanya kalangan muda dan tua saja, bahkan imam masjid pun banyak yang gemar minum-minuman keras.
“Sehingga dirasa masih banyak hal yang harus diperbaiki bersama dan itu bukan perkara mudah,” tukas alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Muhammad Natsir (STID Natsir) ini.
Masyarakat di sana meski mayoritas Islam, namun masih banyak yang tidak menjalankan syariat Islam dan belum bisa membaca al-Qur’an. Terlebih di daerah yang paling terpencil seperti di Dusun Mutiara, Dusun Blora, dan Dusun Batu Kruju.
Di wilayah ini juga banyak berkembang berbagai macam ajaran tarekat, yang kebanyakan mengajarkan konsep Manunggaling Kawulo Gusti (wihdatul wujud) ala Syekh Siti Jenar. Ajaran ini mengajak para penganutnya agar tidak perlu melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam Islam, seperti shalat, zakat, puasa dan lain-lain.
Menyikapi ragam masalah di medan dakwahnya, Ustadz Jaka akhirnya berusaha untuk fokus mengajar al-Qur’an untuk anak-anak di dua desa dahulu, yaitu Desa Pangea dan Desa Dimito.
Selain itu, ia juga membentuk majelis taklim kaum ibu di Dusun Ampera. “Program selanjutnya saya akan membuat pelatihan guru TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) dan pelatihan khatib Jumat untuk memperbanyak jumlah TPA yang ada,” tuturnya.
Dakwah Menembus Desa Minoritas Muslim
Desa Jiko Malobok, Kecamatan Nungan, Kabupaten Boolang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara, merupakan desa minoritas Muslim. Dari 300 KK (Kepala Keluarga), hanya 15 KK yang Muslim. Sedangkan mayoritas penduduk lainnya Nasrani (Kristen Katolik dan Protestan).
Sebagian besar Muslim Jiko adalah muallaf. Sehingga selain minoritas dalam jumlah, pengetahuan agama mereka juga masih sangat minim.
Ustadz Samsi, sarjana Ilmu Komunikasi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohammad Natsir (STID Natsir), telah meneruskan perjuangan ustadz sebelumnya, Ustadz Mundzir dari Dewan Dakwah, untuk berdakwah di Jiko.
Basis dakwah Ustadz Samsi adalah Masjid Ihya’ Ulumuddin. Masjid sederhana ini dibangun pada tahun 2005 berkat bantuan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Sayangnya, letak masjid sangat jauh dari pemukiman warga Muslim. Jamaah pun harus berjalan sejauh 1,5 hingga 2 km untuk bisa sampai ke masjid.
Banyak hal yang membuat Ustadz Samsi prihatin dengan kondisi masyarakat setempat. Salah satunya yaitu kondisi anak-anak Muslim Desa Jiko yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak kondusif untuk imannya.
Di sekolah misalnya, mereka harus mengikuti pelajaran ritual agama mayoritas. Selain karena tidak ada guru, jika mereka tidak hafal doa-doa agama lain, maka akan didenda.
Selama berdakwah, Ustadz Samsi proaktif mendatangi rumah-rumah muridnya untuk mengajari baca al-Qur’an dan mengaji agama Islam.
Merasa punya kakak yang baik, anak-anak Jiko jadi senang ke masjid. Bahkan anak-anak non-Muslim juga betah bermain di masjid.
Berdakwah di tengah masyarakat minoritas Muslim tentu perlu kehati-hatian tinggi. Sebab itu, Ustadz Samsi menggunakan jurus 3S (Senyum, Sapa, Salam). Ia pun berdakwah dengan bilhikmah, mau’idzah hasanah, wajadilhum billati hiya ahsan.
Buah kesabaran dan keikhlasan Ustadz Samsi, akhirnya membuahkan hasil yang maksimal. Masyarakat sangat menyambut hangat kedatangannya dan antusias dalam mengikuti pengajian.
Sampai-sampai, belakangan pengajian mulai diselingi dengan pengumpulan infak. “Kata mereka, kelak tabungan infak digunakan untuk bekal Ustadz Samsi pulang ke Jakarta,” terang ustadz. Namun, ustadz menyarankan agar infak tersebut disumbangkan ke masjid saja.
Masyarakat Muslim Jiko juga sepertinya enggan melepas kepergian Ustadz Samsi. Mereka sepakat untuk mencarikan calon istri terbaik di Jiko.
Dengan penuh terima kasih, ustadz menyampaikan bahwa hal terpenting adalah memelihara keutuhan agama Islam di desa ini.
‘’In syaa Allah kalau kita mengamalkan agama kita dengan sebaik-baiknya, maka kelak kita akan berkumpul lagi di surga nan abadi,’’ pungkas Al-hafidz 30 juz al-Qur’an itu. []