Depok, Gontornews — Kemajuan segala aspek kehidupan saat ini, terlebih menyangkut ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, politik, dan lainnya diamini adalah berkat hasil adopsi dari peradaban Barat.
Barat di zaman sekarang memang telah banyak dikait-kaitkan sebagai sumber keberhasilan dan kemajuan masyarakat di seluruh dunia. Serta dianggap sebagai kiblatnya era modern karena banyak yang mengira bahwa peradaban dunia dapat berkembang pesat berkat kendali bangsa Barat.
Sebagian opini tadi mungkin dibenarkan oleh hampir setiap manusia di era terkini, tapi tidak untuk mereka yang hidup di era terdahulu. Pasalnya, di balik kejayaan peradaban Barat sekarang, ada sebuah realitas sejarah yang tidak banyak diketahui masyarakat dunia.
Sebuah fakta sejarah yang menyatakan dengan tegas bahwa semua kejayaan peradaban Barat tidak pernah luput dari jasa dan kontribusi besar para ilmuwan Muslim pada abad pertengahan.
Pada abad pertengahan Umat Muslim telah lebih dulu mencapai puncak kejayaan. Namun, tepatnya pada abad ke-13M terjadilah sebuah invasi kejam bangsa Mongol yang berhasil memporak-porandakan khazanah Islam buah karya para ilmuwan Muslim terdahulu. Invasi ini dimulai pada tahun 1206, dipimpin oleh Jengis Khan dan anak keturunannya.
Akibatnya, hampir tidak ada satu peradaban Islam pun yang tersisa di Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Eropa Timur. Seiring dengan itu, pada tahun 1258, pasukan Mongol kembali mengincar pusat peradaban Islam di Baghdad.
Semua bangunan kota dihancurkan berkeping-keping, mushaf Al-Qur’an diinjak-injak, masjid dijadikan sebagai kandang kuda, perpustakaan dibakar, dan ribuan buku-buku serta manuskrip tulisan para ulama terdahulu dihanyutkan di sungai Tigris.
Kehancuran yang dialami Muslim Baghdad ini dianggap sebagai era kemunduran peradaban Islam di abad pertengahan bagi para sejarahwan. Dan tidak berhenti di situ, bangsa Mongol kembali berniat untuk melanjutkan invasinya ke arah Mesir dan Mediterania.
Beruntung, semua dapat dikendalikan oleh pasukan Islam dari Dinasti Mamluk sehingga pasukan Mongol mundur. Seandainya pasukan Islam tidak berhasil menghadapi mereka, maka yang ada kini tidak akan kita temui lagi wilayah-wilayah bersejarah yang menyimpan sejuta peradaban Islam di masanya dulu.
Dulu, sebelum hal ini terjadi, para ilmuwan Muslim seperti, Al-Biruni, Ibnu Shina, Al-Battani, dan lainnya telah terlebih dulu mewarnai dunia ilmu pengetahuan. Mereka banyak menguasai ilmu kedokteran, perbintangan, perhitungan, hadits, fikih, dan masih banyak lagi. Sayangnya, prestasi gemilang tersebut tidak diakui lagi oleh bangsa Barat atau mungkin sengaja mereka tutup-tutupi demi menjaga citra kegemilangan mereka kini.
Transformasi ilmu pengetahuan Islam ke dunia Barat dikemukakan oleh Mehdi Nakosteen, seorang penulis buku Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat: Diskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, terbangun melalui dua cara.
Pertama, melalui para mahasiswa dan cendekiawan Eropa Barat yang menimba ilmu di sekolah-sekolah tinggi ataupun universitas Islam di Spanyol. Kedua, melalui hasil karya cendekiawan Muslim yang berhasil diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa mereka sendiri.
Ilmu-ilmu yang diajarkan dalam agama Islam bagi umat manusia adalah sebuah harta karun yang sangat menarik dan didambakan oleh semu pihak, tidak terkecuali pihak non Muslim. Pada tahun 1213 di Eropa berdirilah sebuah Universitas pertama mereka yaitu Universitas Paris dan pada akhir abad pertengahan disusullah pendirian 18 universitas lainnya di Eropa.
Pemuda Eropa dahulu memang banyak yang menuntut ilmu di universitas Islam di Spanyol seperti Cordoba, Sevilla, Malaca, Granada, dan Salamanca. Saat belajar, mereka juga aktif dalam menerjemahkan buku-buku buah karya para intelek Muslim.
Berkat kerja keras mereka mengadopsi dan menerapkan khazanah keilmuan Islam, akhirnya muncullah tunas-tunas baru sarjana keilmuan Barat yang kerap digaungkan di depan masyarakat Eropa. Petrus Alfonsi salah satunya. Ia adalah seorang sarjana Eropa yang dahulunya menggeluti ilmu kedokteran pada salah satu fakultas kedokteran di Spanyol. Lalu Adelard of Bath, yang terkenal di Inggris, setelah berhasil menimba ilmu di Toledo, tempat pusat penerjemahan buku-buku Islam.
Lain dengan Mehdi Nakosteen, Samsul Nizar, seorang penulis buku Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam: Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, menambahkan bahwa proses transformasi penyebaran pengetahuan Islam terjadi melalui berbagai jalur.
Jalur tersebut antara lain adalah jalur Andalusia, yakni ketika Islam mulai masuk ke Andalusia yang dibawa oleh Thariq. Kedua, Pulau Sisilia yang berhasil ditaklukan kaum Muslimin melalui tangan Dinasti Aghlabiyyah yang berkuasa di kawasan Tunis dan Aljazair saat itu pada masa Dinasti ‘Abbasiyah.
Ketiga, melalui Perang Salib yang merupakan proses pertukaran peradaban antara dua bangsa di Laut Tengah. Keempat, jalur perdagangan antara Barat dan Timur melewati Mesir sejak Dinasti Fathimiyyah berkuasa di negeri tersebut, dan menjadikan pusat politik, perdagangan serta budaya kelas pertama.
Kelima, jalur pendidikan seperti pendirian sekolah dan universitas Islam, dan penerjemahan karya-karya ilmuwan Muslim ke dalam bahasa latin. [Edithya Miranti]