Landasan Teologis
سَمّٰعُوْنَ لِلْكَذِبِ اَكّٰلُوْنَ لِلسُّحْتِۗ فَاِنْ جَاۤءُوْكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ اَوْ اَعْرِضْ عَنْهُمْۚ وَاِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَّضُرُّوْكَ شَيْـًٔاۗ وَاِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْن
“Mereka (orang-orang Yahudi itu) sangat suka mendengar berita bohong lagi banyak memakan makanan yang haram. Maka, jika mereka datang kepadamu (Nabi Muhammad untuk meminta putusan), berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka. Jika engkau berpaling, mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun. Akan tetapi, jika engkau memutuskan (perkara mereka), putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS Al-Maidah: 42)
Asbabunnuzul
Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan asbabunnuzul ayat 41-44 ini diturunkan untuk mereka yang terburu-buru dalam kekafiran, menyimpang dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, mendahulukan pendapat dan hawa nafsu mereka atas hukum-hukum Allah (yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: “Kami telah beriman“, padahal hati mereka belum beriman) yaitu mereka menunjukkan iman dengan lisan mereka, tetapi hati mereka sangat rapuh keimanannya.
Mereka orang-orang munafik. (Dan juga di antara orang-orang Yahudi) mereka semua itu musuh-musuh Islam dan para pemeluknya (mereka amat suka mendengar berita-berita bohong) yaitu mereka sangat suka dan senang mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah mendatangi majelismu, wahai Muhammad.
Interpretasi Para Mufasir
Dalam Tafsir Li Yaddabbaru Ayatih disebutkan bahwa makna سَمَّاعُوْنَ لِلْكَذِبِ yaitu mereka itu orang-orang yang suka mendengar berita bohong.
Jika orang yang suka mendengar berita bohong saja Allah mencelanya, maka bagaimana dengan kebohongan itu sendiri?
Begitu pun dengan ghibah, namimah, dan dusta; karena sesungguhnya kebohongan itu akan menimbulkan berbagai kerusakan yang amat banyak.
Sedangkan dalam Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah disebutkan, mereka terbiasa mendengarkan perkataan bohong sehingga itu menjadi tabiat mereka. Mereka orang-orang yang sangat serakah sehingga terbiasa memakan harta haram yang dapat menghilangkan keberkahan.
Kedua sifat ini menunjukkan keburukan akhlak mereka dan kebanggaan mereka terhadap kebatilan dan hal yang haram.
Sementara itu dalam Tafsir Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir disebutkan, makna (اَلسُّحْتُ) yakni harta haram. Disebut demikian karena ia menghilangkan ketaatan dan menghapus pahalanya. Pendapat lain mengatakan ia uang suap.
Dalam ayat ini disebutkan dua pilihan bagi Rasulullah, antara memutuskan perkara mereka atau berpaling dari mereka. Para ulama berijma’ bahwa wajib bagi para qadhi atau hakim Muslimin untuk memutuskan perkara antara orang Islam dan orang kafir dzimmy apabila mereka mengangkat perkaranya kepadanya.
Dalam Tafsir Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir juga disebutkan terdapat perbedaan pendapat dalam masalah perkara yang menyangkut dua orang kafir dzimmy yang mengangkat perkaranya. Pendapat pertama mengatakan wajib memutuskan perkara mereka, dan pendapat kedua mengatakan boleh memutuskan perkara mereka dan boleh juga menolaknya.
Apabila kamu memilih untuk berpaling dari perkara mereka maka mereka tidak akan memiliki jalan sedikitpun untuk memberimu marabahaya. Dan jika kamu memilih untuk memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah dengan adil.
Hal di atas dipertegas oleh firman Allah SWT:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisa: 29)
Ayat ini menekankan pentingnya keimanan untuk menjaga harta sesama agar tidak digunakan secara batil.
Dengan demikian, ayat di atas mengingatkan kita tentang pentingnya menegakkan hukum Allah dan menjauhkan diri dari perbuatan yang menyimpang, termasuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Ayat ini menekankan bahwa keimanan yang kokoh merupakan kunci utama mencegah perilaku tidak amanah dan tidak adil dalam masyarakat. Individu yang memiliki keimanan yang kuat akan menjalankan amanah, keadilan, dan transparansi dalam kehidupan, baik dalam urusan pribadi, sosial, maupun pemerintahan.
Oleh karena itu, pendidikan yang menguatkan nilai-nilai agama dan moral sangat penting untuk membentuk karakter yang jujur, bertanggung jawab, dan adil, sehingga korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dapat dikikis habis.
Nilai-Nilai Pendidikan
QS Al-Maidah: 42 mengandung sejumlah nilai-nilai pendidikan bagi manusia. Di antaranya, pertama, nilai keimanan. Keimanan yang kokoh akan menjadi fondasi moral yang kuat untuk mencegah perbuatan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Seseorang yang memiliki keimanan yang teguh kepada Allah akan selalu menjaga integritas dan kejujuran, karena ia meyakini bahwa segala tindakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Hal ini mengajarkan pentingnya membangun keimanan yang kuat sebagai dasar dalam mendidik generasi yang jujur dan bertanggung jawab.
Kedua, nilai tanggung jawab. Ayat ini juga mengingatkan kita tentang pentingnya memegang amanah dan kekuasaan dengan penuh tanggung jawab. Penyalahgunaan kekuasaan seringkali terjadi ketika seseorang merasa tidak ada yang mengawasi atau merasa kebal terhadap aturan. Namun, bagi seorang Mukmin, Allah selalu mengawasi segala tindakan manusia. Oleh karena itu, pemimpin atau siapa saja yang diberi kekuasaan harus selalu bertindak dengan adil, tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi, dan menjaga kepercayaan publik.
Ketiga, nilai adil. Dalam konteks ayat ini, ada penekanan terhadap keadilan sebagai aspek yang sangat penting dalam kehidupan sosial dan hukum. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan merupakan bentuk ketidakadilan yang dapat merusak tatanan sosial. Dengan menegakkan keadilan sesuai dengan prinsip Allah, setiap individu akan merasa dihargai dan hak-haknya dilindungi.
Landasan Teoretis
Makna Iman. Secara bahasa, iman berarti membenarkan (tashdiq), sementara menurut istilah adalah ”mengucapkan dengan lisan, membenarkan dalam hati dan mengamalkan dalam perbuatannya.”
Iman berdasarkan firman Allah di dalam Al-Qur’an:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْ نَزَّلَ عَلٰى رَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada Kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat jauh.” (QS An-Nisa’: 136)
Makna Pemimpin yang Sesungguhnya. Pemimpin dan kepemimpinan merupakan dua elemen yang saling berkaitan. Artinya, kepemimpinan merupakan cerminan dari karakter/perilaku pemimpinnya.
Kepemimpinan dalam Islam bukanlah sekadar jabatan atau kekuasaan, melainkan amanah besar yang diberikan oleh Allah SWT. Seorang pemimpin Muslim dituntut untuk menjadi teladan, mengayomi, dan membawa umat menuju kebaikan. Bukan menyalahgunakan jabatan yang dikuasai.
Korupsi. Korupsi diatur dalam 13 pasal Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan perubahannya yang kemudian dirumuskan menjadi 30 jenis tindak pidana korupsi. Ketiga puluh jenis tersebut disederhanakan ke dalam tujuh jenis tindak pidana korupsi, yaitu korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
MUI turut mengeluarkan fatwa mengenai korupsi pada Musyawarah Nasional tanggal 25-29 Juli 2000. Korupsi merupakan tindakan pengambilan sesuatu yang ada di bawah kekuasaannya dengan cara yang tidak benar menurut syariat Islam. Allah SWT berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَࣖ
“Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 188)
Dalam Tafsir Aisarut Tafasir disebutkan pelajaran dari QS Al-Baqarah ayat 188 sebagai berikut: Pertama, keharaman memakan harta Muslim dengan jalan yang tidak benar, baik dengan mencuri, merampas, menipu, berlaku curang ataupun pemalsuan.
Kedua, keharaman suap yang dibayarkan kepada hakim agar memberikan putusan yang tidak sesuai dengan kebenaran.
Ketiga, haram memakan harta orang kafir yang tidak memerangi umat Islam, seperti haramnya harta orang Muslim. Harta orang Muslim lebih haram untuk diambil berdasarkan hadis,”Setiap Muslim atas Muslim lainnya haram darah, jiwa, dan hartanya.” (HR Muslim)
Dan berdasarkan firman Allah Ta’ala, ”Dan janganlah kalian memakan harta di antara kamu…” (QS Al-Baqarah: 188), Allah Ta’ala menujukan pembicaraan kepada orang Muslim.
Penyalahgunaan Jabatan atau Wewenang
Penyalahgunaan jabatan atau wewenang merupakan tindakan yang dilarang dalam hukum administrasi negara dan merupakan salah satu unsur tindak pidana korupsi. Allah mengingatkan para penguasa jangan menyelewengkan jabatan dan amanah yang sedang dijalankan dalam firman-Nya:
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ اَنْ يَّغُلَّۗ وَمَنْ يَّغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيٰمَةِۚ ثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ
“Tidak layak seorang nabi menyelewengkan (harta rampasan perang). Siapa yang menyelewengkannya niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang diselewengkannya itu. Kemudian, setiap orang akan diberi balasan secara sempurna sesuai apa yang mereka lakukan dan mereka tidak dizalimi.” (QS Ali Imran: 161)
Lalu apa bahaya korupsi dan penyalahgunaan jabatan? Pertama, perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda:
… فَإِنَّ الْغُلُولَ عَارٌ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشَنَارٌ وَنَارٌ
“…(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya.” (HR Ibnu Majah)
Kedua, orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat jaminan atau terhalang masuk surga. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنْ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ
“Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga, yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang.” (HR Ahmad, No. 21291; At-Tirmidzi, No. 1572; An Nasaa’i dan Ibnu Majah)
Ketiga, Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi). Rasulullah SAW bersabda:
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi).” (HR Muslim)
Keempat, harta hasil korupsi haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat menghalangi terkabulnya doa. Rasulullah SAW bersabda:
وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ))
“Dia (Allah) juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari yang Kami rezekikan kepada kamu,” kemudian beliau (Rasulullah) Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menceritakan seseorang yang lama bersafar, berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan tangannya ke langit (seraya berdo’a): “Ya Rabb…, ya Rabb…,” tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana doanya akan dikabulkan? (HR Muslim)
Mencegah Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan
Bagaimana cara menguatkan keimanan untuk mencegah perbuatan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan? Pertama, menjaga amanah. Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul serta janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS Al-Anfal: 27)
Kedua, jujur. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا ، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
“Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhuma, ia berkata: Rasûlullâh SAW bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta (pembohong)’.” (HR Al-Bukhari No. 6094)
Ketiga, berlaku adil dan menjauhi korupsi, suap dan penyalahgunaan jabatan yang merupakan perbuatan mungkar. Allah SWT berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat.” (QS An-Nahl: 90)
Keempat, tidak mengikuti hawa nafsu yang akan menyesatkan pada jalan Allah. Allah SWT berfirman:
يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۢ بِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِࣖ
“(Allah berfirman,) ‘Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan Hari Perhitungan’.” (QS Shad: 26)
Kisah Teladan
Kasus korupsi Abdullah bin al-Lutbiyyah (atau Ibnu al-Lutbiyyah), petugas pemungut zakat di Bani Sulaim. Kasus ini terjadi pada tahun 9 H. Sebagai petugas pemungut zakat, dia menjalankan tugasnya di Bani Sulaim.
Sekembalinya dari bertugas, Ibnu al-Lutbiyyah melaporkan hasil penarikan zakat yang diperolehnya dan beberapa yang dia anggap sebagai hadiah untuknya (sebagai petugas).
Ibnu al-Lutbiyyah berkata kepada Rasulullah SAW, “Ini hasil pungutan zakat untukmu (Rasulullah/Negara), dan yang ini hadiah untuk saya.” Mendengar laporan ini, Rasulullah SAW menolak hadiah yang diperoleh saat seseorang menjadi petugas. Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu duduk saja di rumah bapak dan ibumu, apakah hadiah itu akan datang sendiri untuk kamu?” Kemudian, Rasulullah SAW langsung naik mimbar berpidato di hadapan orang banyak untuk memberitahukan ke publik tentang peristiwa ini.
Tindakan Nabi berpidato di hadapan publik membicarakan ketidakbenaran yang dilakukan oleh bawahannya ini dapat dikatakan bahwa Nabi SAW mempublikasikan tindakan koruptor di tempat umum agar menjadi pembelajaran bagi publik, dan agar seorang koruptor dan keluarganya malu dan jera dari tindakan korupsinya.
Demikianlah, praktik korupsi sudah ada sejak lama dan menjadi perbuatan yang sangat dibenci dan dikecam, termasuk oleh Rasulullah. Nabi bersikap sangat tegas kepada para “pejabat” bawahannya agar dalam bertugas selalu adil, jujur, dan amanah. Tidak boleh “aji mumpung”, mumpung sedang menjabat, mumpung sedang memiliki kewenangan, mumpung sedang diberi kepercayaan, lalu mengorupsi harta milik publik. Korupsi bisa berakar dari ketidakjujuran dan rendahnya sikap empati terhadap orang lain. Karena itu, sekecil apa pun dua sifat tercela ini mesti kita musnahkan dari diri.
اللَّهُمَّ اكْفِنِي بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR Tirmidzi) []