Berbicara tentang umat Islam berbicara tentang persatuan. Jika umat Islam sudah bersatu, apapun bisa diraih. Masalahnya, sudahkah umat Islam di Indonesia bersatu? Lantas bagaimana kondisi umat Islam andai persatuan umat urung terlaksana?
Tidak dapat dimungkiri, masyarakat mulai melek dengan politik. Pembicaraan politik, kini, tidak lagi didominasi oleh kalangan elite maupun terpelajar. Hari ini, pembicaraan politik banyak terjadi di warung kopi, pelataran pusat perbelanjaan, hingga di lahan parkir sebuah pasar.
“Yang penting, kita harus memilih orang yang mampu menyejahterakan rakyat,” seloroh obrolan khas warung kopi.
“Kalau dia cuma menyengsarakan rakyat, lebih baik tidak usah dipilih,” tambah rekannya berdiskusi tentang calon anggota legislatif atau eksekutif yang dapat menyejahterakan rakyat meski terkadang narasi tersebut cenderung bersifat imajinatif ketimbang realitas kenyataan.
Sehubungan dengan selesainya pelaksanaan pemilihan umum serentak 2019, tantangan umat di sejumlah bidang semakin nyata termasuk di bidang politik dan sumber daya manusia. Kehadiran umat dalam perpolitikan nasional juga berhasil membuat sejumlah pihak memandang hubungan antara Islam dan politik menjadi lebih positif.
Ada yang merasa, melek politik jadi pekerjaan rumah bersama sebagai hal penting dan ada pula yang merasa bahwa mengawal arah politik nasional maupun lokal jadi salah satu langkah penting dalam upaya menyejahterakan rakyat.
Begitu pula dengan agenda 212 yang terus menerus digembosi oleh banyak pihak entah mereka yang memenangi persaingan ataupun mereka yang kalah saat bersaing. Lantas Bagaimana nasibnya?
Tidak hanya itu, di tengah gemuruh wacana tentang militansi agama dalam kehidupan bangsa, terlintas pertanyaan reflektif, apakah peningkatan gairah keagamaan bisa berdampak negatif bagi perkembangan ekonomi-politik?
Dosen Ilmu Politik Institut Agama Islam Purwokerto, Lukman Rico Kashogi, mengatakan bahwa gerakan 212 bisa mendorong pergerakan-pergerakan sosial di berbagai lini. Meski demikian, ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak menginginkan gerakan 212 bermetamorfosis dari gerakan sosial keislaman menjadi gerakan politik praktis.
Bagi Lukman, surutnya jargon 212 juga tidak lepas dari fenomena gerakan sosial yang terjadi karena alasan tertentu yang sifatnya temporal. “Inilah mengapa di beberapa wilayah jargon 212 perlahan surut,” kata Lukman kepada Majalah Gontor.
“Bukan karena semangatnya menurun, tetapi karena gerakan ini muncul dari kesadaran dan semangat melawan diskriminasi dan ketidakadilan akut,” tambah Lukman.
Sebaliknya, gerakan 212 bisa diarahkan sebagai gerakan untuk mendorong elemen masyarakat agar mengontrol, mengawal dan mengevaluasi kebijakan publik. Kesempatan inilah yang seharusnya dijadikan komunitas 212 sebagai target gerakan selanjutnya.
“Nafas ini adalah peluang berharga untuk semacam memberikan lampu kuning kepada pelaku kebijakan publik yang tidak amanah sembari menjaga stabilitas demokrasi di dalam negeri,” ucapnya.
Lukman pun mendesak kepada seluruh pejabat publik agar mampu menyebarkan politik keteladanan. Para pejabat, wakil rakyat dan Presiden sekalipun harus tunduk kepada upaya menyejahterakan rakyat dan bukan abdi konglomerat. “Apalagi kepentingan superioritas politik oligarki dan politik materialistis-pragmatis,” pesan alumnus Institut Studi Islam Darussalam Gontor (sekarang Universitas Darussalam/UNIDA) itu.
Senada dengan Lukman, pakar politik UNIDA, Muhammad Latief, mengatakan gerakan 212 seharusnya bukan menjadi satu-satunya pergerakan keumatan yang ada di Indonesia. Gerakan-gerakan keumatan juga perlu “menyebar” ke bidang ekonomi, pendidikan hingga keagamaan. Keberadaan gerakan-gerakan keagamaan seperit hadirnya Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis dan lain sebagainya juga perlu digaungkan demi memperjuangkan cita-cita keislaman di Indonesia.
“Seharusnya, gerakan semacam ini bukan satu-satunya gerakan yang mampu menjadi determinasi di arena politik. Banyak sekali gerakan lain di bidang ekonomi, pendidikan dan keagamaan yang memperjuangkan cita-cita keislamaan sejak lama,” kata Latief kepada Majalah Gontor.
“Pekerjaan rumah bagi umat Islam mendatang adalah membentuk idetitas kolektif. Umat Islam harus bersatu padu untuk merealisasikan nilai-nilai keislaman di Indonesia,” tambahnya.
Secara lebih substantif, Latief meminta seluruh elemen umat Islam untuk bersatu padu dalam merealisasikan cita-cita umat islam. Bagi alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor tersebut, mempersatukan umat serta menyamakan persepsi antarumat merupakan isu politik paling penting yang dihadapi umat Islam di Indonesia. “Saya melihat isu persatuan dan persamaan antarumat Islam sebagai isu politik yang perlu mendapatkan porsi lebih dari masyarakat,” ujarnya.
Gairah Keislaman
Sementara itu, Cendekiawan Muslim, Yudi Latief, memberikan dua jawaban dalam menyikapi perkembangan gerakan keislaman di Indonesia. Bagi Yudi, gairah keagamaan bisa seketika menjadi motivasi seseorang untuk membentuk kepribadian, etika kerja, disiplin, kejujuran dan kebersahajaan.
Tetapi, di sisi lain, gairah keagamaan dapat juga menjadi bumerang di mana negara bisa menjadi lebih kaya tetapi sisi regiliusitas masyarakat bisa menurun.
“Konsep agama tentang ganjaran, hukuman dan kehidupan akhirat, bisa memberi motivasi yang kuat bagi perilaku pemeluknya,” jelas Yudi Latief kepada Majalah Gontor.
“Bila kepribadian ini bertaut dengan modal sosial dari pelayanan agama dan tradisi membaca kitab suci yang mendorong tingkat literasi dan pendidikan, maka meningkatnya keyakinan keagamaan bisa berdampak positif bagi perkembangan ekonomi-politik,” tambah Yudi.
Pria kelahiran Sukabumi 55 tahun silam itu menjelaskan, semangat ini seharusnya didukung dengan kerangka institusional. Pasalnya, tingginya keyakinan keagamaan di dunia Islam tidak mendapatkan dukungan transformasi institusional.
Problem yang Yudi sampaikan juga mengingatkan kita bagaimana kemunduran dunia Islam dalam obsesi stabilitas kerap kali terjadi karena mereka menghindari keterbukaan dan pemikiran kritis. Padahal, di saat yang bersamaan, dunia Barat mulai memasuki revolusi industri yang menuntut kebaruan institusi-institusi sosial-ekonomi.
“Akibatnya, umat Islam tak siap merumuskan institusi legal dan regulasi, kredit, asuransi dan kontrak, serta pengembangan struktur korporasi yang dapat menopang arus industrialisasi,” tuturnya.
Sementara itu, perkembangan politik yang sedemikian dinamis juga tidak dapat dikesampingkan karena juga akan berdampak langsung terhadap agama. Yudi mengkritisi sebuah fenomena di banyak negara kaya yang justru tingkat keagamaan masyarakatnya cenderung menurun.
“Meski ada pengecualian bagi beberapa negara (terutama di dunia Muslim) karena konteks khusus dari watak sekularisasi dan religiusitasnya,” kata peraih gelar doktor bidang Sosiologi Politik dari Australian National University (ANU) itu.
Yudi juga mengkhawatirkan jomplangnya tingkat pendidikan yang tidak diikuti dengan peningkatan ekonomi. Kondisi tersebut akan melahirkan apa yang disebut oleh Rachel M McCleany & Robert J Barro dalam buku “The Wealth of Religions: The Political Economy of Believing and Belonging” sebagai kelompok under-utilizied human capital atau sumber daya manusia yang tidak termanfaatkan.
“Orang-orang ini adalah orang terdidik dengan ekspektasi mobilitas vertikal dan mendapati peluang usaha dan kerja yang menyempit. Jika tidak ditangani, mereka bisa berpaling pada kelompok-kelompok militan sebagai sumber keyakinan, identitas diri dan jaminan sosial,” jelasnya. []