Bagi warga Jakarta, Masjid Luar Batang sudah tidak asing lagi. Selain sebagai salah satu cagar budaya, masjid ini memiliki sejarah yang menarik untuk disimak, khususnya kisah keteladanan pendirinya, yaitu Habib Husein bin Abubakar bin Abdillah al-Aydrus.
Menurut buku catatan sejarah, Habib Husein bin Abubakar al-Aydrus adalah keturunan Hadramaut yang hidup dalam kesederhanaan. Ia lahir dalam kondisi yatim piatu dan diasuh seorang sufi yang alim. Pada usianya masih belia, ia diutus gurunya hijrah ke Tanah Gujarat (India Utara) yang waktu itu tertimpa musibah kekeringan dan wabah penyakit.
Dengan izin Allah, Habib Husein berhasil mendatangkan hujan dan membawa kesehatan bagi masyarakat setempat. Karena jasa-jasanya itu, Habib Husein diminta untuk menjadi pemimpin masyarakat di sana, namun Habib menolak dengan alasan masih akan melanjutkan perjalanan ke Batavia.
Sesampai di Batavia, Habib Husein singgah di sebelah barat Ciliwung dan membangun sebuah surau kecil di sana. Suatu saat datang tawanan Belanda yang kabur karena hendak dihukum mati. Ketika tentara VOC datang, Habib Husein membelanya, bahkan siap menggantikannya. Karena segan, Belanda pun meninggalkan tawanan itu.
Buronan itu akhirnya menjadi seorang Muslim, sekaligus menjadi murid pertamanya Warga keturunan Cina itu kemudian diberi nama Abdul Kadir yang dikenal bernama Haji Abdul Kadir bin Adam. “Kini makam keduanya saling berdekatan,†ujar Sulaeman, Pengurus Masjid Luar Batang.
Bangunan peninggalan Masjid Luar Batang ini sudah mengalami perubahan hampir 90 persen. Tapi bukan berarti nilai historisnya hilang ditelan masa. Setelah Gubernur DKI Jakarta meresmikan bangunan tersebut sebagai cagar budaya (1996), sebagian benda-benda sejarah itu direnovasi dengan sentuhan arsitektur modern.
Pengunjung Masjid Luar Batang masih bisa mendapatkan air sumur tua yang kini dikemas dalam bentuk gentong hitam besar. Letaknya berada di samping pintu masuk makam Habib Husein. Masuk sedikit ke teras masjid, jamaah akan melihat tempat makam Habib Husein beserta muridnya Haji Abdul Kadir yang ditutup kain hijau bertuliskan Arab.
Pengunjung akan semakin heran ketika masuk di ruang utama masjid. Di sana terdapat 12 pilar utama yang berdiri kokoh, tetapi sama sekali tidak menyentuh atap masjid. Menurut Sulaeman, ke-12 pilar berwarna putih dengan garis hijau itu sengaja tetap dibiarkan berdiri di sana untuk melestarikan bangunan masjid lama.
Masjid Luar Batang berada di tengah-tengah pemukiman penduduk. Bentuk arsitekturnya khas masjid tua di pulau Jawa sebelum abad ke-20—tanpa kubah setengah lingkaran dan menara dengan bulan-bintang di atasnya. Hanya ada atap lancip atau sebuah cungkup seperti bangunan Hindu Jawa.
Masjid ini berbentuk segi empat bujur sangkar yang ditopang dengan soko guru yang masih asli serta beratap tumpang, dan di sebelah utara terdapat Ruang Keputren. Masjid ini dikelilingi tembok dengan pintu gerbang terletak di sisi timur. Di bagian depan terdapat pelataran. Sebelah kanan pelataran ada tempat wudhu.
Sisi kanan pelataran terdapat kentongan, sisi kiri terdapat ruangan pawestren. Sebelum masuk ruang utama terdapat serambi. Ruang utamanya berbentuk persegi empat yang di dalamnya terdapat tiang, mihrab, dan mimbar. Di sisi kirinya terdapat ruangan tempat Habib Husein bin Abubakar al-Aydrus dan Haji Abdul Kadir bin Adam disemayamkan.[Fathurroji NK]