“Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social,” demikian bunyi salah satu kalimat yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Peran Indonesia sebagai negara yang berdaulat sangatlah penting, terlebih dalam melaksanakan ketertiban dunia. Tidak memandang suku, etnis, maupun agama, termasuk dalam membela harkat dan martabat etnis Uighur atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang mereka alami dari Pemerintah Cina.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, sudah saatnya Indonesia bersuara lantang atas pelanggaran HAM yang dilakukan Cina terhadap etnis Uighur. Hal tersebut bukan karena mereka merupakan mayoritas Muslim akan tetapi karena mereka manusia yang harkat dan martabatnya harus dijaga.
Jangan hanya karena ketergantungan Indonesia atas investasi Cina, kemudian Pemerintah Indonesia diam seolah tidak pernah ada masalah yang terjadi di Turkistan Timur atau Xinjiang.
Jangan pula, karena masalah ekonomi, Indonesia menjadi takut dan enggan untuk bersuara atau menyuarakan kebenaran terhadap penindasan, pengucilan serta diskriminasi yang dirasakan saudara-saudara kita di Xinjiang, Cina, dan jika diam adalah langkah yang terus diambil oleh Indonesia maka sesungguhnya iman kita sebagai Muslim dan sebagai bangsa sangatlah lemah.
Pelanggaran kemanusiaan terhadap Etnis Uighur adalah kebenaran yang harus diakui, meskipun Pemerintah Cina terus berupaya menyembunyikan kejahatannya terhadap etnis Uighur.
Jika organisasi Islam di Indonesia, yang berusaha mencari fakta dan kebenaran dari kondisi masyarakat Uighur di kamp konsentrasi, namun justru tidak menemukan pelanggaran, hal tersebut wajar saja terjadi. Pasalnya, Cina akan terus berupaya dengan segala cara termasuk menyesuaikan kondisi lapangan, sehingga kejahatannya terhadap Uighur akan tetap aman.
Akan tetapi, jika kita coba tanyakan pada hati nurani, kebenaran tentang hal itu, tentu hati nurani akan mengatakan bahwa pelanggaran HAM benar-benar terjadi di Xinjiang.
Fakta lapangan sebagaimana diberitakan oleh media-media internasional khususnya media Barat, jelas mengatakan bahwa Cina telah melakukan kejahatan, penindasan dan diskriminasi terhadap etnis Uighur dengan mengumpulkan mereka di kamp konsentrasi dengan tujuan untuk menghilangkan akidah dan keyakinan mereka sebagai Muslim.
Pemberitaan di media Barat yang sesuai dengan fakta lapangan tidak terlepas dari kemudahan akses yang memang mereka peroleh, dan berbanding jauh dengan ormas di Indonesia yang justru menganggap bahwa tidak terjadi pelanggaran kemanusiaan di Xinjiang.
Penindasan terhadap Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, Cina, harus dihentikan. Umat Islam di seluruh dunia harus bergandengan tangan memberikan bantuan bagi etnis Muslim Uighur.
Selain itu dalam deklarasi Hak Asasi Manusia dan International Convenant on Social and Political Rights, setiap manusia memiliki kebebasan dalam memeluk agamanya. Demikian dengan Muslim Uighur, dan mereka berhak menjalankan ajaran agamanya.
Sekali lagi, penyiksaan, pengucikan dan pelarangan menjalankan ajaran agama yang dirasakan etnis Uighur adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan hukum internasional. Untuk itu, penindasan tersebut harus segera dihentikan.
Pemerintah Cina harus segera menghentikan pelanggaran HAM yang telah diketahui masyarakat luas terhadap etnis Uighur. Selain itu, Cina juga tidak bisa melakukan generalisasi terhadap persoalan Uighur, artinya jika ada satu atau dua yang dianggap melakukan saparatis tidak lantas Cina memenjarakan mereka dan melakukan diskriminasi.
Dan apabila Pemerintah Cina tidak juga mau mengakui atau menghentikan pelanggaran HAM tersebut maka harus dibentuk Tim Pencari Fakta Internasional yang melibatkan banyak pihak. []