Satu banding seribu. Mungkin ini ungkapan yang tepat untuk Dr KH Ahsin Sakho Muhammad MA, seorang pakar qiraat sab’ah Indonesia. Lahir dari keluarga pecinta Al-Qur’an putra KH Muhammad dan Nyi Umi Salamah ini sejak kecil sudah menunjukkan bakatnya di bidang Al-Qur’an.
Bahkan sejak duduk di kelas IV SD, tiga juz Al-Qur’an, juz 28, 29, dan 30 sudah dihafalnya. Pendidikan dasarnya didapatnya di SD dan SMP Arjawinangun-Cirebon. Sedangkan dasar-dasar ilmu agama didapatnya dari pesantren milik keluarganya.
Setamat SD pria kelahiran Arjawinangun, 21 Februari 1956 ini melanjutkan studinya di Pesantren Lirboyo, Kediri, sambil belajar di SMU. Hidupnya terus diisi dengan kegiatan produktif. Keinginan kuat untuk mendalami Al-Qur’an membawanya untuk meneruskan di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta dan KH Arwani di Kudus. Namun baru berjalan sekitar dua bulan keluarganya memintanya pulang ke Cirebon untuk menyiapkan keberangkatannya ke Mekkah.
Bulan Agustus 1976 menandai era baru dalam hidupnya. Ia berangkat ke Arab Saudi untuk mendalami ilmu-ilmu agama sebagaimana cita-cita orangtuanya. Ia mengaji Al-Qur’an di Masjidil Haram di bawah bimbingan Syekh Abdullah Al-Arabi seorang Mesir yang didatangkan oleh Jamaah Tahfizh Al-Qur’an. Sedangkan sore harinya dilaluinya untuk menuntut ilmu di Markaz Talim al-Lughah al-Arabiyyah.
Pada 1977 ia berangkat ke Madinah al-Munawarah untuk mengikuti kuliah di Fakultas Kulliyatul-Qur’an wa Dirasah Islamiyyah dari Al-Jami`ah Al-Islamiyah. Di situ semua berjalan lancar tanpa hambatan. Apalagi ia mendapat beasiswa 200 dolar atau 775 reyal per bulan sebagai penghargaan bagi mereka yang mempelajari dan menghafal Al-Qur’an.
Setamatnya dari pendidikan kesarjanaan, ia melanjutkan ke program pascasarjana di universitas yang sama mengambil Jurusan Tafsir dan Ilmu Al-Qur’an selesai pada 1987. Sedangkan gelar doktor diraihnya dengan predikat cumlaude pada 1989.
Praktis selama 12 tahun, sejak 1977, ia menghabiskan masa mudanya di Jam’iyyah Al-Islamiyyah, Madinah. “Waktu itu saya fokus belajar dan menghafal tanpa memikirkan ke depannya mau jadi apa,” ungkapnya kepada Majalah Gontor.
Usai belajar di Madinah, ia kembali mengajar di Pondok Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, yang diasuh oleh pamannya, KH Ibnu Ubaidillah. Namun, karena penguasaannya yang mendalam tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an menarik perhatian banyak kalangan.
Pada 1992 ia diajak oleh KH Syukron Makmun, pengasuh Pondok Pesantren Darul Rahman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk ikut mendirikan Institut Islam Darul Rahman. Pada tahun itu juga ia mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) dan di Institut Agama Islam Negeri (kini Universitas Islam Negeri, UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Beberapa tahun kemudian ia diangkat sebagai pengajar tetap di perguruan tinggi tersebut hingga kini.
Selain dipercaya sebagai ketua Tim Revisi Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Departemen Agama, ia menjadi Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ), Jakarta (2005-2014) dan hingga kini ia menjadi pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Qur’an dan Dewan Penasihat Pondok Pesantren Dar Al Tauhid di Arjawinangun, Cirebon, untuk mencetak para penghafal Al-Qur’an dan para generasi Qur’ani. Keahliannya dalam ilmu Al-Qur’an membawa berkah tersendiri. Selama beberapa tahun belakangan, setiap Ramadhan ia diundang ke Inggris untuk menjadi imam shalat Tarawih di London dan kota-kota lainnya.
Di antara karyanya selain buku Manbaul Barakat fi Sabil Qiraat, Oase Al-Qur’an Penyejuk Kehidupan, juga ada buku Menghafal Al-Qur’an: Manfaat, Keutamaan, Keberkahan, dan Tuntunan Praktisnya.
Menurutnya, menjaga kemurnian Al-Qur’an merupakan tugas mulia dan baginya berkembangnya pengajian mengenai qiraat dan pendalaman ilmu-ilmu Al-Qur’an merupakan salah satu obsesinya yang terus diupayakan secara serius.
Itu sebabnya selain menulis buku dan mengajar di perguruan tinggi Islam di ibukota, putra pasangan KH Muhammad dan Nyi Umi Salamah ini berela hati pulang pergi Jakarta-Cirebon untuk mengisi pengajian di kampung halamannya. Ya. Setiap Ahad pagi ia menyelenggarakan pengajian qiraat warasy, yang diikuti para guru Al-Qur’an dari wilayah Cirebon dan sekitarnya. “Senin sampai Kamis di Jakarta, hari-hari lain mengajar di Cirebon,” ungkapnya kepada Majalah Gontor.
Sebelumnya, materi yang diberikan mencakup semua qiraat mutawatir yang dikenal sebagai qiraat sab`ah. Tetapi karena dipandang terlalu berat, dan menyulitkan mereka yang belum memiliki bekal yang memadai, pengajian ini lalu difokuskan pada salah satu qiraat saja. Dan itu adalah qiraat warasy. Di masa sekarang, model pengajian yang memberikan materi pendalaman berbagai macam qiraat seperti ini terbilang langka.
Mereka yang berminat mempelajarinya pun tidak banyak. Padahal, materi ini sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga cara membaca Al-Qur’an yang tepat. Di tengah kesibukannya mengajar, baik di Cirebon, Jakarta, maupun di luar negeri, ia masih berusaha untuk merampungkan buku tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, sebagai salah satu syarat untuk pengangkatannya sebagai guru besar. ”Sudah selesai saya tulis, tinggal dibukukan,” ujarnya. [Muhammad Khaerul Muttaqien]