Memasuki pertengahan Agustus 2020, pandemi Covid-19 telah menyentuh lebih dari 21 juta kasus dan 760 ribu kematian. Mereka berasal dari 213 negara di lima benua. Satu kondisi yang terbilang mengerikan dari sisi jumlah dan cakupan wilayah wabah. Pandemi juga telah berdampak luar biasa bagi perekononiam dunia dan negara-negara terdampak. Ancaman resesi bahkan depresi sudah di depan mata. Hatta negara sekuat Singapura, Korea Selatan, AS pun sudah merasakannya.
Bagaimana dengan Indonesia? Presiden Jokowi dan Menkeu Sri Mulyani sudah menyampaikan kondisi faktualnya. Dalam dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi nasonal mengalami kontraksi luar biasa. Keduanya minus, bahkan angka kuartal II sudah -5,2%. Sementara gelombang pertama pandemi belum selesai, gelombang kedua sudah menerjang seperti gelombang. Tak kurang dari Presiden Jokowi sendiri menyatakan: ngeri dan khawatir (Detikcom, 9/7/2010).
Bagaimana dengan pendidikan? Imbasnya sudah dirasakan oleh peserta didik (siswa dan mahasiswa), orangtua peserta didik, para pendidik (guru dan dosen), hingga lembaga pendidikan (mulai dari TK, SD, SLTP, SLTA hingga perguruan tinggi). Semua ikut sibuk dan repot dengan pembelajaran daring (online). Bagi mereka yang tinggal di perkotaan, pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak banyak mengalami kendala. Tetapi, bagi wilayah perdesaan dan terpencil, atau kalangan yang gaptek atau belum mampu mengakses perangkat internet dan media cyberspace, e-learning masih menjadi tantangan besar nan memberatkan.
Namun begitu, selalu ada hikmah di balik setiap kejadian. Begitu pun dengan pandemi coronavirus. Terlepas dari hal-hal negatif, yang dirasakan dan dikeluhkan masyarakat, pandemi sejatinya telah membuka banyak harapan dan peluang baru. Wabah ini telah memaksa orang untuk mengubah cara dan budaya belajar di tanah air. PJJ atau e-learning tiba-tiba menjadi pilihan dan kebutuhan. Tak hanya di perkotaan, melainkan juga pelosok tanah air. Kebijakan social distancing dan work from home, baik selama PSBB maupun masa transisi seperti sekarang, mengharuskan anak-anak tetap belajar dari rumah.
Sebelum ada pandemi coronavirus, tak pernah terbayang e-learning dapat berlaku masal dan massif di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kini, pembelajaran online bahkan juga telah menjadi kebutuhan orang tua. Khususnya orang tua/wali siswa di pendidikan dasar dan menengah. Mereka dipaksa keadaan untuk terlibat mengawal anak-anaknya belajar dari rumah. Tak sedikit orang tua terpaksa harus belajar berbagai aplikasi e-learning, dengan segaka konsekuensinya. Jika orang tua abai, PJJ sulit dapat berjalan baik, lancar dan efektif. Sementara itu, bagi orang tua dari mahasiswa umumnya tak lagi direpotkan oleh hal-hal teknis. Mereka, boleh jadi, hanya direpotkan oleh kenaikan biaya koneksi internet dan perangkat media daringnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, pun mengakui adanya situasi yang memaksa. Dalam acara Mata Najwa (5/8/2020), Nadiem mengatakan: “pembelajaran jarak jauh bukan kebijakan yang kami inginkan. Kami terpaksa melakukan PJJ.’’ Maka, dia mafhum bila banyak pihak ikut terdampak. Keadaan telah memaksa mereka harus beradaptasi terhadap format pembelajaran yang berbeda total dari kebiasaan atau kondisi normalnya.
Di mata Mendikbud Nadiem, adanya pandemi yang mengakibatkan krisis kesehatan memberikan dua pilihan: masih ada pembelajaran walaupun diakui tidak optimal, atau tidak ada pembelajaran sama sekali. Masalahnya, jika pembelajaran dihentikan akan memberikan risiko yang sangat besar bagi negara dan bangsa.
Sebagai sampel, untuk sekadar ilustrasi adanya perubahan budaya pembelajaran di lingkup perguruan tinggi, hasil riset berikut dapat mengungkap fakta lapangannya. Penelitian Farah Chalida, Mia Hermaliana dan Siti Aminah (Jurnal Reslaj Vol 1 No 1, Agustus 2019) menemukan literasi e-learning dari dosen dan mahasiswa di IAI-N Laa Roiba Bogor, masih di bawah 10%. Enam bulan kemudian, setelah adanya pandemi Covid-19, literasi e-learning sudah mencapai 91%. Jika sebelum pandemi, dosen baru memperkenalkan konsep e-learning sebatas penggunaan google classroom. Kini, civitas akademika kampus ini sudah memiliki banyak media pilihan. Menurut Survey LPPM Laa Roiba Juli-Agustus 2020, yang paling popular adalah kombinasi antara google classroom & zoom meeting (31%) serta google clasroom & google meet (20%). Sementara google classroom dipilih oleh sekitar 13,5% responden. Sisanya, menggunakan wag (10%), zoom (7.2%), e-mail/mailing-list (5%), medsos (3,6%), dan lainnya (9,7%).
Survey tersebut juga mengungkap 93% responden mengetahui e-learning dapat menjadi sarana belajar yang baik untuk mengatasi kendala tempat dan waktu. Kemudian, ada 89% mengaku senang belajar dengan e-learning. Tetapi, baru 59% responden yang menyadari e-learning dapat menjadi sarana pembelajaran yang murah dan efektif. Sekitar 90% responden mengaku untuk aktivitas e-learning, mereka harus menambah biaya koneksi internet sekitar Rp 50-100 ribu. Dan, 79% civitas akademika setuju e-learning diberlakukan selama pandemi.
Sementara itu, Pimpinan Ponpes Darunnajah, Dr KH Sofwan Manaf, mengakui pembelajaran daring dapat digunakan untuk meningkatkan sisi kognitif siswa. Namun, belum menyentuh aspek afektif dan psikomotorik peserta didik. Setidaknya, permasalahan ini dialami oleh Ponpes Darunnajah Jakarta (Majalah Gontor, Agustus 2020). Untuk alasan itulah, sejumlah pondok pesantren di Indonesia memilih kembali menerapkan pembelajaran tatap muka pada masa transisi menuju new normal.
Seperti banyak disoroti media massa, kalangan pondok pesantren terbilang berani ambil risiko. Sejumlah pondok, akhirnya memilih untuk mengaktifkan kembali kegiatan mondok bagi para santrinya. Salah satu contohnya Pondok Modern Gontor, dengan 21 kampus yang disebar di 21 provinsi di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Sempat diharu biru oleh adanya kasus positif di kampus Gontor 2 di Ponorogo, Jawa Timur, kini semuanya sudah dinyatakan sembuh. Mereka — dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan — kembali dapat beraktivitas bersama teman-temannya di pondok. Disaksikan oleh banyak pihak, termasuk unsur pimpinan pemerintahan daerah setempat, sudah ada deklarasi seluruh santri Gontor bebas covid-19 pada 4 Agustus 2020 (Gontornews, 3/8/2020).
Cara daring atau tatap muka, kegiatan belajar memang harus berlanjut. Waktu dan kesempatan membina generasi masa depan akan hilang jika kegiatan belajar mengajar terhenti karena alasan Covid-19 masih mewabah. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, ikut mendorong negara-negara terdampak untuk kembali membuka aktivitas sekolah. Dia khawatir, penutupan sekolah dan aktivitas pendidikan dapat mengancam kualitas generasi masa depan. Menurutnya, ada lebih dari 1 miliar siswa dari 160 negara di dunia terpengaruh oleh kebijakan lockdown. Sementara 40 juta siswa lainnya berpotensi mengalami ketinggalan pembelajaran di sekolah (Reuters, 4/8/2020).
Sejatinya, menjamin keberlanjutan kegiatan belajar mengajar adalah bagian amanah pembangunan nasional dan konstitusi negara. Bukankah tujuan pendidkan nasional, sebagaimana diamanatkan oleh UUD ’45 dan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab. Dalam konteks agama, kegiatan pendidikan adalah amanah dari maqashid syariah (tujuan diturunkannya syariat agama), yaitu, menjaga lima maslahat: agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Terutama maslahat agama, maslahat jiwa (kesehatan), maslahat keturunan (untuk menyelamatkan generasi), dan maslahat akal (membina kecerdasan).
Akhirnya, agar siswa dan mahasiswa Indonesia dapat merdeka belajar, semua pemangku kepentingan pendidikan nasional dituntut bahu-membahu bersinergi sehingga mampu menghadirkan sistem dan model pembelajaran daring yang terjangkau semua pihak, serta dapat berjalan secara efektif dan efisien.