Disertasi Dr Erma Pawitasari EdMs
Pendidikan karakter merupakan istilah baru yang digunakan untuk menggantikan posisi pendidikan moral dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan moral dianggap telah gagal. Salah satu indikasinya adalah tindak kriminalitas di kalangan pelajar maupun umum yang terus meningkat.
Pemerintah Indonesia bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) meyakini bahwa pendidikan karakter dapat dijadikan solusi permasalahan moralitas bangsa.
Sejatinya, pendidikan tidak dibatasi pada penguasaan ilmu pengetahuan kognitif-teoritis-akademis semata, melainkan terkait dengan pembinaan keimanan, ketakwaan, dan akhlaq mulia.
Senada dengan ini, David Carr mengatakan, “All education—not just moral education—is a value-laden matter,” (Segala aspek pendidikan—tidak hanya pendidikan moral—secara instrinsik mengandung nilai). Sayangnya, makna pendidikan yang seperti ini telah dikaburkan oleh fakta pendidikan yang hanya menekankan aspek kognitif-teoritis-akademis.
Dr Erma Pawitasari dalam disertasi yang dibimbing oleh Nanang Fattah dan Endin Mujahidin menegaskan bahwa pembinaan karakter bangsa melalui program pendidikan karakter pada satuan pendidikan merupakan suatu niatan baik yang patut dihargai.
“Perilaku dan nilai-nilai bangsa Indonesia yang kian jauh dari Islam memerlukan tindakan cepat untuk dicari obatnya,” ujarnya. Solusi yang ditawarkan harus bersifat komprehensif dan sesuai dengan nilai-nilai Islam agar tidak menjadi bumerang bagi umat Islam.
Oleh karena itu, mantan guru Bahasa Inggris Cambridge, salah satu SMAN Unggulan di Jakarta Timur ini, tertarik untuk menganalisis dan mengkritisi konsep pendidikan karakter yang ditawarkan Kemdikbud agar tidak menyimpang dari konsep pendidikan nilai dalam Islam.
Agama Islam sangat menekankan pendidikan nilai karena merupakan inti dari pendidikan Islam. Pendidikan Islam adalah pendidikan tentang nilai-nilai Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Islam tidak mengenal pemisahan pendidikan nilai dari pendidikan umum karena ilmu pengetahuan sebenarnya hanya satu dan berasal dari Allah SWT.
Islam menggunakan istilah “akhlaq” untuk mendeskripsikan karakter. Karakter atau akhlaq adalah kondisi stabil jiwa yang menyebabkannya melakukan perbuatan secara spontan dan merasa ringan, tanpa perlu dipikirkan atau ditimbang-timbang terlebih dahulu.
Apabila karakter atau akhlaq tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam, maka ia disebut karakter islami atau akhlaq mulia (akhlaqul karimah). “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. QS. Al-Ahzab: 21.
Menurut putri kelahiran Sragen, 23 Maret 1977 ini, metode pendidikan karakter Islami mencakup enam prinsip dasar, yakni menjadikan Allah sebagai tujuan, memperhatikan perkembangan akal rasional, memperhatikan kecerdasan emosi, mempraktikkan akhlak mulia melalui keteladanan dan pembiasaan, memperhatikan pemenuhan kebutuhan hidup, dan menempatkan nilai sesuai prioritasnya.
Berbeda dengan Kemdikbud memaknai pendidikan karakter sebagai penanaman kebiasaan baik, sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa. Esensi pendidikan karakter sama dengan pendidikan moral, dengan tambahan keteladanan dan pembiasaan.
Selain itu, program Kemdikbud tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan program-program sebelumnya, seperti pendidikan moral dalam pelajaran Pendidikan Moral Pancasila dan P4 pada masa Presiden Soeharto maupun program Character Building masa Presiden Soekarno. Kemdikbud menyatakan bahwa pendidikan pada masa-masa terdahulu tidak diikuti dengan keteladanan dan pembiasaan.
Pendidikan karakter Kemdikbud menggunakan acuan nilai yang tidak seragam dan relatif. Acuan nilai yang disebutkan dalam sebagian buku adalah konsensus nasional, yaitu Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen NKRI.
Sedangkan dalam buku yang lain adalah agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Pada buku yang lain lagi adalah agama, Pancasila, UUD 45, UU Sisdiknas, teori ilmiah, dan pengalaman di lapangan.
“Selain inkonsisten, standar yang dijadikan acuan nilai bersifat relatif. Akhirnya, para pendidik menggunakan standar nilai mereka masing-masing,” kritik dosen terbang jebolan Universitas Ibn Khaldun ini.
Tidak habis disitu, pendekatan yang diambil Kemdikbud dalam pendidikan karakternya adalah indoktrinatif, walaupun Kemdikbud mengatakan menolak indoktrinasi.
Nilai-nilai relatif yang bersumber pada standar masing-masing guru ini diberitahukan dan harus diterima oleh siswa tanpa proses diskusi atau dialog.
Pendidikan karakter yang dicanangkan Kemdikbud dilakukan secara integratif dalam semua mata pelajaran. Namun, integrasi nilai-nilai pembentuk karakter dalam kurikulum baru sekedar tempelan dan dipaksakan. Sistem evaluasinya pun masih sekedarnya dan berarti apa-apa dalam penentuan kelulusan.
Berdasarkan studi kritis ini, Erma mengungkapkan, ”Secara konten, pendidikan karakter Kemdikbud membuka peluang berbagai interpretasi. Lembaga pendidikan Islam dapat memanfaatkannya untuk mengajarkan akhlak, namun lembaga pendidikan sekular pun dapat memanfaatkannya untuk mensekularkan bangsa Indonesia.
Bahkan, kaum Agnostik dan Atheis pun dapat perlahan-lahan masuk sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat sekular Barat.” Konten terbuka seperti ini berbeda dengan konten pendidikan Islam yang memiliki sumber pasti, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Secara metode, pendidikan karakter yang indoktrinatif tanpa membedakan usia bertentangan dengan perintah agama yang sangat memperhatikan dan mengembangkan rasionalitas.
Islam sendiri merupakan kebenaran indoktrinatif dari wahyu Ilahi, namun wajib diajarkan secara rasional. Islam menempatkan akal sebagai sasaran pendidikan nomor satu, sebab melalui akal ada keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dapat masuk ke dalam jiwa seseorang.
Konsep pendidikan karakter Kemdikbud yang menunjukkan kecenderungan pada konsep sekular ini membawa tiga implikasi. Pertama, masyarakat merasa apatis dengan program-program pemerintah terkait perbaikan moral yang sering terbukti tidak membawa perubahan.
Kedua, kondisi karakter bangsa akan kian merosot. Ketiga, pendidikan karakter berbasis relativitas nilai hanya akan menjadi pemborosan, baik dari sisi dana masyarakat maupun SDM. Keempat, pemerintah memerlukan program pendidikan karakter yang lebih tepat.
Berdasarkan hasil analisis dan temuan-temuan penelitian, doktor lulusan SMPN 1, Mojokerto ini, mengajukan beberapa rekomendasi menarik, yaitu:
Pertama, pemerintah memerlukan program pendidikan karakter berbasis keimanan. Kedua, pemerintah berkewajiban untuk mengembalikan penggunaan istilah ‘akhlaq mulia’ menggantikan istilah ‘karakter’.
Ketiga, pemerintah segera membenahi jajaran birokrasi agar dapat menjadi teladan bagi masyarakat. Keempat, pemerintah segera melaksanakan perintah syari’at Islam agar masyarakat terbiasa dengan ajaran-ajaran agama (prinsip pembiasaan dalam pendidikan karakter).
Kelima, pemerintah segera membenahi akhlaq para guru agar dapat menjadi teladan bagi peserta didik (dan masyarakat pada umumnya).
Keenam, pemerintah berkewajiban membuat standar evaluasi/penilaian akhlaq yang layak untuk dijadikan kriteria utama kenaikan kelas/kelulusan. Kepemilikan ijazah sekolah harus merepresentasikan kemampuan berperilaku yang memenuhi standar minimal dari segi akhlaq.
Ketujuh, lembaga-lembaga pendidikan Islam hendaknya tidak ikut-ikutan mengganti program akhlaq mulia yang selama ini ada dengan program pendidikan karakter sekular. [Edithya Miranti]