“Kalau lembaga pendidikan di luar negeri mau menerima lulusan pesantren, kenapa lembaga pendidikan di dalam negeri tidak mau? Di mana letak salahnya?” Demikian kira-kira komentar Menristek B. J. Habibie pada kunjungannya ke Pondok Modern Darussalam Gontor tahun 1994 silam.
Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 di Republik ini mengantarkan Habibie menjadi Presiden Republik Indonesia ke-3. Reformasi juga membawa angin segar bagi dunia pesantren, terutama pesantren dengan sistem muallimin.
Terbentuknya Kabinet Reformasi Pembangunan pada 23 Mei 1998 seperti membuka peluang dan harapan baru bagi pesantren. Prof. Abdul Malik Fadjar, M.Sc dipercaya menjadi Menteri Agama dan Dr. H. Husni Rahim sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Islam.
Reformasi menjadi lokomotif perubahan, tak terkecuali pesantren dengan sistem muallimin seperti Gontor yang saat itu belum diakui oleh pemerintah sebagai lembaga pendidikan formal yang ijazahnya bisa digunakan untuk masuk ke perguruan tinggi swasta dan negeri. Uniknya, ijazah Gontor justru diakui oleh perguruan tinggi di Timur Tengah.
Setelah melalui proses panjang, pimpinan Gontor dipanggil ke kantor Kementerian Agama di Jakarta pada tahun 1998 terkait sistem Pendidikan muallimin di Gontor. Hadir pada saat itu KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA, Dr. Amal Fathullah, KH. Imam Badri, dan Drs. M. Akrim Mariyat. Hingga kemudian lahirlah draf tentang pengakuan sistem muallimin oleh Kemenag.
Awalnya draf yang ada menyebut bahwa Madrasah Kulliyatul Muallimin Islamiyah ada jangka waktunya yaitu 5 tahun. Setelah berdiskusi, akhirnya disepakati bunyi Surat Keputusan tersebut yang menyatakan bahwa Madrasah Kulliyatul Muallimin Pondok Modern Gontor diakui setara dengan Madrasah Aliyah tanpa embel-embel jangka waktu. Surat Keputusan itu ditandatangani oleh Menteri Agama Prof. Abdul Malik Fadjar, M.Sc.
Tidak berhenti sampai di situ. Untuk menegaskan pengakuan ini, Menteri Agama datang ke Gontor untuk membacakan SK-nya itu. Melalui Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Nomor: E.1V/PP.032/Kep/64/98 Tanggal 28 Juli 1998. Ini merupakan pengakuan perdana dari Departemen Agama atas lulusan lembaga pendidikan pesantren.
Penyetaraan ini diberikan kepada pesantren dengan pola pendidikan mualimin, artinya penyelenggaraan pendidikan dengan kurikulum Pondok Modern Darussalam Gontor, dengan pertimbangan bahwa lulusannya telah banyak mendapat pengakuan kesetaraan di Timur Tengah dan negara lainnya.
Dua tahun kemudian, tahun 2000, Kemendiknas mengundang seluruh Kantor Wilayah Pendidikan se-Indonesia di Pusat Pendidikan dan Latihan Kemendiknas di Parung, Ciputat, Tangerang Selatan. Pimpinan Gontor juga diundang pada acara tersebut. Di situlah diumumkan secara resmi bahwa Gontor sudah mendapatkan penyetaraan dari Kemendiknas melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 105/0/2000 Tanggal 29 Juni 2000. Yang menjadi dasar penyetaraan atas lulusan KMI/TMI Gontor dan Al-Amin karena keduanya telah mendapat pengakuan dari Timur Tengah.
Tahun berikutnya, secara resmi Universitas Brawijaya Malang mengumumkan bahwa yang bisa diterima di kampus ini yaitu lulusan SMA, Madrasah Aliyah, dan KMI Gontor. Namun, Gontor tidak mau diistemewakan sendirian, pimpinan Gontor juga meminta agar pesantren lain juga diberikan kesempatan yang sama. Usulan ini ditanggapi positif oleh Kemendiknas. Maka dibentuklah tim akreditasi untuk menilai pondok pesantren yang kurang lebih sudah menerapkan sistem yang mirip dengan sistem Gontor. Target saat itu pondok pesantren yang telah menerapkan sistem dan kurikulum muallimin.
Akhirnya terbentuklah tim tersebut yang terdiri dari pihak Kemendiknas, Gontor, dan Pondok Pesantren Al-Amin. Kurang lebih selama 5 tahun, ada 30 pesantren di Jawa dan luar Jawa yang mendapatkan pengakuan kesetaraan dari Kemendiknas.
Pengakuan terhadap sistem muallimin ini juga disampaikan dalam forum internasional UNESCO. Dalam Country Report yang berjudul Quality Education for All Young People: Chalanges, Trends and Priorities disampaikan dalam 47 International Conference on Education di Jenewa, Swiss, pada 8-11 September 2004, Depdiknas menyampaikan kegiatan penyetaraan KMI/TMI dengan SMU.
Namun, keberadaan pesantren ashry atau modern tidaklah mulus, karena ternyata masih belum sepenuhnya dipahami oleh pemerintah. Bahkan sempat ada wacana penghapusan pesantren modern melalui Peraturan Menteri Agama (PMA). Sementara yang akan diakui hanya pesantren salaf dan tradisional. Para pengasuh pesantren protes. Mereka mendatangi Kemenag dan menyampaikan keberatan terhadap PMA No. 3 Tahun 2012 kepada Menteri Agama Drs. H. Suryadharma Ali M.Si. Termasuk di antara mereka yang keberatan yaitu para kiai sepuh seperti KH Maemun Zubair dan KH Sahal Mahfud. Karena menuai protes, akhirnya PMA No. 3 Tahun 2012 itu dicabut.
Dalam audiensi dengan Menteri Agama Suryadharma Ali, akhirnya Menag menyatakan tidak akan menandatangani PMA selama masih ada polemik. Ia meminta agar draf PMA pengganti yang sudah disepakati agar ditandatangani oleh sedikitnya 500 kiai pimpinan pesantren.
Tim pengasuh pesantren yang terhimpun dalam FKPM akhirnya bergerak dan berbagi tugas. Draf PMA yang sudah disusun bersama, disosialisasikan kepada pesantren-pesantren, utamanya yang berada di Jawa. Tidak hanya sosialisasi, tapi juga meminta tanda tangan sebagai bukti persetujuan para kiai.
Hadirnya Drs. H. Lukman Hakim Saifuddin sebagai Menteri Agama RI menggantikan Drs. H. Suryadharma Ali M.Si., membawa makna yang sangat berharga pada perjalanan pesantren di Indonesia.
Pada 10 Ramadhan 1439 (15 Mei 2019), Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor mengundang Menteri Agama untuk hadir pada acara kesyukuran. Tapi ia berhalangan dan diwakilkan kepada Prof. Dr. M. Nuh.
Namun, pada Shubuh hari itu, Menteri Agama mengirim pesan lewat WA yang menyatakan bahwa kedua draf PMA itu sudah ditandatangani. PMA yang dimaksud adalah PMA No. 13 dan No. 18 Tahun 2014. Akhirnya perjuangan panjang para pengasuh pesantren di Nusantara ini mendapatkan balasan dan penghargaan yang luar biasa. Setelah penantian panjang, akhirnya datang pengakuan itu.
Bagi Gontor, hadirnya PMA No. 18 melengkapi kesyukuran mereka, karena pada saat yang bersamaan juga hadir pengakuan Ditjen Pendidikan Tinggi terhadap UNIDA. Sedangkan bagi pesantren-pesantren lain, ini momentum yang sangat berharga karena mereka tak perlu risau lagi tentang pengakuan ijazah bagi para lulusannya.
Meskipun pengakuan itu diwujudkan dalam bentuk peraturan menteri yang bisa diubah dan diganti bersamaan dengan gantinya menteri, hal itu tetap harus diakui sebagai suatu upaya maju dan tetap harus disyukuri.
Pesantren punya caranya sendiri dalam menyukuri karunia Allah SWT dalam bentuk pengakuan itu, yakni dengan meningkatkan kualitas pendidikannya, metodologi pengajaran dan peningkatan sarana dan mutu sarana pendidikan.
Seiring perjalanan waktu, FKPM juga mengawal Rancangan Undang-Undang Pesantren, yang saat menjadi draf bernama RUU Lembaga Keagamaan dan Pesantren.
FKPM berpandangan, tidak menutup kemungkinan akan ada yang mencoba intervensi terhadap lahirnya UU Pesantren ini. Benar saja, saat draf selesai ternyata jauh berbeda dari yang diusulkan FKPM. Salah satunya, draf terkait pesantren muadalah tidak mendapatkan tempat di rancangan tersebut.
Setelah melakukan kajian, ormas-ormas Islam juga meminta agar draf yang ada direvisi kembali. FKPM pun melakukan lobi dan silaturahim ke berbagai ormas Islam dan badan legislatif. Akhirnya perjuangan itu membuahkan hasil positif. Tepat pada 24 September 2019 Undang-Undang Pesantren disahkan oleh DPR di tengah hiruk pikuk demonstran di Jakarta dan daerah lain. []
(Disarikan dari Buku Putih Pesantren Muadalah oleh FKPM)