Bahasa persatuan yang terkandung dalam agama Islam itu adalah suatu persatuan dalam arti yang seluas-luasnya. Kita katakan seperti itu, karena dasar persatuan Islam, sekali-kali tidak memakai cara pandang memandang antara ras dan kulit, kaya maupun miskin, rakyat jelata ataupun kalangan ningrat, dll. Asalkan bernaung di bawah panji-panji kalimat syahadat. Hal itu akan menjadi saudara dunia akhirat. “Tegak sama tinggi, duduk sama rendah.”
Jika sudah menjadi saudara, selayaknya menepati hak-hak bersaudara, yakni sebagaimana yang diatur dalam tata krama agama Islam, dengan tidak membedakan satu sama lain. Sedikit perbandingan: Jika ada orang negeri ini berjumpa dengan warga negara asing, yang diperkenalkan pertama kali pastilah nama dan asal negaranya. Tetapi, jika umat Islam berjumpa dengan saudara seagamanya, kebahagiaan dan keselamatan yang terlebih dahulu dikemukakan, dalam artian, mengucapkan salam (Assalamu’alaikum….).
Dalam hadis dijelaskan, yang artinya: “Tidak akan kamu masuk surga sebelum kamu beriman, dan tidak akan kamu beriman sebelum kamu berkasih-kasihan. Maukah aku tunjukkan kepadamu satu perkara yang apabila kamu kerjakan, niscaya kamu berkasih-kasihan? Yaitu siarkanlah salam di antara kamu”(HR Muslim). Demikianlah sedikit gambaran mengenai luas dan dalamnya persatuan di dalam Islam.
Menjadi Islam senantiasa mendidik, memimpin, mengajari, membawa, ke arah persatuan dan perdamaian dunia yang lurus tegak dan suci. Akan tetapi, keadaan akan pemeluknya dewasa ini, sangat menyedihkan hati. Bagaimana tidak, tali persaudaraan Islam yang paling kuat, benteng persatuan Islam yang paling kokoh, kini seakan-akan telah putus dan pecah. Bukti telah tampak di depan mata, kebanyakan umat Islam bermegah-megahan atas keturunannya, kesenangannya, kekayaannya, kealimannya, kesahajaannya, dan sebagainya.
Padahal bermegah-megahan semacam itulah pantangan dalam agama Islam yang sebenar-benarnya. Karena hilangnya semangat persatuan yang suci itulah, satu-satunya sebab yang terang-terangan dapat menjauhkan kita dari pintu kemajuan. Sekurang-kurangnya melambatkan akan tercapainya suatu cita-cita yang mulia.
Sedikit contoh, keadaan bangsa Indonesia saat ini, yang pemimpin-pemimpinnya masih mengaku sebagai putra Islam, sedangkan yang dipimpin pun mengaku sebagai putra Islam. Sudah lebih setengah abad bergerak untuk mengangkat derajat bangsa dan tanah air. Tetapi, sampai saat ini belumlah tampak sedikitpun bukti persatuan yang memuaskan. Jangankan memuaskan, para pemimpin, antarketua masih selalu bertengkar, dan senantiasa berselisih.
Saling meninggikan pengaruh dan membenci satu sama lain. Kalaulah kita tilik dengan teropong kesucian dan kita timbang dengan neraca keikhlasan, maka tampaklah bahwa mereka hanya menuruti hawa nafsu belaka, terkena penyakit tidak ikhlas, dan penyakit bermegah-megahan. Teringat kata peribahasa, ”Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Apa boleh buat, jika kejadiannya seperti itu, rasanya bawahan akan tambah buruk dari keadaan pimpinannya.
Jika para pemimpin saling bermusuhan satu sama lain, bagaimana nasib rakyatnya? Meskipun dari mereka banyak yang tidak mau dipimpin dan selamat, tetapi kebanyakan dari mereka masih mengekor.
Teranglah bagi putra-putri betapa jauhnya semangat persatuan Islam dengan umatnya. Rasa sesal sekarang tak berguna lagi, melainkan sekarang kita serahkan ke tangan putra-putri. Ajak dan ajarilah bangsamu ke arah persatuan yang suci. Kembalikanlah segala persatuan itu ke arah persatuan yang dianjurkan oleh agama Islam.
Semangat persatuan yang kita maksudkan bukan hanya semangat bersatu yang harumnya di atas podium, hanya seperti kilat, turun dari podium sudah padam lagi. Tetapi semangat persatuan dhahir dan bathin hingga menimbulkan amalan dan keyakinan menuju ke arah kemuliaan bangsa dan agama. Korbankanlah tenaga dan pikiranmu wahai putra-putriku. Tampakkanlah keikhlasanmu dan berjasalah buat bangsa dan agamamu. []