Persekusi, beberapa bulan belakangan ini marak menghiasi media massa di Indonesia, baik media cetak, media elektronik, bahkan media sosial. Persekusi yang dilakukan oleh sekelompok kecil masyarakat ini telah menghebohkan negeri. Seakan negara tak hadir dalam beberapa kasus persekusi yang terjadi di beberapa daerah.
Beberapa kasus seperti penghadangan sekelompok orang terhadap Ustadz Tengku Zulkarnain di bandara. Begitu juga terhadap Ustadz Felix Siauw, Ustadz Abdul Somad, Ustadz Adi Hidayat, Ustadz Bachtiar Nasir, dan lain-lain. Juga persekusi terhadap aktivis #2019GantiPresiden seperti Neno Warisman, Ahmad Dhani, Rocky Gerung, dan lain-lain.
Dalih persekusi bermacam-macam. Ada yang karena sang ustadz saat berceramah dinilai kerap tidak menyejukkan dan cenderung melukai perasaan, ada yang dianggap antipancasila, intoleran, dan lain sebagainya.
Maraknya kasus persekusi yang menimpa aktivis Islam belakangan terjadi di tengah-tengah penempatan istilah radikalisme, antipancasila, intoleran, makar yang akhir-akhir ini terjadi akan bisa menyebabkan perpecahan di kalangan anak bangsa.
Ketidakjelasan tolok ukur terhadap label seseorang akan menimbulkan konflik di tengah masyarakat karena satu sama lain akan saling mempersekusi dengan dalilnya sendiri-sendiri, yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan kekisruhan dan kegaduhan yang dalam skala luas dapat menimbulkan perpecahan di tengah bangsa ini.
Untuk megetahui lebih lanjut bagaimana seharusnya negara hadir dalam persoalan persekusi ini, wartawan Majalah Gontor Fathurroji NK mewawancarai Wakil Ketua Komisi Hukum dan HAM Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Dr Maneger Nasution di kantor MUI beberapa waktu lalu. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana Anda melihat maraknya persekusi yang terjadi terhadap aktivis?
Negara seharusnya hadir dan menghentikan itu melalui pemerintah dalam kapasitasnya sebagai regulator untuk bisa menjamin tidak ada upaya penggagalan syiar dakwah di masyarakat. Pemerintah hendaknya melayani masyarakatnya secara berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menghargai hak asasi manusia, nilai agama, persatuan dan kesatuan bangsa.
Ada kecenderungan persekusi ini marak dialamatkan kepada yang kritis terhadap pemerintah?
Saya kira kasus-kasus persekusi yang terjadi ini luar biasa, terutama kepada teman-teman aktivis Islam, yang kita runtut berkaitan dengan sejarah polarisasi yang kritis terhadap rezim saat ini. Dalam bahasa mereka ini dianggap antipemerintah.
Ada stigma yang dialamatkan kepara para aktivis ini?
Ya stigma terhadap umat Islam sudah dilakukan oleh rezim Orde Lama, seperti stigma yang korbannya adalah Buya Hamka, masa Orde Baru stigma kepada umat Islam dengan komando jihad. Sekarang ini muncul stigma makar, turunannya antipancasila, intoleran. Ini stigma yang dibuat dan narasinya selalu monolog, rezim menyampaikan itu, dan kita tidak punya info lain hanya menerima dari pemerintah. Padahal publik itu berhak mendapatkan informasi yang berimbang, jika cuma satu sumber maka monolog dan tidak ada dialog.
Contoh narasi monolog lainnya?
Sekarang ini kecenderungannya dari rezim ini, dalam banyak isu sensitif misalnya soal terorisme. Ketika mengkritik soal perlakuan terhadap penanganan terorisme maka dianggap pendukung terorisme. Padahal yang kita kritisi cara menanganinya, perlakuan terhadap warga negara apakah sesuai dengan HAM. Tapi narasinya yang muncul bahwa yang mengadvokasi terorisme dianggap sebagai pembela tindakan terorisme.
Apa makna persekusi dari kacamata hukum?
Tindakan persekusi yang dilakukan “sekelompok masa tanpa bentuk” terhadap warga negara yang sedang berkunjung ke berbagai daerah dalam teritori NKRI adalah tindakan melawan hukum. Oleh karena itu, kepolisian negara sebaiknya segera menjelaskan ke publik tentang dugaan kasus persekusi itu demi terpenuhinya hak publik untuk tahu tentang kebenaran informasi itu (rights to know). Dunia kemanusiaan sangat menyesalkan berbagai peristiwa itu. Hal itu mengancam hak-hak konstitusional warga negara serta mengancam masa depan demokrasi dan integrasi nasional.
Apakah setiap warga negara mempunyai hak untuk masuk ke daerah lain?
Ya, setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal serta meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah NKRI seperti yang tertuang dalam Pasal 27 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan adalah hak konstitusional warga negara. Setiap warga negara di seluruh teritori NKRI memiliki hak atas kebebasan berkumpul, berpendapat, memasuki/meninggalkan suatu daerah. Rasa aman adalah hak konstitusional warga negara. Dan, negara terutama pemerintah wajib hukumnya hadir memenuhi hak konstitusional warga negara itu.
Bagaimana jika polisi membiarkan persekusi terjadi?
Dalam teori HAM, pelanggaran HAM itu bisa terjadi karena adanya tindakan langsung dari negara (act commission) atau pembiaran dari negara (act of ommission). Dalam konteks persekusi tersebut, kalau negara tidak menghentikan atau melakukan pembiaran, itu pelanggaran HAM (act of ommission). Bahwa sekiranya ada perbedaan pandangan antara satu pihak dengan pihak lainnya, masih tersedia mekanisme lain yang lebih elegan, efektif, dan berkeadaban untuk menyampaikan aspirasi atas suatu perbedaan pandangan dengan mengedepankan dialog atau musyawarah.
Bagaimana jika tetap main hakim sendiri?
Kalau akhirnya dialog tidak terwujud, sebaiknya tetap menggunakan saluran aspirasi atas perbedaan pandangan dilakukan sesuai mekanisme hukum yang tersedia. Jauhi tindakan main hakim sendiri. Karena tindakan main hakim sendiri di samping sangat tidak elok, tidak berkeadaban, juga tidak menyelesaikan masalah, tapi justru memproduksi kekerasan-kekerasan baru. Ini berpotensi mengganggu integrasi nasional. Karena itulah negara harus hadir khususnya kepolisian negara untuk mencegah dan menginvestigasi peristiwa itu. Pihak kepolisian negara harus memproses pelaku dan aktor intelektualnya secara profesional, independen, berkeadilan, transparan, dan tidak diskriminatif sesuai dengan hukum yang berlaku. Negara tidak boleh kalah dengan kelompok intoleran. Negara tidak boleh membiarkan impunitas.
Bagaimana Anda melihat kasus Neno Warisman dan aktivis lain?
Pelarangan Neno Warisman untuk menghadiri acara deklarasi di Pekanbaru dan pengepungan terhadap Ahmad Dhani Prasetyo di Surabaya misalnya, yang dilakukan dengan cara represif dan membiarkan tindakan premanisme, tidak sejalan dengan iklim demokrasi yang sedang kita bangun. Serta tidak menunjukkan netralitas aparat dalam mengayomi masyarakat. Yang terjadi aparat terkesan kalah dengan sekelompok orang yang menghadang padahal jumlah aparat lebih banyak. Cara-cara seperti ini justru merugikan Presiden Jokowi dan tidak menggambarkan cara mendukung yang baik dan benar.
Kasus itu menunjukkan negara seperti membiarkan?
Jika ormas dibiarkan mengambil tugas negara dan negara diam, tidak memproses maka itu sebenarnya negara sedang melakukan impunitas. Negara kalah terhadap aktor ini. Karena itu siapapun di negeri ini tidak boleh menggunakan cara kekerasan yang sebenarnya hanya bisa dilakukan oleh aparat keamanan sesuai SOPnya. Tiba-tiba ada orang yang tidak pernah dididik dan tidak ada SOPnya kemudian menggunakan kewenangan negara.
Terkait sikap aparat dalam beberapa kasus persekusi, bagaimana pendapat Anda?
Aparat hendaknya memberikan pembelajaran demokrasi kepada masyarakat dengan tidak memihak, dan dapat memfasilitasi serta mengatur masing-masing unjuk pendapat sehingga terhindar dari konflik di lapangan. Soal hak berkumpul dan berpendapat itu hak konstitusional, jika diduga akan ada chaos karena ada ujaran kebencian. Ya, polisi tinggal memproses hukumnya, dan bukan dengan membiarkan sekelompok orang melakukan persekusi, karena cara ini telah menggunakan kewenangan negara. Jika ada pelanggaran hukum tinggal diproses, negara tidak boleh bertekuk lutut terhadap aktor yang meggunakan kewenangan negara dengan cara persekusi.
Apa harapan Anda terkait akan digelarnya Pemilu tahun depan?
Kita berharap tahun 2019 nanti merupakan pesta demokrasi yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia dan jangan sampai cara-cara represif dan provokatif menodai ajang pesta demokrasi tersebut. Mari kita sama-sama saling menjaga aset bangsa terbesar kita yaitu demokrasi agar tidak rusak dan ternoda oleh tindakan provokatif dan represif. Aparat kita harus netral karena polisi kita polisi negara dan bukan polisi pemerintah. Dia hanya berhadapan pada jalur SOP yang terukur dan menerapkan prinsip-prinsip imparsialitas memberlakukan sama di mata hukum.
Apa yang harus dilakukan terkait maraknya persekusi?
Kalau dalam konteks HAM, yang punya kewajiban melindungi itu negara, sementara warga negara memiliki hak sebab itu hak-hak dasar. Karena itu negara harus hadir melakukan kewajiban konstitusional. Jika tidak hadir atau membiarkan maka negara telah melanggar HAM.
Bagaimana HAM dalam Islam?
Islam sudah lebih lama mengenal HAM, yaitu dengan adanya Piagam Madinah pada tahun 622 M. Bahkan pidato terakhir Rasulullah saat haji wada’ oleh sejarawan serta aktivis HAM Islam didaftar sebagai dokumen tertulis pertama yang berkaitan dengan HAM. Dunia internasional baru mengenal HAM ribuan tahun setelah adanya konsep HAM dalam dunia Islam. HAM dikenal secara universal oleh dunia internasional baru terjadi pada 10 Desember 1948, lebih kurang 1316 tahun setelah Islam mengenal HAM. Oleh karena itu, umat Islam tidak perlu merasa asing dan ketinggalan dengan HAM yang ada saat ini, sebab sejatinya Islam sudah mengenal HAM sejak ribuan tahun yang lalu. []