Depok, Gontornews — Surga terkecil kita adalah keluarga dan neraka kecilnya manusia adalah keluarga. Tingkat kebahagiaan yang paling tinggi dalam sebuah keluarga ialah qurrata a’yun. Lantas, bagaimana cara menggapainya?
Ustadz Oemar Mitha Lc, Da’i Nasional menjelaskan bahwa kalau kita di luar rumah memiliki banyak masalah yang memekakkan telinga, namun sekalinya pulang kembali ke rumah, maka ketika melihat anak dan istri, seketika semua masalah itu menghilang, maka inilah yang dimaksud dengan keluarga qurrata a’yun.
Dalam al-Qur’an Surat al-Furqan ayat 74 disebutkan, “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati/qurrata a’yun (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.’”
Ayat ini menjelaskan beberapa hal, pertama, seorang Mukmin itu harus bercita-cita besar, yakni menjadi pemimpin yang bertakwa. Sedangkan untuk menggapainya diperlukan pribadi yang berkualitas dengan fondasi keimanan yang kokoh.
Kedua, ketika kita meminta (pemimpin yang bertakwa), kita belum bisa memilikinya sampai kita mendapatkan pasangan dan keturunan yang qurrata a’yun. Maka, keluarga yang bermasalah tidak mungkin melahirkan anak-anak yang berkualitas, layaknya para pahlawan di masa mendatang.
Hal ini bisa dilihat dari kehadiran para sosok ulama besar Islam seperti Imam Syafii, Imam Ahmad, Imam Bukhari, dan ulama lainnya yang semua datang dari keluarga qurrota a’yun. Sedangkan sebaliknya, anak-anak yang lahir dari keluarga broken home, mereka itu cenderung terkena kasus-kasus kenakalan, karena kondisi yang tidak baik-baik saja di dalam rumahnya. “Itu menunjukkan kepada kita, bagaimana kualitas keluarga itu menentukan kualitas anak keturunan kita,” tegas ustadz kelahiran Kudus, 14 Mei 1979.
Selanjutnya, sambung sang ustadz, kita tidak akan mendapatkan keturunan yang qurrata a’yun, sebelum kita sendiri menjadi qurrata a’yun. Menariknya adalah urutan yang diletakkan dalam ayat ke-74 tadi pertama adalah (azwaj/pasangan) dulu, baru (dzurriyah/keturunan), karena tidak akan berkualitas kehidupan kita, tidak akan anak kita menjadi qurrata a’yun, sampai orangtuanya mendapatkan qurrata a’yun (penyejuk pandangan) bersama pasangan. Maka, ini adalah perkara besar yang harus diselesaikan.
Sebab itu, sering-seringlah meminta maaf ke istri, dan istri sering-seringlah meminta ridha kepada suami. “Jadilah suami yang gampang didapatkan ridhanya serta jadilah istri yang sering meminta ridha suaminya,” ucap Founder Syameela itu. Dan di situlah kualitas anak kita akan diperoleh, tambahnya, yakni kalau kita sudah berkualitas. Semoga dengan begitu anaknya menjadi qurrota a’yun.
Lihatlah Nabi Nuh AS dan Nabi Ibrahim AS. Nabi Nuh AS mendapati putranya Kan’an yang kafir, tapi Nabi Ibrahim AS anaknya dua-duanya bertakwa. Padahal Nabi Ibrahim AS mendatangi Ismail hanya empat kali saja karena beragam tugas kenabiannya. Tapi kenapa putranya menjadi Nabi dan Rasul?
Semua itu dikarenakan perbedaan Nabi Nuh AS dan Ibrahim AS, terletak pada istrinya. Karena Hajar mampu menggantikan suaminya (Ibrahim AS), sedangkan usaha Hajar bertemu dengan doa-doa panjang Nabi Ibrahim AS. Berbeda dengan Nabi Nuh yang tidak memiliki support system. Itu menunjukkan kepada kita betapa dahsyatnya, betapa agungnya ketika kita mendapati keluarga yang qurrata a’yun.
Maka, jika kita sadar belum menjadi sosok yang qurrata a’yun selama ini, marilah kita segera mengevaluasi diri, bertobat, dan memperbanyak istighfar. Semoga Allah memudahkan langkah kita ke depan. [Edithya Miranti]