Oleh Dedi Junaedi
Seorang ahli kimia Universitas Qatar menemukan cara terpadu mengatasi limbah garam dan karbon dioksida di Timur Tengah. Selain memanen air murni dan soda kue, solusi Solvay-Benyahia dapat menyerap CO2 dan proses desalinasi air laut menjadi lebih ramah lingkungan.
Farid Benyahia berharap dapat menyelesaikan dua masalah lingkungan sekaligus: polusi karbon dioksida di atmosfer dan pekatnya garam di Teluk Arab. Konsumsi minyak dan gas alam meningkatkan emisi CO2 , sementara proses desalinasi untuk proyek air minum menghasilkan limbah air garam pekat di perairan Teluk.
Benyahia, seorang insinyur kimia di Universitas Qatar, lantas berusaha mengatasi persoalan pelik ini secara terpadu, efektif dan efisien. “Targetnya adalah untuk menyelesaikan dua masalah lingkungan dengan satu solusi cerdas dan menghasilkan efek multiguna, sekaligus produk berharga untuk menutup sebagian biaya penyimpanan karbon,” katanya seperti dikutip Scientific American.
Berkat usaha kerasnya, alumnus master kimia polmer Leed University ini pun menemukan solusi jitu. Yakni meringkas tahapan proses kimia, dari tujuh menjadi dua. Dalam studi kimia, namanya populer dengan sebutan Proses Solvay, merujuk ahli kimia  Berlgia Ernest Solvay [1838 – 1922]. Dia memperkenalkan proses konversi kimia pada dekade 1860-an. Metode ini lebih 150 tahun digunakan untuk menghasilkan natrium karbonat (NA2CO3) untuk aplikasi industri kimia. Dalam perkembangannya, banyak ahli berupaya memperbaiki dan atau memodifikasinya. Benyahia telah menyederhanakan sebagian proses. Tujuan utamanya adalah produksi natrium bikarbonat (NaHCO3) atau soda kue, bukan natrium karbonat seperti metode aslinya.
Tahapan pertama, doktor teknik kimia alumni Newcastle University, Inggris (1985) ini mencampur garam (limbah desalinasi) dengan amonia dan karbon dioksida. Setelah terjadi reaksi kimia, campuran ini menghasilkan soda kue (baking soda) padat dan larutan amonium khlorida. Secara sederhana, rumus reaksi kimianya sebagai berikut:
NaCl + CO2  + NH3 + H2O → NaHCO3 + NH4Cl (I)
Padatan soda kue yang terbentuk dipisahkan dan bisa menjadi komoditas bernilai ekonomi. Sementara larutan ammonium khlorida (NH4CL) yang terbentuk, lanjut gurubesar teknik kimia Universitas Qatar, menjadi bahan dasar untuk proses tahap kedua. Pada tahap ini, amonimum khlorida direaksikan dengan dengan kalsium oksida untuk menghasilkan air murni, larutan kalsium khlorida, dan gas amonia. Secara ringkas, rumus reaksi kimianya adalah:
2 NH4Cl + CaO → 2 NH3 + CaCl2 + H2O (II)
Gas ammonia yang dihasilkan dapat dipakai kembali untuk mengawali proses pembentukan baking soda. Sedang larutan kalsium khlorida dapat dipisahkan menjadi sediaan kimia sebagai komoditas yang juga bernilai ekonomi.
Dari pengalaman Farid Benyahia, kedua langkah kimiawi bisa menjadi solusi yang praktis dan efisien mengatasi masalah limbah garam dari proses desalinasi dan polusi udara (CO2 ). Pada saat yang sama juga dapat menghadirkan air tawar. ‘’Dapat dikatakan, hampir 100% masalah limbah desalinasi bisa diselesaikan. Kita dapat memanen air, soda kue, dan kalsium khlorida. Sedang ammonia yang terbentuk juga dapat dipakai kembali untuk siklus produksi berikutnya,’’ tegas ahli manajemen karbon dan teknik lingkungan ini.
Pakar desalinasi itu menjelaskan, bahan karbon yang digunakan dapat berupa CO2 murni, atau bisa juga memanfaatkan gas buang dari pembangkit apa pun yang memiliki kadar karbon sekitar 10 persen atau lebih. Hanya saja, jika menggunakan gas buang sebagai bahan karbon diperlukan tambahan langkah memisahkan CO2 murni. Ini yang bisa membuat proses jadi lebih mahal.
Untungnya, Qatar sudah memiliki pabrik pengolahan gas alam yang dapat menghasilkan produk CO2 mendekati murni. Maka, solusi desalinasi dari Benyahia kini bisa menghemat biaya. Inovasi ini setidaknya juga dapat diterapkan di tempat-tempat lain yang memiliki infrastruktur yang sama atau serupa.
Di Timur Tengah, pembuangan air garam menjadi masalah besar. Utamanya pada negara-negara yang untuk pengadaan air bersih umumnya mengandalkan pada proses penyulingan (desalinasi) air laut seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Bahrain dan Oman. Kapasitas desalinasi pada enam negara Teluk ini mencapai 45% dari kapasitas desalinasi global. Kadar garam lautan di wilayah ini umumnya telah dua kali lebih asin dari air laut pada umumnya. Bayangkan, untuk menghasilkan satu meter kubik air bersih akan menghasilkan sekitar dua meter kubik limbah air garam pekat.
Faktor lain yang berkontribusi terhadap peningkatan salinitas adalah kondisi geografi laut yang sebagian besar tertutup, dengan rendahnya tingkat sirkulasi-air, serta penurunan masukan air tawar dari sungai, termasuk Sungai Efrat yang menyurut karena bendungan skala besar dan pengalihan di hulu. Derajat salinitas di beberapa lokasi telah berlipat dua kali antara tahun 1996 dan 2008. Diperkirakan akan lebih pekat lagi dua kali pada tahun 2050.
“Saya percaya bahwa angka perkiraan konsentrasi garam di tahun 2050 akan lebih besar jika proyek desalinasi terus berlangsung menggunakan teknologi yang ada hari ini, ” kata Raed Bashitialshaaer, ahli sumber daya air Lund University di Swedia yang telah puluhan tahun mendalami masalah desalinasi. Menurutnya, kapasitas desalinasi di wilayah Teluk diproyeksikan hampir dua kali lipat antara tahun 2012 dan 2030.
Kawasan pantai sekitar Teluk Arab kian padat dengan aneka proyek. Seperti kompleks produksi minyak dan gas, pembangkit listrik dan fasilitas pengolahan air limbah. Ini tak hanya memanaskan, tapi juga mencemari lautan dengan minyak, limbah kimia, dan garam. Pengerukan dan reklamasi untuk perkembangan real estate di lepas pantai Dubai ikut menjadi faktor penekan lain. Meski riset dampak lingkungan masih terbatas, tahun 2008-2009 pernah terjadi kematian ikan dan kerusakan karang yang masif. Studi lain menunjukkan, debit air garam telah mengganggu kehidupan laut di sana.
Kian pekatnya kadar garam di Teluk juga mengancam keberlanjutan pasokan air minum di masa depan. “Akan lebih sulit dan mahal mendapatkan air bersih jika sumbernya semakin asin,” tambah Bashitialshaaer. Menurutnya, jumlah energi yang dibutuhkan akan lebih besar untuk menjalankan fasilitas desalinasi dengan metoda membran reverse-osmosis (RO) sehingga akhirnya menjadi lebih meningkatkan biaya. Daya dukung Teluk telah jauh menurun untuk menghasilkan air bersih lebih banyak lagi di masa depan. “Saya telah mempelajari sampai dengan 2050, termasuk semua rencana pembangunan fasilitas desalinasi. Jika kondisi seperti ini berlanjut, kawasan Teluk Arab kelak akan kesulitan mendapat air murni,” katanya.
Bashitialshaaer merekomendasikan teknik pengenceran sebagai cara untuk mengatasi masalah polusi. Hal ini dapat dicapai dengan pemakaian air garam jauh dari lepas pantai atau dengan mencampurnya dengan air limbah baku yang telah disesuaikan, atau memakai pembangkit listrik tenaga air pendingin untuk mengurangi salinitas sebelum dibuang. Dia juga merekomendasi agar Arab Saudi membangun pabrik baru di Laut Merah, yang belum banyak dipengaruhi perairan Teluk. Dia mengaku tidak terlalu akrab dengan inovasi Benyahia. Meski begitu, dia masih mempertanyakan aspek ekonomis dari penggunaan teknologi berbasis Proses Solvay-Benyahia. Menurutnya, teknologi desalinasi RO termaju kini dapat menghasilkan air bersih dengan biaya sekitar 58 sen dolar AS per 1.000 liter atau setara Rp 8 per liter.
Pihak Benyahia punya pandangan lain. Solusi baru yang ditawarkan akan tampak lebih ekonomis jika mempertimbangkan nilai dari produk baking soda dan kalsium khlorida. Selain kue, banyak aplikasi lain memakai soda. Anatara lain untuk mengatur pH di pengolahan air limbah, menghemat cat, serta aneka aplikasi dalam industri minyak dan gas, jelas James Keating, dari divisi pemasaran teknologi Office of Intellectual Property and Technology Transfer Qatar.
Dia menambahkan, kalsium khlorida dapat digunakan sebagai pengawet untuk sayuran kaleng dan dalam industri penyamakan kulit. Selain itu, ada nilai yang mungkin lebih tinggi dapat diperoleh karena solusi Benyahia bisa diterapkan untuk menyerap emisi CO2 . Bagaimana pun, inovasi ini lebih hijau dan ramah terhadap lingkungan. Terlebih untuk kawasan seperti Timur Tengah.
Kini, menurut MIT Technology Review, ada 700 juta warga dunia tidak punya akses yang cukup terhadap air bersih. Dalam sepuluh tahun lagi, jumlahnya akan membengkak menjadi 1,8 miliar manusia yang terancam krisis air bersih. Teknologi Solvay-Benyahia, boleh jadi dapat menjadi solusi tepat untuk mereka.[Dedi Junaedi]