London, Gontornews — Setelah sebelumnya para peneliti menunjuk kelelawar atau ular sebagai penyebab virus korona Cina, kini, peneliti asal Cina menduga bahwa trenggiling bertanggung jawab terhadap penyebaran virus mematikan tersebut. Benarkah demikian?
Peneliti asal South China Agricultural University mengatakan bahwa trenggiling memiliki urutan genom 99 persen dengan genom virus korona baru. Mereka berpendapat jika satu-satunya mamalia bersisik tersebut merupakan inang perantara paling mungkin bagi virus korona.
Namun, penelitian tersebut dibantah oleh peneliti asal Cambridge University, Inggris, James Wood, yang menilai bahwa penelitian itu tidak ilmiah.
“Bukti keterlibatan trenggiling dalam wabah ini belum dipublikasikan selain oleh siaran pers universitas. Jadi, ini bukan bukti ilmiah,” ungkap Wood.
“Laporan deteksi viral dengan urutan kesamaan lebih dari 99 persen tidaklah cukup. Mungkin, hasil ini disebabkan oleh kontaminasi dari lingkungan yang sangat terinfeksi,” sambung Kepala Departemen Kedokteran Hewan Cambridge itu kepada Reuters.
Sebagaimana diketahui, trenggiling merupakan mamalia paling diperdagangkan di Asia meski hukum melarang penjualan satwa liar tersebut. Bagi sebagian masyarakat Asia, daging trenggiling terbilang lezat sementara sisiknya berguna untuk pengobatan tradisional.
Sementara itu, pakar virus dari Nottingham University Inggris, Jonathan Ball, menyebut penelitian dari perguruan tinggi Cina tersebut menarik. Sekalipun belum ada kejelasan mengenai temuan baru tersebut.
“Kita perlu melihat semua data genetik untuk mengetahui seberapa terkait virus manusia dan trenggiling. Kita juga perlu mendapatkan pemahaman tentang seberapa lazimnya virus ini dalam trenggiling. Apakah hewan ini dijual di Wuhan atau tidak,” ungkap Ball.
Senada dengan Ball, Pakar Kedoteran Hewan dari Hong Kong City University, Dirk Pfeiffer, menilai bahwa penelitian ini masih jauh dari kata selesai.
“Anda hanya dapat menarik kesimpulan jika anda membandingkan prevalensi antara spesies yang berbeda berdasarkan sampel representatif,” pungkas Pfeiffer. [Mohamad Deny Irawan]