Nabi Muhammad SAW melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah sebagai langkah awal strategis bagi kebangkitan Islam dan umat Islam di dunia. Sederet perjalanan panjang serta perjuangan berat pun telah dilalui Rasulullah beserta para sahabatnya, karena selalu ada musuh Islam yang memburu mereka dan tak senang dengan penyebaran agama Tauhid ini.
Kepada Majalah Gontor, Dr KH Ahmad Fauzi Tidjani MA lebih jelas menegaskan bahwa hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya karena pada saat itu kaum kafir Quraisy berkomplot hendak membunuh Nabi SAW dan para pengikutnya. Kaum Quraisy menentang keras penyiaran Islam yang dilakukan oleh Nabi SAW karena gerakan Nabi Muhammad itu dianggap sebagai ancaman yang hendak meruntuhkan tradisi dan kepercayaan politeistik kaum Quraisy.
“Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang jumlahnya sangat sedikit lantas melaksanakan hijrah dari Mekkah ke Madinah, mencari tempat yang aman dan strategis dalam rangka menyebarkan agama Islam,” ucap Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura tersebut.
Apabila dianalisis dari sejarah di atas, makna hijrah dalam pembentukan masyarakat baru dan maju di Madinah itu, ternyata dimulai oleh Rasulullah dengan tiga langkah utama. Pertama, membangun masjid sebagai pusat kegiatan umat, pusat pemerintahan, dan kegiatan kerohanian lainnya.
Kedua, membuat ikatan persaudaraan seluruh Muslimin dengan mengenyampingkan aspek-aspek kesukuan. Ketiga, menyusun dustur (Undang-undang) yang mengatur sistem kemasyarakatan Muslimin dan menjelaskan sistem hubungan sosial antara mereka dengan pemeluk agama lainnya, terutama kaum Yahudi.
Tindakan ini sejalan dengan konsep hijrah yang dikemukakan dalam Hadits Riwayat Ahmad yang menerangkan bahwa hakikat hijrah adalah hijrah dari mental jahiliyah ke mental Islamiyah. Hijrah yang sesungguhnya adalah upaya mengubah sikap mental dari negatif menjadi positif, yaitu akhlak karimah (mulia). Sehingga dikatakan bahwa intisari kemanusiaan yaitu akhlaknya.
Dari perspektif sejarah, semua yang dilakukan Rasulullah SAW di atas merupakan kebalikan dari sifat dan sikap jahiliyah yang ditinggalkan di Mekkah. Membalikkan paradigma jahiliyah yang ada di Mekkah dan menggantikannya dengan paradigma Islamiyah dengan konsep Madinahnya. Itulah yang disebut oleh Rasulullah dengan hijrah. “Artinya, walaupun beliau memang pindah tempat, tetapi hijrah yang sesungguhnya bukan perpindahan tempat, melainkan perpindahan watak dan sifat umat,” tambah cucu KH Imam Zarkasyi, salah satu Trimurti Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor tersebut.
Pada dasarnya makna hijrah adalah pindahnya seseorang dari negeri kufur menuju negeri Islam atau negeri aman. Ia juga berarti hijrah hal, yaitu berpindahnya dari kondisi yang buruk kepada kondisi yang lebih baik. Oleh karena itu Rasulullah memerintahkan beberapa sahabat untuk berhijrah menuju Habasyah yang sekarang menjadi (Ethiopia) di awal-awal masa dakwahnya.
Nabi SAW berpesan, “Berangkatlah ke negeri Habasyah, sebab di sana sedang diperintah penguasa yang tidak pernah berbuat zalim kepada seorang pun.” Maka dalam konteks ini, hijrah berarti berpindah ke negeri yang aman. Sedangkan hijrah ke Madinah merupakan hijrah menuju negeri yang beriman.
Ibnu Hajar berpendapat, “Hijrah itu dua jenis yakni lahiriyah dan batiniyah. Hijrah batin adalah meninggalkan seruan nafsu dan kehendak jahat, sedangkan hijrah lahir adalah meninggalkan fitnah untuk menjaga agama.” Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda, “Seorang Muslim itu adalah orang yang membuat nyaman orang-orang Muslim lainnya dari (tindakan) lidah dan tangannya. Sedangkan orang yang berhijrah itu (Muhajir) adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah.” (HR Bukhari)
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah juga menjelaskan bahwa hijrah itu ada dua, pertama hijrah dengan fisik dari suatu negeri ke negeri yang lain. Sedangkan kedua adalah hijrah dengan hati menuju Allah dan Rasul-Nya. Inilah hijrah hakiki dan merupakan akar fondasi semua amalan hijrah.
Hijrah fisik hendaknya dilandasi dengan hijrah hati. Maka Muhajir adalah orang yang berhijrah dari kecintaannya kepada selain Allah menuju kecintaan kepada-Nya, dari ketergantungan kepada selain-Nya menuju kepada-Nya, dari berharap kepada selain-Nya menuju kepada-Nya. Inilah sejatinya makna firar dalam al-Qur’an Surat Az-Zariyat ayat 50 yaitu berlari dan kembali menuju Allah, yaitu lari dari sesuatu yang tidak disukai dan menyebabkan turunnya kemurkaan-Nya, menuju kondisi yang penuh dengan rahmat, kasih, dan ihsan Allah.
Hijrah semisal ini hukumnya fardhu ‘ain dan tidak berakhir hingga datangnya hari kiamat. Nabi SAW bersabda, “Hijrah itu tidak akan terputus hingga ditutupnya pintu tobat, dan tobat itu tidak pernah tertutup sampai terbitnya matahari dari barat.” (HR Abu Dawud)
Dalam Hadits ini, kata hijrah yang disertai dengan kata tobat yang memberi makna bahwa setiap kali orang yang bertobat dari dosanya dan senantiasa memperbarui tobatnya itu, maka berarti ia telah memperbarui hijrahnya menuju Allah. Demikianlah makna epistemologis hijrah yang terintegrasikan dalam bangunan Tauhid, yang landasannya tidak lain hanyalah sikap taat, ketundukpatuhan, dan keikhlasan kepada-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-An’am ayat 162.
Di samping itu, hijrah adalah salah satu bentuk solusi atas tekanan kaum kafir dan demi efektivitas dakwah. Hijrah adalah tradisi para nabi. Nabi Ibrahim AS berhijrah tatkala seruannya bertauhid ditentang hebat oleh kaumnya. Bahkan ayahnya sendiri mengancam akan merajamnya jika Nabi Ibrahim tidak berhenti mengomentari patung-patung sesembahannya (QS 19: 46). Maka, Ibrahim pun berhijrah menuju Allah (QS 29: 26). Sebab hijrah dilakukan bukan didasari keputus-asaan, sehingga harus menyingkir ke suatu tempat. Demikian juga dengan hijrah Nabi Musa AS yang meninggalkan sanak kerabat dan tanah kelahirannya.
Tren Hijrah Kekinian
Terkait fenomena hijrah kekinian, Kiai Fauzi yang juga merupakan Pengurus Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura (BASSRA) ini menambahkan bahwa hijrah adalah sebuah etos dan spirit yang harus terus dirawat dalam kehidupan. “Hijrah adalah sebuah upaya keras (jihad) untuk memperbaiki kualitas hidup yang berisi dan menuju kepada kebaikan dan perbaikan dalam bingkai peribadatan,” tuturnya.
Allah SWT berfirman dalam QS An-Nisaa’ ayat 100 yang artinya, “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat/cita-cita yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya dengan berusaha keras agar kehidupan diri, keluarga, masyarakat serta bangsa berjalan pada koridor yang diridhai oleh Allah SWT, sesuai dengan tuntunan serta panduan yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana yang diwarisi dan diajarkan oleh para ulama.
Inilah satu-satunya cara, yang bila cara tersebut ditempuh, maka garansinya suatu perubahan menuju kepada situasi dan kondisi kehidupan yang lebih baik dan beradab, sebagaimana yang telah Allah janjikan kepada kita pada ayat di atas.
Dalam berhijrah, secara lebih spesifik, Rasulullah berwasiat kepada kita yang artinya, “Dan orang yang berhijrah adalah orang yang telah meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR Imam Al-Bukhari)
Wasiat Rasulullah di atas senada dengan apa yang telah Allah wajibkan dalam QS Al-Muddatstsir ayat 5 yang maknaya, “Dan dari segala perbuatan dosa, maka hijrahlah (tinggalkanlah).”
Putra KH Mohammad Tidjani Djauhari MA itu pun lantas menggarisbawahi, “Memperkokoh niat dan mengoptimalkan daya upaya untuk menaati segala perintah dan larangan Allah, inilah esensi dari kewajiban hijrah.”
Semoga, pada awal Tahun Baru 1445 H ini, sambungnya, kita bisa mengintrospeksi diri atas segala langkah yang telah kita lewati pada tahun 1444 H, untuk kemudian mengoreksinya dan menjadikannya sebagai modal guna memperbaiki dan meningkatkan kualitas ketaatan, sehingga tidak menjadi orang yang merugi, apalagi celaka.”
Kepada Majalah Gontor, Ustadz Abi Makki, salah seorang dai nasional, dalam sebuah kajian Islami di Rumah Ilmu Al-Hilya pun turut menambahkan bahwa apabila saat ini tengah marak kita dengar kata hijrah (perubahan seseorang menjadi lebih baik), tentunya syarat pertama untuk melakukan hijrah itu sendiri yaitu dengan ilmu (agama)-nya. Maka, teruslah memperdalam ilmu agama, agar iman dan ketakwaan kita makin sempurna. []