Jakarta, Gontornews — Salah satu bagian dari Republik Indonesia yang melepaskan diri dan menjadi negara merdeka yang bernama Timor Leste adalah Timor Timur. Islam datang ke Timor Leste yang dulu bernama Timor Timur lebih dulu tiba, namun kemudian Islam terkikis oleh agama Katolik yang dibawa oleh Portugis dengan semboyan gospelnya.
Di buku Islam di Timor Timur karya Ambarak A Bazher, dijelaskan, Islam di Dilli, ibukota Timor Timur, sudah ada sejak sebelum kedatangan Portugis pada 1512. “Pasukan Portugis terusir dari Gowa, Sulawesi Selatan, mereka tiba di Dili dan disambut oleh pemimpin masyarakat setempat yang bernama Abdullah Afif,” tulisnya seperti dikutip tebuireng.online.
Banyak perbedaan teori yang mengungkapkan tentang kapan datangnya Islam di Timor Leste ini. Ada yang mengatakan datangnya bersamaan dengan penyebaran Islam oleh para pedagang Arab yang berlayar hingga ke pulau-pulau dekat dengan Maluku melalui jalur laut di selatan Sulawesi.
Ada pula yang mengatakan penyebaran Islam ini dilakukan oleh para ulama dari kerajaan-kerajaan Islam di sekitarnya, seperti Gowa-Tallo, Ternate, bahkan Samudera Pasai. Timor Leste juga punya pertautan sejarah nan panjang dengan Portugal. Negara itu menjajah Timor sejak abad 16, membuat Timor Leste dulu dikenal sebagai Timor Portugis. Pada 1975, Portugal cabut dari Timor.
Kala itu Portugis selain menduduki Timor, juga mengenalkan agama Katolik. John Hodge dalam The Catholic Church in Timor-Leste and the Indonesian Occupation (2013) menulis bahwa Ordo Dominikan menyelenggarakan misi di Timor sejak abad ke-16. Gereja pun mendirikan paroki, sekolah, dan balai pengobatan di daerah-daerah Timor yang dapat dijangkau anggota mereka.
Dikutip Hidayatullah, Anwar Da Costa, da’i Timor Leste menjelaskan dinamika dakwah di Timor Leste ada tiga tahapan dakwah yang masing-masing tahapan memiliki suka duka dakwah tersendiri. Pertama, fase penjajahan Portugis, Kedua, fase bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketiga, fase pisah dari NKRI dan menjadi negara sendiri.
Menurut Anwar, di masa penjajahan Portugis, Timor Leste dikuasai oleh agama Katolik hingga 99,9 persen sedang umat Islam hanya tersisa segelintir itupun dari keturunan daerah Hadramaut, Yaman. Di masa itu tak ada seorang Muslim yang terlahir dalam keadaan Muslim. “Masjid pun hanya ada satu, Masjid Nur di Kota Dili,” terang Anwar.
Selanjutnya, Timor Leste bergabung ke wilayah NKRI menjadi provinsi ke-27. Dengan bekerjasama dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Timor Leste mendapat kiriman tujuh orang da’i pada tahun 1981. Perubahan signifikan terjadi dalam kurun waktu 1975-1999. Masjid bertambah menjadi 46 buah dengan madrasah-madrasah tersebar di berbagai distrik di Timor Leste. “Umat Islam kira-kira mencapai 40 persen dan non-Muslim 60 persen saat itu,” ucap Anwar.
Seiring berjalannya waktu Timor Leste memilih pisah dari NKRI. Bagi Anwar sebagai da’i, inilah masa-masa sulit dalam berdakwah. Saat itulah jumlah umat Islam merosot tajam menjadi hanya 5000 orang dari 35.000 umat Islam sebelumnya. “Masjid kembali menjadi satu buah saja yang aktif,” imbuh Anwar.
Hingga kini umat Islam Timor Leste menjadi minoritas di tengah mayoritas beragama Katolik. Menurut sensus 2015, penduduk Timor Leste berjumlah 1.167.242 jiwa. Katolik adalah agama mayoritas dengan jumlah pemeluk mencapai 96 persen, disusul Kristen sebanyak 2,2 persen, dan Islam hanya 0,3 persen. Sementara, Association of Religion Data Archives (ARDA) melaporkan bahwa populasi Muslim di negara itu mencapai 3,6 persen.
Meski demikian kebebasan diberikan kepada seluruh warga di Timor Leste. Agama Islam yang sangat minim pun diberi penghormatan yang tinggi oleh penganut agama lain. Bahkan, saat tiba waktu Lebaran (Hari Raya Idul Fitri) umat Katolik biasanya ikut membantu menjaga keamanan dan ketertiban selama penyelenggaraan shalat Id.
Hari-hari besar Islam dijadikan hari libur nasional, seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Walaupun, untuk hari besar lainnya, seperti Maulid Nabi, Isra Mi’raj, dan tahun baru Hijriyah, belum menjadi hari libur nasional serta dispensasi bagi para pekerja yang akan melaksanakan shalat dan shalat Jumat belum diberikan.
Salah satu Muslim Timor Leste, Muhammad Iqbal Menezes mengungkapkan, pemerintah di negaranya sangat menjaga hubungan baik dengan umat Islam. Sejak daerah bekas koloni Portugis meraih kemerdekaannya pada 2002, belum pernah sekali pun terjadi praktik diskriminasi terhadap kelompok pemeluk agama minoritas, termasuk Islam.
Budaya saling menghargai juga terjalin baik di sana. Anto, pria asal Makassar, Sulawesi Selatan, yang 13 tahun sudah tinggal di Kampung Alor, Kota Dili, Timor Leste dikutip inews.id mengatakan, sebagai pembanding, di Singapura adzan (di masjid) tidak boleh pakai pengeras suara. “Di Timor Leste ini bebas saja. Kami juga bebas berjalan pakai (busana) apa saja, mau pakai serban atau yang lain, tidak ada soal,” kata Anto. [Aysha Athaaya Salsabila]