ثَوَابٌ عَمَلٍ لِكُلِّ
“Setiap pekerjaan itu ada upahnya”
Bekerja sudah menjadi sebuah kelaziman dan keharusan bagi setiap manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia. Bagi orang yang beriman, bekerja merupakan kewajiban untuk menjemput rahmat dan karunia Allah SWT sebagaimana yang telah digariskan kepada seluruh makhluk-Nya.
Bekerja memiliki banyak sekali makna, cara, dan macamnya. Sering kali kita menemukan fenomena di era modern saat ini, manusia berbondong-bondong serta berlomba-lomba mencari dan melamar pekerjaan. Demi mendapatkannya, mereka rela melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya, dengan berbagai macam niat atau tujuan.
Ada yang bertujuan sekadar mendapatkan materi, kedudukan, jabatan, nama baik dan berbagai macam kepentingan duniawi lainnya. Namun, tidak jarang manusia yang meniatkannya untuk mencari keberkahan dan ridha Allah SWT dan ia sadar bahwa semua hanya titipan semata. Sebagaimana Allah SWT telah berfirman:
وَمَا يَفتَحِ الله لِلنَّاسِ مِنْ رَّحْمَةٍ فَلاَ مُمْسِكَ لهَاَ وَماَ يُمْسِكْ فَلاَ مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ العَزِيزُ الحَكِيمُ (سورة فاطر:2)
Apa saja di antara rahmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia, maka tidak ada yang dapat menahannya. Dan apa saja yang ditahan oleh Allah, maka tidak ada yang sanggup untuk melepaskannya setelah itu. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Fathir [35]: 2)
Sebagai makhluk paling sempurna, manusia memiliki amanat menjalankan tugas kekhalifahannya di muka bumi dengan baik. Bekerja merupakan salah satu cara manusia menjalankan fungsinya sebagai khalifah. Pada hakikatnya, dalam bekerja harus selalu berorientasi pada kemanfaatan untuk sesama.
Berusaha dengan sekuat tenaga agar mampu mewariskan kebaikan yang besar serta berjuang memenuhi hajat kebahagiaan hidup orang banyak. Orang yang memaknai pekerjaannya sebagai ibadah kepada Allah SWT akan selalu bekerja untuk berbagi kenikmatan dan memberikan kebaikan sebesar-besarnya.
Motif utama pekerjaannya adalah rohani (spiritual). Orang seperti inilah yang terbaik di sisi Allah SWT. Di mata Allah SWT, tidak ada manusia yang hina ataupun mulia karena pekerjaannya. Segala sesuatu tergantung pada niatnya. “Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 56)
Bernilai atau tidaknya sebuah pekerjaan yang dilakukan terletak pada niatnya. Meski hanya sebagai tukang sapu, jika niatnya semata untuk beribadah dan memberikan kontribusi yang baik kepada manusia, maka dia telah melakukan suatu pekerjaan yang mulia, baik di hadapan manusia maupun Allah SWT.
Sebaliknya, walau pekerjaannya sebagai presiden atau kepala negara sekalipun, jika tujuannya hanya untuk memperkaya diri, memperoleh jabatan, nama baik dan tidak mendatangkan kemaslahatan bagi rakyat, justru menghadirkan kemudaratan, maka hinalah orang tersebut.
Banyak manusia berebut kemuliaan, namun mereka tidak mengetahui hakikat dari sebuah kemuliaan yang sebenarnya. Pekerjaan dan jabatan menjadi salah satu tolak ukur kemuliaan di mata manusia, tetapi belum tentu di sisi Allah SWT. Ada sebuah pepatah bijak yang berbunyi:
قِيْمِةُ المَرْءِ بِقَدْرِ مَا يُحْسِنُهُ
“Kemuliaan seseorang itu sebesar kebaikan yang telah diperbuatnya”.