الوَقْتُ أَثْمَنُ مِنَ الذَّهَبِ
“Waktu itu lebih berharga daripada emas.”
Bagi masyarakat kita, menyelenggarakan acara tepat waktu masih menjadi barang langka, baik forum resmi maupun nonresmi. Ada seseorang yang berusaha datang sesuai jadwal atau undangan, tapi justru dianggap sebagai sosok yang kaku dan tidak fleksibel. Keterlambatan menjadi hal lumrah karena dianggap tidak menimbulkan dampak negatif.
Bahkan di forum lain, meski ada himbauan untuk rapat tepat waktu, nyatanya keterlambatan masih dipandang wajar dan biasa. Kebiasaan ini sudah menjadi tradisi yang mengakar di sebagian besar masyarakat kita. Akhirnya, yang disiplin tepat waktu tak dihargai dan yang selalu ngaret dibiarkan mengulangi lagi.
Dalam konteks sehari-hari, ngaret merujuk pada kebiasaan menunda atau tidak disiplin dalam menghargai waktu. Sosiolog dan peneliti independent, Bayu A. Yulianto, mengatakan bahwa ngaret bagi orang Indonesia menjadi sebuah kebiasaan yang semakin buruk sejak tahun 1980-an sehingga menjadi tradisi yang sulit ditinggalkan.
Budaya ngaret ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, adanya norma sosial yang menganggap keterlambatan sebagai hal yang biasa, membuat orang merasa tidak perlu terlalu menghargai waktu. Dalam beberapa budaya atau lingkungan, keterlambatan tidak dianggap serius sehingga mempengaruhi pandangan individu terhadap etika waktu.
Kedua, budaya fleksibel seringkali berujung pada penundaan sehingga acara tidak dimulai tepat waktu. Menunda pekerjaan yang melibatkan kepentingan banyak orang menunjukkan lemahnya seseorang dalam menentukan skala prioritas. Orang yang menunda seringkali merasa bahwa dia memiliki lebih banyak waktu dari yang dibutuhkan.
Dalam sebuah instansi atau organisasi, dibutuhkan kesungguhan dari pemangku kebijakan untuk membuat regulasi yang jelas agar efek budaya fleksibel tidak menjamur. Jika selalu dibiarkan tanpa ada pemikiran serius, akan menjadi sumber konflik interpersonal karena ketidakpastian waktu bisa mengganggu jadwal dan rencana orang lain.
Ketiga, kurangnya kesadaran akan pentingnya disiplin waktu, baik dalam konteks pribadi maupun profesional. Banyak orang yang masih menganggap waktu luang sebagai hal yang positif, dihabiskan untuk bersantai atau bersenang senang. Mereka tidak merasa bersalah, meski itu mungkin harus mengabaikan tugas yang lebih penting.
Miliu yang kurang membentuk kesadaran akan harga sebuah waktu juga turut menyumbang munculnya asumsi keliru tentang nilai disiplin waktu. Jika kesadaran individu tidak tumbuh, tentu berdampak pada profesionalisme dan kredibilitas sehingga berpotensi merugikan karier dan reputasi di lingkungan masyarakat maupun dunia kerja.
Sebagai seorang Muslim, kita seharusnya memiliki shibgah dalam diri, yakni mental bekerja secara profesional. Seperti yang termaktub dalam bait mahfudzat di atas yang menghargai nilai tinggi sebuah waktu.
Mari kita coba mengubah cara pandang kita terhadap waktu dengan menentukan nilai waktu (the value of time). Sebagai contoh, seseorang melabeli waktunya dengan harga 1 gram emas atau kisaran Rp1.500.000 per jam. Jika ia gagal memanfaatkan waktu 1 jam saja, maka seakan-akan ia telah melenyapkan uang sebesar itu. Bagaimana jika ia menelantarkan waktu 2, 3, 4, bahkan 5 jam per hari? Tentu ia sudah banyak merugikan diri sendiri. Wallahu A’lam.