Depok, Gontornews — Keberadaan lembaga pengelola zakat di Indonesia memiliki kekuatan normatif dengan lahirnya Undang-undang nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan pengelolaan zakat.
”Namun, adanya undang-undang tentang pengelolaan zakat dan menjamurnya lembaga pengelolaan zakat belum memberikan hasil yang optimal,” ungkap N Oneng Nurul Bariyah, doktor lulusan UIN Syahid Jakarta, program studi Pengkajian Islam. Khususnya dalam meningkatkan kehidupan sosial kaum dhu’afa, tambahnya.
Oleh karena itu, sambung Nurul, diperlukan revitalisasi manajerial lembaga zakat. Lembaga pengelola zakat harus memenuhi standar manajemen mutu agar mendapat kepercayaan besar dari publik. Kinerja mutu lembaga zakat juga perlu mendapat perhatian agar tujuan dari keberadaan lembaga itu dapat tercapai.
Total Quality Management (TQM) memiliki arti Manajemen Kualitas (Quality Management) atau Manajemen Kualitas Terpadu. TQM menggunakan semua sumber daya manusia disertai modal yang tersedia dalam upaya meningkatkan mutu semua proses, produk, dan jasa dalam sebuah organisasi.
Dalam penelitian ini, TQM adalah manajemen kinerja prima dari lembaga pengelola zakat. Sejak tahun 1980-an hingga sekarang konsep TQM di Indonesia sudah cukup populer. Terutama di sektor swasta antara lain dengan adanya program ISO 9000.
Dengan adanya sertifikat ISO yang diperoleh lembaga pengelola zakat, bagaimanakah praktik manajemen mutu pada lembaga pengelola zakat tersebut? Dan bagaimanakah sistem nilai manajemen mutu lembaga pengelola zakat?
Pertanyaan di atas menjadi masalah utama dalam penelitian wanita asal Singaparna, Tasikmalaya ini. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui bagaimana praktik dan konsep managemen mutu pada lembaga pengelola zakat. Untuk itu penelitian ini pun diberi judul ”Kontekstualisasi Total Quality Management Dalam Lembaga Pengelola Zakat untuk Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Prinsip & Praktik).
“Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa lembaga pengelola zakat telah menerapkan manajemen mutu (TQM) dalam operasionalnya sebagai upaya memberdayakan ekonomi masyarakat,” ujar dosen UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta) ini.
Argumentasi yang dibangun atas kesimpulan tersebut adalah adanya indikator mutu kinerja lembaga pengelola zakat yang meliputi: Satu, terdapat visi dan misi lembaga, intensitas pertemuan, koordinasi antar bidang, kepatuhan pada syari’ah, audit/evaluasi kinerja, dan kontribusi pada masyarakat di dalam kepemimpinannya.
Dua, perencanaan strategis meliputi rencana kerja dan strategi pencapaian. Tiga, fokus pada muzakki dan mustahik antara lain, terdapat data base muzakki dan mustahik. Adanya hubungan kerja sama dengan pemangku kepentingan dalam upaya meningkatkan kuantitas muzakki dan mendorong tumbuhnya ekonomi produktif.
Empat, pengukuran dan analisis manajemen antara lain, laporan rutin kinerja unit, sistem kerja lembaga, program pembelajaran (pendidikan, pelatihan, dan pengembangan) amil untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas amilin.
Lima, sumber daya amil, antara lain, keterlibatan amil dalam menjalankan tugas, terjaminnya remunerasi, dan penghargaan bagi amil. Enam, pencapaian hasil antara lain, tersaji jumlah dana yang dihimpun, dan pertumbuhan jumlah muzakki.
Lembaga pengelola zakat telah menggunakan media informatika yang modern dalam upaya pengumpulan dana zakat. Disamping ada pula teknik tradisional seperti yang dilakukan di DPU Daarut Tauhid.
BAZIS DKI Jakarta memiliki kelebihan daripada ketiga lembaga lainnya karena memiliki dukungan penuh dari pemerintah DKI Jakarta. Semua biaya manajemen ditanggung oleh pemerintah DKI Jakarta. Sehingga dana ZIS dapat disalurkan kepada seluruh mustahik kecuali amil.
“Namun, kebijakan pengambilan keputusan masih terkait pada kebijakan pemerintah daerah termasuk rekrutmen amil yang merupakan pegawai Pemda DKI Jakarta,” sambungnya. Dalam hal kepatuhan terhadap nilai syari’ah masih ada yang kurang antara lain keberadaan bank konvensional yang dijadikan mediator dana zakat.
Menurut Dr Nurul, hal yang kurang dari kinerja lembaga pengelola zakat saat ini adalah koordinasi antar lembaga serta antara lembaga dengan pemerintah yang belum baik. Sehingga pemetaan keberhasilan tidak dapat dilihat dan distribusi zakat antar wilayah dengan wilayah lain.
Konsep TQM pada lembaga pengelola zakat merupakan upaya perbaikan terus menerus yang bertujuan untuk mengimplementasikan tujuan zakat agar meningkatkan kualitas keimanan muzakki serta meningkatkan kesejahteraan mustahik.
TQM lembaga pengelola zakat tidak berorientasi pada peningkatan daya saing semata. Melainkan memberikan manfaat terbaik bagi kemaslahatan umat di atas kepentingan lembaga.
”Hal ini berbeda dengan konsep TQM pada lembaga profit yang lebih ditujukan untuk memberikan kepuasan konsumen yang berimplikasi pada performance perusahaan semata,” imbuh wanita kelahiran 10 Oktober 1968 tersebut.
Lembaga pengelola zakat telah melakukan program pemberdayaan ekonomi masyarakat. Program-program tersebut antara lain, Masyarakat Mandiri, Kampoeng Ternak, Pemberdayaan Perempuan, Kampoeng Nelayan, dan Microfinance Syari’ah Berbasis Masyarakat (MiSykat).
Indikator mutu antara lain, tampak adanya peta perkembangan, strategi, dan evaluasi program. Strategi pemberdayaan ada yang bersifat direct maupun indirect.
Untuk meningkatkan hasil optimal dalam pemberdayaan sangat diperlukan kerja bersama dan networking antara lembaga zakat dengan pemerintah. ”Serta pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang sama,” sambungnya.
Hemat penulis, guna meningkatkan mutu lembaga zakat, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Satu, kepada para muzakki yang menyalurkan zakat secara langsung agar memprioritaskan pendidikan mustahik dan pemberdayaan ekonomi agar mereka memiliki empowerment.
Dua, lembaga pengelola zakat agar melakukan pendekatan secara soepple dan ’luwes’. Tiga, bank syari’ah yang menampung dana zakat agar menyalurkan dananya untuk pemberdayaan ekonomi sehingga dapat meningkatkan lapangan pekerjaan.
Empat, kemitraan lembaga zakat dengan lembaga lain baik yang bergerak di bidang pendidikan, agar menjalin ekonomi masyarakat dengan baik. Sehingga memberi dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin.
Lima, pendidikan kelembagaan zakat, infak, dan sedekah harus disosialisasikan lewat pendidikan baik formal maupun informal. Enam, perlu adanya kemitraan antara pemerintah daerah.
Tujuh, perlu upaya pemberdayaan ekonomi berbasis masjid. Karena zakat lebih banyak disalurkan melalui amil yang dibentuk pada masjid-masjid di sekitar masyarakat.
”Lembaga pengelola zakat harus memegang teguh prinsip syari’ah dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan distributif. Hal tersebut guna memelihara aqidah, harta, keturunan, jiwa, dan akal (para mustahik),” pungkasnya. <Edithya Miranti>