Jakarta, Gontornews — Tepat pukul 16.18 WIB, Jumat (27/5) sore ini, masyarakat Muslim di Indonesia bisa dengan mudah membetulkan arah kiblat. Pada jam tersebut, matahari dilaporkan tepat berada di atas Ka’bah, Mekkah, Arab Saudi.
Dengan posisi matahari itu, umat Islam di Tanah Air bisa dengan mudah membetulkan arah kiblat tanpa perlu peralatan canggih atau membongkar bangunan masjid dan mushalla untuk menyesuaikan arah kiblatnya.
Para ahli astronomi menyebut fenomena yang terjadi dua kali selama setahun ini dengan istilah Transit Utama (Istiwa A’dhom) atau Yaumu Rashdil Qiblat (hari meluruskan arah kiblat yaitu hari saat saat matahari tepat di atas Ka’bah).
Dengan adanya peristiwa matahari tepat di atas Ka’bah tersebut maka umat Islam yang berada di radius 2.000 km – 10.000 km dari Ka’bah dapat menentukan arah kiblat secara presisi menggunakan teknik bayangan matahari dengan kaidah sederhana tersebut.
“Jika kita tidak bisa melihat sebuah benda yang berada di bawah sebuah sumber cahaya, maka dengan melihat sumber cahaya itu kita tahu arah keberadaan benda tersebut,” terang Pegiat Rukyatul Hilal Indonesia Mutoha Arkanuddin seperti dilansir rukyatulhilal.
Pria asal Jogjakarta ini menjelaskan, teknik penentuan arah kiblat pada hari Rashdul Qiblat ini sebenarnya sudah dipakai lama sejak ilmu falak berkembang di Timur Tengah. Demikian halnya di Indonesia dan beberapa negara Islam yang lain juga sudah banyak yang menggunakan teknik ini.
“Sebab teknik ini memang tidak memerlukan perhitungan yang rumit dan siapapun dapat melakukannya. Yang diperlukan hanyalah sebatang tongkat lurus dengan panjang lebih kurang 1 meter dan diletakkan berdiri tegak di tempat yang datar dan mendapat sinar matahari,†jelasnya.
Cara lain adalah dengan menggantung benang atau tali di tempat yang mendapat sinar matahari tersebut. Lalu pada tanggal dan jam saat terjadinya peristiwa Istiwa A’dhom tersebut maka arah bayangan tongkat atau bayangan benang akan menunjukkan kiblat yang benar.
Mutoha mengingatkan, karena di Indonesia peristiwanya terjadi pada sore hari maka arah bayangannya adalah ke timur. Bayangan yang menuju ke tongkat adalah merupakan arah kiblat yang benar. Jika khawatir gagal melihat fenomena ini karena matahari terhalang oleh mendung, maka toleransi pengukuran dapat dilakukan antara dua hari sebelum dan dua hari sesudahnya pada jam yang sama.
Satu hal penting yang harus diperhatikan, hendaknya jam yang digunakan sudah terkalibrasi dengan tepat. Untuk mengetahui standar waktu yang tepat bisa mengikuti tanda waktu di RRI, layanan telepon 103, jam GPS atau menggunakan jam atom yang disediakan oleh layanan internet.
Adapun cara menentukan arah Kiblat menggunakan Istiwa A’dhom sebagai berikut:
1. Tentukan masjid/mushalla/langgar/rumah/ tempat lain yang akan diluruskan arah kiblatnya.
2. Siapkan tongkat lurus atau benang berbandul sepanjang 1-2 m serta arloji yang sudah dikalibrasi dengan Siaran TV, Radio, Internet atau telepon “103″.
3. Cari lokasi yang datar di dalam/sekitar masjid/mushalla/langgar/rumah/tempat lain yang masih mendapatkan penyinaran matahari antara jam tersebut.
4. Pasang tongkat secara tegak lurus dengan bantuan pelurus berupa benang berbandul atau gantung bandul di lokasi tersebut beberapa menit sebelum peristiwa Istiwa A’dham terjadi.
5. Tunggu sampai saat Istiwa A’dham terjadi 27/28 Mei pukul 16:18 WIB atau 15/16 Juli pukul 16:27 WIB. Amatilah bayangan tongkat saat itu dan berilah tanda dengan menggunakan spidol atau benang kasur yang dipakukan atau alat lain yang dapat membuat garis lurus. Garis itu adalah arah kiblat yang benar.
6. Gunakan benang, sambungan pada tegel lantai, atau teknik lain yang dapat meluruskan arah kiblat ini ike dalam masjid.
Intinya yang hendak diukur sebenarnya adalah garis shaff yang posisinya tegak lurus (90°) terhadap arah kiblat. Maka setelah garis arah kiblat kita dapatkan untuk membuat garis shaff dapat dilakukan dengan mengukur arah sikunya dengan bantuan benda-benda yang memiliki sudut siku misalnya lembaran triplek atau kertas karton tebal.
Mutoha mengingatkan, penentuan arah kiblat menggunakan fenomena ini hanya berlaku untuk tempat-tempat yang pada saat peristiwa Istiwa A’dhom dapat secara langsung melihat matahari.
Sementara untuk daerah lain seperti Wilayah Indonesia Timur (WIT) bisa melihat matahari pada saat berada tepat di antipode Ka’bah yaitu saat Istiwa A’dhom terjadi di titik nadir (antipode) Ka’bah yang terjadi pada setiap tanggal 13 Januari dan 27/28 November. [Ahmad Muhajir/Rus]