Salah satu persoalan yang dihadapi oleh banyak lapisan masyarakat saat ini masalah kaderisasi. Persoalan ini tak kunjung habis. Masing-masing kelompok, organisasi, lembaga dan semacamnya, ingin survive dan sukses. Dan hal tersebut menjadi skala prioritas, jika sudah bersangkutan dengan ‘umat’. Khususnya masalah kelangkaan ulama, pelanjut ulama pendahulu atau senior penerus estafet perjuangan dakwah. Dalam urusan ini, tak ada yang dibebani kecuali para kader dari kaum muda.
Masalah kelangkaan ulama ini, bagi banyak pihak, seperti Ormas, partai politik, lembaga pendidikan swasta Islam dari pesantren, madrasah dan lembaga-lembaga kajian Islam dan lain-lain, telah dianggap sebagai masalah teramat serius. Maka tak heran jika ada organisasi yang dengan sengaja mengadakan penjaringan bibit-bibit muda, untuk dididik dan dipersiapkan menjadi ulama melalui pelatihan-pelatihan intensif.
Bukan hanya Muhammadiyah, NU, dan berbagai partai politik yang melakukan upaya ini, Pondok Modern Gontor pun sejak zaman Belanda (1926) sudah melakukan upaya mencetak ulama dengan sistem modern. Melalui nilai dan sistemnya, Gontor menanamkan jiwa dan filsafat hidup dalam diri santri yang mewarnai seluruh kehidupan pondok. Sistem ini diharapkan dapat melahirkan mentalitas dan gaya hidup generasi yang islami, kader masa depan umat.
Nilai pondok pesantren merupakan jiwa dan filsafat hidup pondok yang melahirkan ajaran-ajaran dan didikan dalam menggerakkan seluruh kegiatan dan kehidupan pesantren. Ajaran-ajaran tersebut menimbulkan gerakan-gerakan berupa gerakan pendidikan, pengajaran, organisasi, ekonomi, kemasyarakatan, dakwah, kerohanian, hingga gerakan politik.
Semuanya implementasi dari ajaran-ajaran dan pendidikan pesantren yang tak hanya berkutat dalam kurikulum mata pelajaran saja, atau telaah buku dirasah islamiyah saja. Tapi lebih mementingkan totalitas kehidupan. Maka dalam dunia pesantren, yang dilakukan bukan sekedar kegiatan pendidikan dan pengajaran, tapi juga menyangkut seluruh kegiatan penghidupan lahir batin, moril, materiil.
Pondok pesantren dijiwai oleh suasana keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah islamiyah, dan berjiwa bebas. Selain itu juga terdapat filsafat hidup, yang berarti sejumlah prinsip, kepercayaan, konsep, motto, dan semboyan yang erat kaitannya dengan kehidupan pesantren yang berdasarkan jiwa keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwah islamiyah, berdikari, dan kebebasan.
Semua memiliki nilai praktis dan bimbingan dalam seluruh dinamika kehidupan pesantren. Seperti tertuang dalam semboyan: “Hidup sekali hiduplah yang berarti,” “Berjasalah tapi jangan minta jasa,” “Bergeraklah, karena dalam gerak itu ada berkah,” dan masih banyak lagi semboyan-semboyan lainnya.
Sedangkan sistem pendidikan pesantren merupakan unsur pendidikan yang sifatnya bisa berubah sesuai kondisi, situasi, dan orientasi. Yang paling khas ialah sistem pembinaan asrama, dengan kehidupan akademis yang kurikuler, organisasi pelajar, hingga kehidupan ekonomi, dakwah, bermasyarakat, mu’amalah ma’allâh dengan kewajiban puasa, tahajud, wirid, zikir, dan sebagainya. Seluruh kegiatan ini memerlukan sistem yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi masing-masing pesantren.
Sistem sebuah pesantren boleh saja berubah. Tapi nilai yang disasar hendaknya dipertahankan, bahkan diperjuangkan kelangsungannya. Sebab nilai yang menjiwai dan filsafat hidup yang diterapkan itulah yang mendasari seluruh kehidupan pesantren.
Tujuan pendidikan pesantren
Dalam suatu proses pendidikan, ada yang mendidik siswa agar menjadi manusia yang baik dan biasa-biasa saja. Ada juga yang bertujuan menciptakan para pemimpin yang menggerakkan. Mereka dididik untuk menjadi penggerak dan pejuang.
Namun sayangnya, banyak orang tidak berpikir sejauh itu. Para akademisi pun umumnya hanya berpikir cara mendapat murid yang banyak, atau bagaimana bisa meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya dari bisnis pendidikan yang dikelolanya, bagaimana berkuasa, dan lain sebagainya.[Bersambung]