Bagi orang yang terpelajar dan mengerti, harus mengetahui mana sebab dan mana yang musabbab. Kita harus berpikir. Kalau orang bodoh dulu pergi ke sungai; setelah pulang dari sungai dia sakit. Sebabnya sakit itu dikatakan karena setan yang di sungai tadi. Itu maksudnya mencari alasan sebab-sebabnya sakit, tapi salah. Itu tidak masuk akal dan memang bukan sebab.
Kadang-kadang keliru mana yang sebab dan mana yang musabbab. Si Fulan itu kaya. Apa sebab? Mestinya, sebabnya ialah karena ia sungguh-sungguh bekerja. Tetapi ada yang terbalik. Ia bertanya, mengapa Fulan itu sungguh-sungguh bekerja? “Soalnya, dia kaya sih. Ya, begitulah, orang yang berkata begitu. Itu keliru membedakan antara sebab dan musabbab. Sekolahan, negara, umat, bangsa maju. Lebih dahulu harus diketahui, yang maju itu yang bagaimana?
Kita sendiri bangsa Indonesia banyak yang tidak tahu.
– Yang maju itu yang pandai memakai dasi.
– Yang maju itu yang sudah doyan dansa-dansa.
– Yang maju itu yang berani pakai rok pendek.
– Yang maju itu yang biasa minum bir.
– Yang maju itu yang orangnya kaya-kaya.
Itu tidak mengerti arti maju.
Bangsa yang maju itu:
– Yang bisa maju ekonominya,
– Yang akhlaknya baik-baik,
– Yang tidak banyak penipuan,
– Yang tidak banyak pemalsuan,
– Yang pandai berpikir!
Pondok dikatakan maju. Yang maju itu yang bagaimana?
– Yang muridnya banyak?
– Yang gedungnya bagus-bagus?
– Yang pengajarnya profesor, doktor, Drs?
Itu tidak betul.
Muridnya banyak itu salah satu sebabnya adalah karena pelajarannya maju. Ada suatu contoh di salah satu tempat. Ada pondok yang terpaksa dipindahkan karena tanah tempat pondok itu berdiri akan dijadikan pabrik oleh pemerintah. Lantas pondok itu dibikinkan rumah bagus, lux, lengkap dengan sumur-sumurnya. Bahkan sumurnya itu keluar sendiri airnya. Akhirnya dibuka. Mula-mula muridnya banyak; beberapa ratus. Gedungnya bagus. Tetapi karena sebab-sebab lain, akhirnya murid-muridnya berkurang-berkurang-berkurang; tinggal sedikit. Maka dari itu sebabnya maju bukan karena gedung.
Di dalam Alquran itu diterangkan, Dzul Qarnain itu bisa maju ke timur sampai betul-betul ke timur, ke barat sampai ke barat. Sampai dikatakan “Dzulqarnain”, mempunyai dua tanduk; tanduk barat dan tanduk timur dari kemajuan. Yang membikin maju itu apanya? Di dalam Alquran diterangkan lagi, “Ya’rifu sababan faatba’a sababa”; tahu sebab-sebab kemajuan lalu mengikuti sebab-sebab itu.
Ada tamu berpidato di sini. Ia bertanya kepada murid-murid kelas satu KMI. “Saudara-saudara ini dari jauh datang ke sini apa sebabnya?” kata tamu itu. “Sebab pondok ini masyhur!” jawab anak-anak.
Apa kemajuan itu karena masyhur? Tidak semua yang masyhur itu baik. Tidak semua yang masyhur itu mempunyai sebab yang baik. Aidit itu orang yang ternama. Kusni Kasdut itu orang masyhur. Apa senang kita hanya menjadi orang yang ternama saja? Tidak! Jangan ternamanya yang penting. Ternama karena berbuat baik, silakan….! Kemajuan pelajaran bukan karena pintarnya guru. Kemajuan pelajaran bukan karena ilmunya guru.
Kalau Pak Sahal dulu mengatakan, “Untuk mengajarkan Nahwu, mengajarkan Alquran tidak perlu Drs, tidak perlu doktor!” Itu di antaranya. Ini supaya tahu. Barangkali kita bisa mengambil kesimpulan; sebabnya maju yang sebenarnya, kalau caranya guru mengajar itu baik. Bukan gurunya. Kalau mengajar itu dengan cara yang baik, dengan i’dad yang betul; gurunya di muka kelas besar hati, tidak nguncis di depan murid. Muridnya menjadi asyik, tambah ingin tahu, tambah cinta kepada ilmunya. Mereka terpikat oleh keterangan-keterangan gurunya.
Hamka berpidato. Setelah selesai, orang memujinya di hadapan saya. “Pak Hamka, wah pidatonya hebat, betul-betul mengasyikkan orang, bisa menyihir orang. Ditambah lagi yang saya heran, hafal tahun-tahunnya dalam sejarah Islam itu.” Ketika itu Pak Hamka baru menjawab, “Kan, dihafalkan dulu.” Itu jawab Hamka. [Bersambung]