Jakarta, Gontornews — Penanggalan 11 Oktober 1862 merupakan hari meninggalnya Pahlawan Pangeran Antasari, di usianya ke-75. Dia meninggal akibat penyakit cacar dan paru-paru yang dideritanya di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, Kalimantan.
Pangeran Antasari merupakan Sultan Banjar. Dia dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Gelar tersebut menyematkan Pangeran Antasari sebagai pemimpin pemerintahan, panglima perang sekaligus pemuka agama tertinggi.
Gelar diberikan langsung di hadapan para kepala suku Dayak dan adipati, penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan, yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.
Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar. Dia juga merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan suku lainya yang berada di pedalaman sepanjang Sungai Barito, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan.
Sang Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin itu diangkat sebagai Sultan Banjar pada 14 Maret 1862. Pangeran Antasari diangkat sebagai Raja Banjar setelah Sultan Hidayatullah ditipu Belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dengan mengasingkan keduanya ke Cianjur.
Pangeran Antasari pun melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Dia langsung menyerukan kepada seluruh rakyat, para panglima Dayak, para pejuang, alim ulama dan bangsawan Banjar untuk melawan Penjajah. “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!” demikian seruan Pangeran Antasari.
Sejarah mencatat, Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya pernah menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron pada 25 April 1859. Benteng ini sangat dipertahankan secara mati-matian oleh Belanda.
Pasukan Pangeran Antasari berhasil menghancurkan benteng sekaligus tambang batu bara ini dan menewaskan sejumlah perwira Belanda. Peristiwa ini seakan menjadi penyemangat perjuangan Rakyat Banjar, maka sejak itulah perlawanan terhadap Belanda pecah di mana-mana di Kalimantan Selatan.
Peperangan demi peperangan terus digencarkannya, dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia. Pangeran Antasari pernah menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, hingga sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.
Belanda bukan tanpa perlawanan. Penjajah pernah mendapat bantuan Batavia dengan persenjataan moderen yang membuat Pangeran Antasari terpaksa memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.
Belanda juga berkali-kali membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun ia itu tak pernah sekalipun menyerah. Bahkan Pemerintah Belanda menghargai kepala Pangeran Antasaridengan harga 10.000 Gulden untuk menangkapnya hidup atau mati.
Pangeran Antasari wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda.
Penjajah itu pun bergembira karena meninggalnya Pangeran Antasari karena sakit seusai pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan.
Perjuangan Pangeran Antasari pun dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Muhammad Seman.
Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968. [Fath]