Disertasi Dr Hj Amie Primarni
Depok, Gontornews — Holistik pertama dikenal di dunia kesehatan khususnya kedokteran, kata ini kemudian digunakan secara lebih luas di berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Dalam tulisan ini, Dr Amie Primarni, menggunakan kata holistik untuk menggambarkan sesuatu yang bulat, utuh, dan menyatu. Meskipun setiap elemennya masih dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan.
“Saya menggambarkan kata Holistik ini seperti sebuah komposisi senyawa kimia, misalnya air yang terdiri atas H2O, atau Carbondioksida seperti CO2,” ujarnya.
Masing-masing elemen yang membentuknya memiliki ciri dan komponen tertentu. “Tetapi ketika kita menyebut kata air, maka komposisi H2O tidak dapat dipisahkan,” ujar Amie, ibu dari empat orang anak ini.
Di era globalisasi, manusia dituntut serba cepat sehingga agar mampu survive dalam kehidupan yang penuh kecepatan, lambat laun manusia terprogram dengan rasa persaingan yang tinggi.
Semua ini merupakan dampak modernisasi yang memandang tinggi sebuah keberhasilan, tanpa menyertakan unsur religious. Dampak modernisasi dan paradigma dikotomis membuat manusia mengedepankan aspek kognitif daripada afektif dan psikomotorik.
Mempercayai apa yang dapat terinderai semata-mata oleh akal serta panca indera dan menolak sesuatu yang tak terinderai. Dampak dikotomis juga berpengaruh menjadikan manusia sebagai central sehingga tidak membutuhkan Tuhan dalam meraih kesuksesaan.
Terjadinya pemilahan-pemilahan antara ilmu umum dan ilmu agama inilah yang membawa umat Islam kepada keterbelakangan dan kemunduran peradaban.
Lantaran karena ilmu-ilmu umum dianggap sesuatu yang berada di luar Islam dan berasal dari non-Islam atau the other. Bahkan, antara agama dan ilmu (dalam hal ini sains) masih seringkali dipertentangkan hingga sekarang.
Disertasi yang dipromotori oleh Prof Dr Ahmad Tafsir, Prof Dr Abuddin Nata, dan Dr Adian Husaeni, ini juga menampilkan beberapa permasalahan yang melatarbelakangi perlunya penggagasan Pendidikan Holistik Islami.
Di antaranya: pertama, sebagai dampak era globalisasi, saat ini telah terjadi proses integrasi ekonomi, fragmentasi politik, high technology, interdependensi dan new colonization in culture.
Kedua, sebagai dampak dari budaya masyarakat global dan masyarakat urban yang cenderung ingin serba cepat, instan, rasional, efisien, pragmatis, hedonis, dan materialistik.
Ketiga, sebagai akibat dari proses pembangunan yang lebih menekankan segi-segi materi dan hal-hal yang bersifat kebutuhan jangka pendek. Hal itu telah mendorong lahirnya berbagai usaha di bidang industri dan jasa yang meningkat.
Keadaan ini dari satu segi memiliki dampak positif. Namun karena jumlah lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja, maka posisi dan daya tawar tenaga kerja menjadi amat lemah.
Keempat, sebagai akibat sulitnya mendapatkan berbagai kebutuhan hidup serta adanya budaya yang kurang sehat, yakni budaya hipokrit yang menghalalkan segala cara mengakibatkan manusia harus berbohong atau bersikap mendua.
Wanita kelahiran Jakarta, 23 Desember 1965 ini, menambahkan, “Dalam keadaan demikian, maka jiwa manusia menjadi terpecah (split personality).”
Jiwa yang terpecah ini juga terkait erat dengan pola pikir (mindset) transaksional atau pola pikir yang merasa selesai jika telah memberikan sesuatu sebagai imbalan dari sesuatu yang diperolehnya.
Kelima, sebagai akibat dari suasana kehidupan yang makin individualistik dan banyaknya hal-hal pribadi yang bersifat rahasia dan berbahaya jika diketahui orang lain.
Hal itu menyebabkan timbulnya sikap hidup menyendiri serta perasaan terasing dan terisolasi dari sebuah kehidupan. Gejala kehidupan menyendiri (lonely) ini menyebabkan orang mencari pelarian kepada kegiatan yang menyenangkan secara sesaat.
Pelaksanaan pendidikan yang cenderung mengutamakan aspek kognitif dan meninggalkan aspek afektif dan psikomotorik, serta pendidikan yang terlampau mengutamakan kecerdasan intelektual, keterampilan dan pancaindera, terbukti kurang memperhatikan kecerdasan emosional, spiritual, sosial dan berbagai kecerdasan lainnya.
Hal ini menyebabkan output dan outcome pendidikan menjadi parsial dan terasa kurang sekali melibatkan pendekatan agama dan filsafat.
Hal tersebut berbeda dengan pendekatan agama (Islam) dan filsafat yang melihat suatu masalah secara utuh sebagai sebuah system yang hidup dan saling terintegrasi, terealisasi, dan terkoneksi.
“Dengan mengemukakan beberapa alasan tersebut di atas, maka gagasan pendidikan yang bersifat holistik yang berdasarkan pada pendekatan agama dan filsafat penting dilakukan,” jawabnya.
Oleh karena itu, perlu dilaksanakan reformasi pendidikan ke arah yang lebih kondusif demi terciptanya kualitas Sumber Daya Manusia yang berkualitas.
Pendidikan Islami harus kembali ke “fitrah holistik”nya, sementara pendidikan umum harus menyadari bahwa perspektif dikotomi tidak lagi tepat digunakan.
“Meski sulit, mengembangkan manusia menjadi manusia yang sempurna dalam kebaikan, seluruh elemennya menjadi landasan, proses, dan tujuan dari pendidikan itu sendiri,” pungkasnya. [Edithya Miranti]