Da’i atau muballigh era sekarang tidak hanya berdakwah dari satu tempat ke tempat lain. Lebih dari itu, dengan kecanggihan teknologi, dakwah bisa menyebar ke seluruh dunia. Ya. Era sudah berubah. Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin maju ini tampak sejumlah pendakwah mulai menyampaikan dakwahnya dengan memanfaatkan teknologi digital.
Bak gayung bersambut. Semakin maju teknologi saat ini, turut pula mengubah cara masyarakat memperoleh wawasan keislaman. Jika dulu masyarakat rela bepergian jauh untuk menyaksikan pengajian, kini dengan gadget masing-masing, siapapun bisa menyaksikan ceramah ustadz kondang lewat media sosial dan platform streaming di mana pun mereka berada.
Terkait hal ini Ketua Pimpinan Wilayah Ikatan Da’i Indonesia (IKADI) DKI Jakarta, Dr KH Attabik Luthfi menyebutkan, dakwah digital yang sedang fenomenal saat ini merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin dihindari. Da’i tidak serta merta menolak media digital, justru dituntut lebih banyak hadir di media tersebut agar lebih banyak diwarnai dengan kebaikan.
Menurutnya, teknologi digital dan sejenisnya hanyalah sebuah alat, bukan prinsip. Layaknya sebuah alat, teknologi digital hadir bukan dengan nilai dakwah, sehingga ada potensi media digital digunakan untuk menyebarkan keburukan. Apalagi digital tidak mengenal batas usia dan segmentasi masyarakat.
“Ibarat ‘gado-gado’ atau ‘super market’ masyarakat dituntut lebih cerdas dalam memilah, karena digital ini menawarkan hal-hal yang tidak bisa dibatasi. Melalui digital ini pula, kesakralan dakwah bisa berkurang, karena siapapun dengan mudah bisa berkontribusi meskipun secara kapasitas keilmuan belum mumpuni,” ujarnya.
Namun, justru inilah tantangannya agar para da’i memaksimalkan teknologi digital sebagai media untuk menyebarluaskan nilai-nilai kebaikan kepada kalangan milenial yang serba digital. “Namun, apapun alatnya dakwah harus tetap mengacu pada prinsip dakwah, yaitu ‘Ajaklah manusia kepada jalan Tuhanmu’ (An-Nahl: 125),” ungkapnya kepada Majalah Gontor.
Attabik meminta agar masyarakat tidak melihat dai dari penampilannya. Pasalnya, yang terjadi saat ini banyak dari masyarakat ikut-ikutan, karena kagum, terhibur, tanpa mengenal siapa da’i yang layak digugu dan ditiru karena ilmu dan keshalihannya. Dikatakannya, dakwah lewat digital sulit dalam hal memberikan contoh ‘bil hal’ sebagai teladan bagi masyarakat.
Apalagi masyarakat belum pernah bertemu dan mengenal atau berinteraksi langsung dengan da’i yang ada di media digital itu. Karena mereka cuma menyaksikannya di layar handphone dan sejenisnya. Sehingga terjadi ‘gap’ antara masyarakat dan para da’i digital. Perilaku da’i di media digital terkadang berbeda dengan kenyataan atau praktik sehari-hari dalam kehidupan nyata.
“Itulah mengapa dakwah nondigital tetap harus dipertahankan. Itulah mengapa mengkaji ilmu kepada yang ahlinya secara langsung, berinteraksi dan mengenal perilaku gurunya sehari-hari sebagai contoh nyata dalam kehidupan, harus tetap ada,” tegasnya.
Menurut Attabik, perhatian terhadap lembaga dakwah, pesantren, atau lembaga pendidikan yang mencetak para da’i sangat perlu untuk ditingkatkan. “Karena mereka inilah da’i sejati yang akan mengajak masyarakat kepada jalan Allah dengan contoh langsung yang dapat mereka saksikan,” tandasnya.
Produk zaman
Hal senada juga diungkapkan Sekjen Forum Pesantren Alumni Gontor, KH Anang Rikza Masyhadi. Menurutnya, era digital merupakan produk zaman sehingga dakwah di era digital ini sudah semestinya dilakukan meskipun bukan satu-satunya sarana dakwah.
“Digital itu hanya sarana, tujuan utamanya tetaplah dakwah dan dakwah itu perlu hikmah melalui kedalaman ilmu dan juga contoh atau keteladanan. Bukan hanya sekedar ceramah atau naskah,” ungkapnya kepada Majalah Gontor.
Bahkan sebagai penyampai kebaikan dan kebenaran, da’i harus memiliki ilmu yang mumpuni dan keteladanan. Karena fondasi utama dakwah adalah ilmu dan keteladanan. “Ini yang harus dipahami semuanya. Apalagi sekarang masyarakat susah membedakan antara ulama yang da’i dengan penceramah,”jelasnya.
Oleh karena itu media digital harus dipenuhi dengan ulama-ulama yang da’i, yang memiliki basis ilmu yang mumpuni dan juga yang kehidupannya bisa dijadikan teladan. “Jangan sampai media digital disesaki oleh penceramah-penceramah yang hanya sekedar tahu sedikit agama. Ini berbahaya karena yang terjadi adalah distorsi dan pendangkalan,” ungkapnya.
Sementara itu Deputi II Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Asrorun Ni’am menjelaskan bahwa dakwah adalah mengajak. Dengan begitu pendakwah harus mengerti kondisi orang yang diajak, termasuk kecenderungannya. Sebab tantangan dakwah sekarang ini lebih kompleks.
“Tren milenial itu seperti apa. Mereka ini kan simple, instan, dan juga tidak bertele-tele, efisien, efektif. Ini yang perlu dipahami ketika kita mau melakukan aktivitas dakwah kepada mereka,” tuturnya seperti dikutip republika.co.id.
Menurutnya, dalam berdakwah perlu platform yang biasa digunakan kalangan milenial. Misalnya media sosial yang beragam jenisnya. Bahasa yang disampaikan pun harus sederhana dan tidak terkesan menggurui serta memberi keteladanan. Dan yang tak kalah pentingnya, menyampaikan hal-hal yang inovatif dan mampu memotivasi. “Itu jauh lebih efektif, akan masuk pesan dakwah daripada hanya sekadar ceramah yang bersifat verbal. Itulah mengapa para da’i memerlukan inovasi dengan mengadaptasi perubahan masyarakat,” ungkapnya.
Selain itu ketika seorang da’i hendak berdakwah juga harus menyesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. “Ketika objek dakwahnya seniman, maka dengan pendekatan seni. Itulah hakikat kontekstualitas dalam dakwah, dan ini menunjukkan sisi-sisi universal. Jangan sampai ketika berdakwah, orang justru menjauh karena kita tidak sensitif terkait kebutuhan dan juga kondisi si calon penerima pesan dakwah itu,” tuturnya. []